Shinzo Abe: Personifikasi Kebangkitan Ultra Nasionalisme Jepang? (Bagian Pertama)

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Dalam tulisan terdahulu, saya mengulas rencana pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk merevisi pasal 9 konstitusi Jepang sehingga memungkinkan angkatan bersenjata dan postur pertahanan negaranya bisa lebih agresif, tidak sekadar sebagai pasukan bela diri seperti yang ada sekarang.

Kekhawatiran tersebut nampaknya tidak terlalu berlebihan. Kantor berita resmi Korea Utara KCNA dalam tajuk rencananya beberapa waktu yang lalu mengecam Perdana Menteri Abe sebagai wujud kemunculan Adolf Hitler Asia. Tak pelak lagi sikap politik kantor berita KCNA tersebut mencerminkan kegusaran pemerintahan Korea Utara menyusul rencana pemerintahan Abe untuk membangun kembali angkatan bersenjata Jepang berskala besar dengan dalih untuk menciptakan Stabilitas Regional.

Indikasi pemerintahan Abe yang nampaknya akan semakin berkiblat ke kanan juga disuarakan oleh radio suara Jerman Deutsche Welle. Dengan mengutip pakar pengkajian Asia di Hamburg Patrick Kollner, menggambarkan Abe sebagai “hardliner” alias penganut haluan politik garis keras yang konservatif. Karena Abe merupakan penggagas dirubahnya sebutan “kekuatan pertahanan” menjadi angkatan bersenjata. Dan melalui klausul pasal 9 konstitusi, Abe mendesak agar angkatan bersenjata Jepang diberi wewenang untuk membalas tembakan ketika Jepang ikut serta dalam misi PBB.

Masuk akal jika kemudian Abe dicap berbagai kalangan di dalam dan luar negeri Jepang, sebagai sosok yang menginspirasi kebangkitan semangat nasionalisme Jepang ala Perang Dunia II. Karena dalam berbagai pernyataannya selalu menggunakan wacana atau jargon-jargon yang identik dengan Jepang sewaktu menganut faham fasisme pada era Perang Dunia II.

Misalnya saja, Abe dengan tidak segan-segan menjadi bagian integral dari sikap kaum ultra nasionalis Jepang yang menolak tanggungjawab pemerintahan Jepang dalam memaksa ribuan perempuan di negara-negara eks jajahan Jepang di Asia Pasifik sebagai “Budak Seksual” tentara Jepang yang terkenal dengan sebutan Jugun Ianfu. Dengan menyangkal kejahatan perang Jepang di negara-negara Asa Pasifik, termasuk Indonesia, maka Abe pada hakekatnya berada dalam satu gelombang dengan sikap kaum ultra nasionalis Jepang yang beranggapan bahwa sepak-terjang tentara Jepang di negara-negara Asia Pasifik pada Perang Dunia II bukan sebagai aggressor dan penjajah, melainkan sebagai liberator alias pasukan pembebasan.

Bukan itu saja. Abe seakan semakin memancing sentiment anti Jepang di beberapa negara Asia eks jajajahan Jepang seperti Cina dan Korea, ketika secara provokatif Abe berkunjung ke kuil Yasukuni, yang merupakan tempat dimakamkannya para serdadu Jepang yang tewas dalam Perang Dunia II melawan pasukan sekutu. Kunjungan Abe, dipandang sebagai bentuk dukungan dan pemihakan Abe bahwa apa yang dilakukan Jepang di masa Perang Dunia II memang benar dan tepat adanya. Yang berarti pula Abe menghormati korban perang Jepang, termasuk sejumlah pejabat tingkat tinggi yang dieksekusi karena kejahatan perang semasa Perang Dunia II.

Orientasi Abe yang berhaluan nasionalis radikal semakin diperkuat dengan kebijakan pertahanan pemerintahannya yang akan meningkatkan anggaran pertahanan militernya dengan dalih untuk membendung kekuatan militer Cina.

Tentu saja kebijakan Abe memancing kemarahan Beijing.

Program Nuklir Jepang

Satu fakta penting yang tak boleh dilupakan, Abe sebelumnya pernah menjabat sebagai perdana menteri pada periode 2006-2007. Nah pada akhir 2006, sempat berkembang wacana Jepang epang mulai mempertimbangkan kemungkinan memiliki persenjataan nuklir berskala rendah.

Padahal, Sejak perang Dunia II, Jepang terikat dalam suatu kesepakatan keamanan bersama dengan Amerika dan menggantungkan keamanan nasionalnya sepenuhnya pada payung perlindungan nuklir negara Paman Sam tersebut. Dan pada saat yang sama, berjanji untuk tidak menghasilkan atau memiliki persenjataan nuklir di daerah teritorial yang berada dalam kekuasaan Jepang.

