Skenario di atas Skenario

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Tatkala menyaksikan sebuah pertunjukan wayang, niscaya selain terdapat lakon-lakon dan/atau peran yang menjadi idola (protagonis) penonton, juga ada peran antagonis. Itulah skenario dimainkan di atas permukaan yang bersumber dari persepsi dan emosi penonton atas hal tersurat. Tapi, untuk memahami (narasi) skenario tersembunyi ki dalang atas lakon-lakon yang digelar, tentunya belum bisa dibaca oleh penonton — apalagi dilihat. Bisa saja, tiba-tiba dalang “mematikan” tokoh favoritnya penonton, atau ia membuat hero sosok yang tidak diunggulkan, dan lain-lain. Tergantung hasrat ki dalang. Wayang terserah dalang. Begitu pakemnya. Mustahil jika wayang bergerak sendiri tanpa instruksi, atau nylonong tanpa sepengetahuan dalang. Mengapa? Karena semua kendali pegelaran atas kehendak (remot) si dalang.

Di satu sisi, skenario dalang seolah-olah lebih dominan daripada emosi penonton, tetapi pada sisi lain, ternyata ada narasi (skenario) lain yang mampu mengatur gerak si dalang. Itulah penanggap atau dikenal dengan sebutan sang pemilik hajatan. “Pak Dalang, saya ingin lakon Petruk Dadi Ratu, agar segenap rakyat memiliki kesadaran lautan yang luas, jangan cuma kesadaran sumur atau kolam yang dangkal”. Kenapa demikian, ndoro? “Biar rakyat tidak hanya ‘sadar bandeng’ yaitu jenis kesadaran fisik semata, punya mata namun tak melihat, punya telinga tapi tidak mendengar, memiliki hati namun tak merasakan!”. Nggih, ndoro!

Jadi, dalam sebuah pagelaran, bisa jadi ada tiga skenario berjalan bersamaan. Skenario (persepsi) penonton, skenario ki dalang, dan skenario sang pemilik hajatan. Mana lebih dominan di lapangan? Maka ibarat sistem gelombang di lautan, persepsi cuma riak atau buìh-buih, narasi dalang adalah ombak yang mampu mendorong buih ke pinggiran pantai, sedang skenario sang pemilik hajat ialah angin yang mampu menggelorakan semuanya.

Jika dianalogikan dalam kasus, pertanyaannya —kenapa dahulu Nahdatul Ulama (NU) –selaku partai Islam terbesar– justru menerima nasakom; bukankah antara agama dan komunis ibarat minyak dan air, tidak bisa disatukan? Jawabannya, itulah skenario. Bahwa semua karena (kesengajaan) alasan taktis dan strategi dari NU itu sendiri dalam menghadapi situasi yang berkembang saat itu. Adapun alasan dimaksud ialah sebagai berikut, antara lain:

Pertama adalah alasan taktis. Tak boleh dipungkiri, ketika Bung Karno (BK) memberi batas waktu cuma 3 hari bagi Pengurus NU untuk memutus: “menolak atau menerima nasakom,” sedangkan mengumpulkan cabang-cabang NU se-Tanah Air dalam waktu singkat sangatlah tidak mungkin. Jadi, hanya dua opsi. Menolak opsi berarti NU dibubarkan. Akhirnya NU memutuskan untuk menerima nasakom dengan motivasi agar tidak dibubarkan.

Kedua ialah alasan strategis. Jika NU bubar maka praktis tidak akan ada lagi partai yang memperjuangkan aspirasi umat Islam. Istilahnya, NU mundur selangkah demi maju beribu-ribu langkah. Dan benar, PKI euphoria. Merasa di atas angin karena mampu mendesak NU melalui BK agar menerima nasakom. Akibatnya ia (PKI) cenderung abai. Manakala ada usulan justru dari NU untuk mengangkat BK menjadi presiden seumur hidup, padahal hal itu merupakan bagian skenario NU menghindari pemilu. Kenapa? Jika digelar pemilu, diprakirakan PKI akan menang dan komunisme kian menyebar-luas kemana-mana. Jadi, tujuan mengangkat BK seumur hidup adalah guna meniadakan pemilu.

Juga mengenai usulan NU agar tanggal 1 Juni dijadikan Hari Lahir Pancasila semata-mata demi menyadarkan rakyat bahwa dasar dan/atau ideologi negara adalah Pancasila, bukannya ideologi komunis.

Pesan KH Wahab Chasbullah pada situasi genting tersebut: “Kecuali terpaksa, jangan bertempur di luar gelanggang karena hanya sedikit mendatangkan manfaat bagi umat”. Itu penekanan Kyai Wahab dalam perjuangan NU memerangi komunis. Dan semenjak itu, pertarungan (politik) antara NU melawan PKI terjadi di ruang terbuka baik di parlemen, di birokrasi/pemerintahan maupun di tingkat akar rumput pada berbagai medan tempur. Seperti Lekra misalnya, dikontra oleh NU dengan membentuk Lesbumi, BTI dipertandingkan dengan Pertanu, bahkan lahirnya Banser Ansor semata-mata untuk menandingi Pemuda Rakyat, organisasi massa underbow PKI. Dalam geopolitik, apa yang dilakukan NU adalah implementasi teori persamaan dan/atau kontra strategi guna menanggulangi meluasnya PKI di masyarakat.

Merujuk catatan singkat ini, jika boleh dinilai, bahwa strategi kontra NU terhadap PKI di atas boleh disebut sebagai skenario di atas skenario.

Asumsi geopolitik mengisyaratkan, könflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Pertanyaan pamungkas, hangatnya dinamika (geo) politik di Tanah Air kini, apakah cuma skenario buih, atau narasi ombak di lautan, atau skenario angin? Yang jelas, sejarah berulang. Ada skenario di atas skenario adalah keniscayaa. Dan sebaik-baiknya skenario adalah skenario dari Tuhannya!

Terima kasih

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com