Shale Oil yang Ubah Peta Geopolitik Dunia, Indonesia?

Bagikan artikel ini

Bila dirimu punya bahan yang menjadi barang jualan yang sangat vital bagi kelangsungan hidup konsumenmu, kemudian ternyata konsumenmu sekarang punya bahan sendiri untuk memproduksi sendiri dan malah menjadi pesaingmu di pasar dunia maka apa yang terjadi? Dirimu harus berpikir keras dan berhitung ulang agar barang jualanmu bisa tetap laku dan menguntungkan, dan bila tidak berhasil maka akan bangkrut.

Ini yang terjadi pada bidang energi dunia saat ini dan akan mengubah peta geoekonomi dan geopolitik dunia. Apa konsekuensinya dengan percaturan geopolitik dunia? Konsekuensi yang besar akan terjadi pada industri energi global dan Hubungan Internasional secara lebih umum.

Sejak lama Timur Tengah menjadi tangki minyak dunia. Berbagai perang yang terjadi di wilayah itu tidak bisa dilepaskan dari perebutan wilayah kaya minyak sejak diketemukannya tahun 1930-an.

Negara-negara pemilik sumber daya migas, negara-negara adikuasa AS dan Rusia beserta sekutunya masing-masing berebut mengamankan pasokan energi jangka panjangnya dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari penguasaan wilayah kaya minyak ini.

Namun sejak diketemukannya minyak serpih (Shale Oil) th 2008 maka sejatinya mengubah AS dari pengemis energi jangka panjang menjadi produsen minyak terbesar di dunia dalam sekejap mata.

Kini produksi energi AS saat ini telah meningkat 140 persen sejak revolusi serpih ditemukan pada tahun 2008. Sepanjang tahun 2018, produksi minyak mentah AS naik sebesar 30 persen, dengan produksi gas alam juga naik sepenuhnya 12 persen. Produksi minyak Amerika mencapai rekor tertinggi sepanjang masa 10,9 juta barel per hari pada tahun sebelumnya, dan masih terus bisa dikembangkan. Artinya pada titik inipun minyak AS sudah melampaui hasil dari Arab Saudi dan Rusia yang hanya10 juta barel per hari.

Bagaimana bacanya? AS akan menjadi salah satu pemain utama di bidang energi dan punya kuasa untuk mengatur harga minyak dunia maupun peta geopolitik dunia.

Dapat diperkirakan bahwa AS akan menggunakan status negara adidaya energi yang baru ditemukan untuk memajukan kepentingan geostrategisnya, yang secara alami dapat diperluas untuk bersaing dengan Rusia dan Arab Saudi untuk pasar Eropa dan Asia.

Jason Bordoff, direktur pendiri Pusat Kebijakan Energi Global di Universitas Columbia berbicara tentang realitas geopolitik baru ini:

“Selama 40 tahun terakhir, sejak embargo minyak Arab, kami memiliki pola pikir kelangkaan energi, tetapi sebagai akibat dari revolusi serpih, AS telah muncul sebagai negara adidaya energi.”

Dengan perkembangan ini, Arab Saudi, mencoba menahan kehadiran AS dengan “strategi Rockefeller”, mengikuti jejak penjajah energi AS di abad kesembilan belas yaitu mendorong harga turun dengan mencoba over-produksi (walau rugi) untuk memaksa pesaing baru menjadi bangkrut dan keluar dari pasar.

Tetapi strategi Saudi ini malah menjadi bumerang secara spektakuler. “Harakiri” anggaran negara yang membutuhkan harga minyak sekitar $80 per barel untuk menyeimbangkan anggaran dalam negerinya yang membengkak.

Demikian pula OPEC dan Rusia. Ketika tahun 2016 menandatangani kesepakatan memotong produksi minyaknya agar tetap pada harga tinggi dan profitable, malah menjadi peluang AS untuk mengisi kekosongan pasar energi dan memaksimalkan keuntungan.

Sementara bila mereka melakukan seperti yang dilakukan Arab Saudi maka harga minyak jatuh dan tentu akan mendapati luka yang sama.

Produksi minyak serpih sangat fleksible. Beda dengan penambangan yang harus menggunakan “rig” tetap. Dalam prosesnya, teknologi “Rig fracking” dapat dinyalakan dan dimatikan seperti keran air, tergantung pada harga energi global. Rig fracking ditutup ketika Saudi memproduksi berlebihan, dan dapat dengan mudah dihidupkan kembali sektika saat harga naik tak terelakkan.

