Stiglitz dan Cacat Demokrasi AS (Haidar Bagir)

Bagikan artikel ini

Muhammad Anis

Tiba-tiba saja, 2 Oktober 2011 itu, dia muncul di Zucotty Park, di tengah para demonstran yang tergabung dalam gerakan Occupy Wall Street (OWS). Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel tahun 2011, bicara keras tentang ulah para banker dan pelaku bisnis keuangan di AS yang disebutnya sebagai telah mengacaukan ekonomi negeri itu. Meski sama sekali bukan seorang antikapitalisme, Stiglitz dikenal sebagai kritikus neoliberalisme, termasuk IMF serta berbagai badan keuangan AS dan dunia lainnya yang dianggapnya sebagai perwujudan-praktisnya. Hal ini sesungguhnya bukan sama sekali di luar dugaan.

Adalah tulisannya di Vanity Fair 5 bulan sebelumnya (“Of the 1%, by the 1%, for the 1%”) yang dianggap sebagai salah satu inspirasi bagi gerakan yang belakangan meluas ke Eropa dan Australia ini. Dalam tulisannya itu Stiglitz menyatakan bahwa, di AS, hanya 1 persen elite menguasai tak kurang dari 40 persen kekayaan negeri ini. Di tengah gaya hidup gila-gilaan segelintir orang superkaya dekaden negeri ini, makin banyak orang menjadi miskin dan makin banyak warga AS menjadi tuna wisma.

Pemerintah AS, didukung habis-habisan oleh kelompok kaya negeri ini,  menjustifikasi kesenjangan besar ini dengan menjajakan “teori produktivitas marjinal (marginal-productivity theory)”. Teori ini mengidentikkan pendapatan lebih tinggi dengan produktivitas lebih tinggi dan sumbangan lebih besar kepada masyarakat. Padahal banyak bukti menyatakan sebaliknya. Seperti sudah diketahui luas, banyak perusahaan besar di AS pada kenyataannya justru menjadi penyumbang utama bagi berbagai resesi di AS dan Eropa. Bahkan, menurut observasi Stiglitz, telah terjadi kerugian mahabesar terhadap ekonomi karena turunnya produktivitas akibat hilangnya ruang bagi sebagian besar orang untuk berpartisipasi dalam ekonomi, turunnya efisiensi ekonomi karena kekuatan monopoli oleh dan pemberian privilese pajak kepada kelompok kaya, serta hilangnya tindakan kolektif yang seharusnya mendukung kekuatan ekonomi.

Protes sosial di AS yang diprakarsai oleh OWS, menurut Stiglitz dalam tulisannya yang belakangan (”Globalization of Protest”), lahir dari “… perasaan bahwa ‘sistem’ sekarang ini telah gagal, dan keyakinan bahwa bahkan dalam suatu demokrasi, proses elektoral tak akan bisa membetulkan kesalahan … para pengejar rente (rent seekers) kaya menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi legislasi demi melindungi dan meningkatkan kekayaan mereka … (dan) memengaruhi arah politik. … Mereka (yakni, para pemrotes itu) benar, memang ada yang salah dengan ‘sistem’ kita.”

Kalau dirunut-runut, biang keroknya adalah kekuatan-kekuatan lobi, baik lobi ekonomi maupun politik – yang diusung oleh korporasi-korporasi besar negeri ini. Mereka inilah yang melakukan distorsi besar-besaran bukan saja terhadap prinsip-prinsip kapitalisme, melainkan juga terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Rakyat boleh bebas memilih, orang banyak boleh menjadikan pemimpin mereka obyek banyolan, tapi pada akhirnya pemimpin yang mereka pilih harus tunduk kepada kekuatan lobi-lobi ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemenangan para presiden AS ditentukan oleh seberapa besar dana kampanye yang berhasil mereka kumpulkan.

Dari mana itu semua? Dari mana lagi kalau bukan dari korporasi-korporasi besar yang mengusung lobi-lobi politik dan ekonomi itu. Keputusan Mahkamah Agung AS belakangan ini untuk mencabut larangan pembatasan dana kampanye dalam kasus Citizen United telah memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi besar untuk membeli pemerintah. OWS dan berbagai gerakan yang mengikutinya adalah persis merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk membetulkan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip kapitalisme dan demokrasi AS.

“Of the 1%, by the 1%, for the 1%” 
terbukti belakangan hampir-hampir seperti sebuah nubuatan ketika di dalamnya Stiglitz menulis: “Saat kita menatap semangat rakyat di jalan-jalan (Timur tengah), pertanyaan yang perlu kita ajukan kepada diri kita adalah : Kapan ini akan menyambangi Amerika? Dalam berbagai hal penting, negeri kita sendiri telah menjadi seperti salah satu dari tempat-tempat rusuh yang jauh itu.”  Tak diperlukan waktu lebih dari 3 bulan bagi nubuatan Stiglitz untuk menjadi kenyataan bersama dengan lahirnya OWS.

Bagi kita di Indonesia, pengamatan Stiglitz ini bagaikan sebuah deja vu. Terasa benar betapa korporasi-korporasi besar telah berlomba mencengkeramkan kuku-kuku mereka atas bukan saja pemerintahan yang berkuasa sekarang, melainkan juga melakukan investasi atas orang-orang yang baru pada tahap diperkirakan punya peluang untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Tujuannya tak lain agar  pada saatnya nanti mereka bisa memanen pengaruh politik dan ekonomi demi kepentingan sempit bisnis mereka.

Maka tak salah jika di sini pun banyak orang mulai bertanya-tanya : Awalnya Timur-tengah, kini benihnya telah muncul di AS dan Eropa, haruskah kita menunggu saja hingga badai sampai ke negeri kita, Indonesia?

Sumber: Tempo, 21 November 2011

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com