Skenario Obama-Brzezinski Semakin Mantap Menyusul Melunaknya Taiwan Terhadap Cina

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Skema politik luar negeri Presiden Amerika Barrack Obama yang berada dalam kendali Zbigniew Brzezinski nampaknya sudah mulai berjalan setahap demi setahap.

Skema politik luar negeri Presiden Amerika Barrack Obama yang berada dalam kendali Zbigniew Brzezinski nampaknya sudah mulai berjalan setahap demi setahap. Strategi pemerintahan Obama merangkul Cina, mulai menunjukkan indikasinya yang semakin jelas melalui perkembangan terkini di Taiwan.

Simak saja konferensi pers yang digelar Presiden Republik Cina atau Taiwan  Ma Ying-jeou pada Rabu 20 Mei lalu. Menurut Presiden Ying-jeou, kebijakan lunak Taiwan terhadap Cina merupakan langkah yang tepat. “Saat ini, isu seperti kerjasama keuangan dan yudisial dalam rangka memerangi kejahatan lebih penting daripada isu perjanjian damai, yang tak lagi mendesak karena ketegangan di Selat Taiwan sudah berkurang.

Ini tentu saja merupakan tren yang cukup menarik untuk dicermati, mengingat selama ini Taiwan berada dalam persekutuan strategis baik secara ekonomi maupun pertahanan dengan Amerika Serikat. Karena itu, langkah yang diambil Presiden Taiwan rasa-rasanya tidak mungkin tanpa konsultasi dan koordinasi dengan kalangan perancang kebijakan keamanan nasional dan politik luar negeri di Gedung Putih.

Dalam skema Brzezinski dalam merancang politik luar negeri Presiden Obama, negara-negara yang mana Cina memiliki pertaruhan ekonomi dan bisnis yang besar seperti Iran, Amerika harus memperlunak sikap politiknya. Dengan harapan, Cina akan lebih kooperartif dengan Amerika. Termasuk dalam menggalang persekutuan Amerika-Cina membendung pengaruh Rusia yang semakin mengkhawatirkan bagi Amerika dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat.

Maka dari itu, ketika Presiden Taiwan dalam jumpa pers Rabu lalu mengatakan bahwa kerjasama ekonomi di tengah krisis global jauh lebih krusial daripada mengupayakan perdamaian secara formal, nampaknya hanya sekadar dalih resmi semata.

Agenda tersembunyi di balik melunaknya sikap Taiwan kepada Cina bisa dipastikan karena desakan dan arahan dari Washington, untuk menyelaraskan dengan strategi besar Brzezinski pada tahap awal yaitu menggalang persekutuan Cina melawan Rusia.

Untuk itu, Taiwan yang selama ini menjadi isu sensitif bagi Cina karena menyangkut harga diri bangsa, dengan pelunakan ini berarti sudah terjadi kesepakatan diam-diam (the silent agreement) antara Amerika-Cina. Sehingga Taiwan dan Cina bersepakat untuk mengagendakan kerjasamsa-kerjasama di bidang keuangan dan yudisial.

Kiranya bukan sebuah kebetulan bahwa Presiden Ying-yeou terpilih sebagai kepala negara Taiwan pada Mei 2008, di saat masa kepresidenan George W. Bush akan berakhir. Sehingga pola pendekatan Presiden Ying-yeou yang cenderung menghangat terhadap Cina menjadi faktor yang cukup kondusif untuk menjalankan skenario Obama-Brzezinski menggalang dukungan Cina mengepung Rusia.

Sehingga Obama dan para pembantu utamanya dalam perumusan politik luar negeri Amerika, tidak perlu bersusah payah untuk meyakinkan Presiden Taiwan yang sangat ultra nasionalis seperti presiden-presiden sebelumnya.

Sehingga keputusan politik luar negeri Amerika untuk memulihkan hubungan baik dengan Cina, sama sekali tidak perlu bertentangan dengan sikap politik para pemimpin Taiwan seperti di masa lalu.

Karena sejak Ma Ying-yeou menjadi presiden, baik Taiwan maupun Cina telah menandatangani berbagai kesepakatan di bidang ekonomi sehingga kedua negara bisa meningkatkan kesempatan berinvestasi, kunjungan turis, dan bahkan  membuka penerbangan langsung Taiwan-Cina.

Kondisi internal di Taiwan, bagi para perancang strategi politik luar negeri di Washington, ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Antara keinginan dan momentum, serba cocok.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com