Karena gagasan ini muncul pada akhir 2006, berarti rencana ini bergulir semasa pemerintahan Abe. Dengan demikian rencana untuk membangun program nuklir hakekatnya sejalan dengan rencana pemerintahan Abe untuk melakukan tafsir baru pasal 9 konstitusi Jepang.

Sebab dalam konstitusi Jepang yang dibuat sejak berakhirnya Perang Dunia II menyusul kekalahan Jepang pada pasukan sekutu, melarang pembuatan senjata nuklir. Bahkan Jepang dipaksa oleh Amerika untuk ikut secara aktif mempromosikan perjanjian non-proliferasi nuklir.

Namun pada perkembangannya kemudian, akibat semakin gencarnya percobaan senjata nuklir yang dilancarkan oleh Korea Utara dan kemungkinan ancaman jangka panjang yang bakal datang dari Republik Rakyat Cina, Jepang nampaknya mulai mikir-mikir membangun dan mengembangkan senjata nuklir. Apalagi ketika pada Juli 2006 lalu, Korea Utara melancarkan test uji coba rudak balisitiknya di laut Jepang.

Sejak test uji coba rudak balistik berhulu nuklir yang dilancarkan Korea Utara tersebut, Jepang kemudian mulai mempertimbangklan opsi pengembangan senjata nuklir.

Sebut sebagai misal Yasuhiro Nakasone, mantan perdana Menteri Jepang era 1980-an yang dikenal penganut kebijakan pro perdamaian. Dalam pernyataannya beberapa saat setelah test uji coba nuklir Korea Utara tersebut, menyerukan perlunya Jepang melakukan studi-studi intensif mengenai isu-isu berkaitan dengan senjata nuklir. “Ini penting karena Jepang tidak bisa selamanya bergantung pada perlindungan nuklir Amerika Serikat,” begitu kata Nakasone.

Bagaimana dengan sikap Abe ketika itu? Ternyata pernyataan Abe lebih mencemaskan lagi. Abe menegaskan bahwa dengan memiliki senjata nuklir berskala kecil(an arsenal of small nuclear weapons), Jepang sama sekali tidak melanggar Konstitusi Jepang. Gagasan Abe seperti ini sebenarnya sama sekali tidak aneh, mengingat Abe termasuk yang berjanji kepada para pendukungnya ketika itu bahwa jika dia terpilih kelak sebagai Perdana Menteri, akan segera mereformasi Konstitusi Jepang yang dibuat sesuai Perang Dunia Kedua.

Dan nampaknya, rencana tafsir baru pasal 9 konstitusi Jepang merupakan bentuk nyata janji politik Abe kepada kaum ultra nasionalis di Jepang. Artinya, dalam konteks reformasi pertahanan dan militer, Abe memang punya agenda jangka panjang untuk mentransformasikan pasukan bela diri Jepang menjadi kekuatan Angkatan Bersenjata (darat) yang profesional. Meski tetap dengan dalih untuk memainkan peran strategis di seberang lautan maupun untuk membantu negara-negara sekutu jika menghadapi serangan militer musuh.

Apapun alasannya, situasi ini tentunya mencemaskan banyak kalangan. Karena sebagai negara yang tergolong maju dalam perkembangan industri, secara teoritis Jepang memang sanggup untuk membangun dan mengembangkan senjata nuklir kapan saja dia mau.

Beberapa di antara kalangan ultra nasionalis bahkan punya pemikiran seperti ini: Bahwa syarat utama terciptanya keamanan Dunia dan masa depan haruslah tetap didasarkan pada dominasi global Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adi daya (superpower).

Namun pada saat yang sama, kalangan ultra nasionalis ini menggarisbawahi bahwa Jepang sebagai mitra strategis Amerika, sangatlah penting untuk secepatnya mengembangkan senjata nuklir.

Konstalasi politik internasional di kawasan Asia Pasifik, khususnya di Asia Tenggara, dengan semakin memanasnya ketegangan antara Amerika dan Cina untuk membangun sphere of influence di wilayah Laut Cina Selatan, sepertinya pandangan dari kalangan ultra nasionalis Jepang mempunyai kesamaan kepentingan dengan kebijakan strategis keamanan nasional di Washington yang semakin gencar menggalang persekutuan strategis dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Rencana Abe untuk pengembangan senjata nuklir Jepang seirin dengan rencana tafsir baru pasal 9 konstitusi Jepang, memang cukup mencemaskan, karena menurut perhitungan para pakar militer dan pertahanan, Jepang bisa lebih cepat membangun persenjataan nuklirnya dibandingkan Korea Utara maupun Iran. Dan kalau hal ini sampai terjadi, bisa dipastikan akan merubah sistem keamanan baik di Asia maupun kawasan-kawasan lain di dunia. Dan jelas merupakan ancaman baru bagi dunia internasional.

Agaknya, slogan pemerintahan Abe “Jepang Telah Kembali” memang cukup mengkhawatirkan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com