Berdasar informasi dari Energy Information Administration (EIA) bahkan menunjukkan bahwa Uni Emirat Arab sebagai produsen OPEC terbesar keempat malah sudah mengimpor minyak AS untuk pertama kalinya. Dikabarkan tahun 2017 UEA telah mengimpor 700 ribu barel minyak mentah dari AS.

AS juga bisa dengan mudah membidik Rusia karena Amerika Serikat sekarang merupakan pengekspor utama gas alam dan dapat “melemahkan dominasi energi Rusia atas Eropa Timur.”

Tidak heran juga AS sekarang mulai memperdebatkan tatanan global yang mereka pastikan harus menjadi beban bersama secara finansial dan militer untuk jalur pelayaran global dan akses ekonomi.

Ini karena Angkatan Laut AS tidak perlu lagi memastikan barang-barangnya terlindungi di Timur Tengah, Afrika, dan Laut Cina Selatan karena cekungan permiannya memiliki cukup gas alam dan minyak untuk Amerika, pertama dan utama.

Amerika Serikat dan sekutunya sekarang mampu meredam gejolak politik di Venezuela, Libya dan Nigeria. Yang kesemuanya pemasok utama OPEC, ketika gangguan pasokan secara historis akan membahayakan pertumbuhan ekonomi global.

Dampak geopolitik dari peningkatan produksi serpih AS ini memungkinkan Washington untuk menerapkan sanksi terhadap Rusia, Iran dan Venezuela tanpa berdampak pada embargo energi.

Bagi Rusia kemudian, atas tekanan ini, mau tak mau harus berteman dengan Arab Saudi dan mengecewakan persekutuan mereka dengan Iran atas intervensinya di Suriah.

Skenario Iran dan Arab Saudi akan berperang atau ketegangan Iran –Hizbullah – Suriah – Israel yang bisa meluas ke konflik yang melanda seluruh Timur Tengah adalah skenario yang tidak lagi harus melibatkan AS tetapi membutuhkan kebijakan Rusia.

Kemungkinan Rusia akan gamang menghadapi situasi ini. Rusia perlu biaya dari sektor migas untuk biayai petualangan geopolitiknya dari Ukraina ke Suriah.

Akan nampak di masa depan AS menjadi lebih anteng, tidak lagi agresif karena tidak lagi banyak membutuhkan Timur Tengah, tetapi justru Timur Tengah masih membutuhkan Amerika Serikat secara diplomatis untuk stabilitas politik dan penyeimbangan realis untuk memastikan ketertiban.

Jadi atas dasar ini kemudian tidak heran bila kita lihat kemudian AS tarik pasukannya dari Afghanistan

Dengan masuknya AS, apa yang terjadi kemudian adalah setiap negara produsen minyak dunia saat ini tidak lagi dapat mengandalkan minyak sebagai backbone pembiayaan negara. Sudah untungnya tipis, salah baca peta dan salah strategi malah hadapi bahaya kehancuran.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebenarnya males omongin Indonesia, sudah banyak yang “ahli”. Saya cuma bisa katakan bahwa tergantung kebijakan pemangku kepentingannya.

Bila mau berhasil maka secepat mungkin Indonesia harus keluar dari ketergantungan industri energi minyak bumi sebagai backbone pembiayaan negara. Disisi lain harus membuka dan mengembangkan sumber-sumber pendapatan baru sebagai backbone anggaran di luar migas.

Investasi kilang baru saat ini sudah terlambat, dan hanya akan bisa mengatasi masalah jangka pendek,dan cenderung sia sia. Mengapa?

Tidak akan melepaskan Indonesia dari ketergantungan minyak impor yang berarti masih terlibat dengan permainan zero sum di bidang ini. Akan jauh lebih penting adalah mengembangkan kemandirian energi dari sumber lain yang terbarukan, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk kelebihannya dijual keluar negeri untuk bayar utang. Banyak sumber energi yang masih bisa dikembangkan. Itu bila mau lho.. Sekian

(Sumber bacaan: berbagai sumber)

Adi Ketu, Pengiat Medsos dan Peminat Isu Internasional

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com