Strategi Perang Dagang: Intelijen dan Gotong Royong!

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Permenungan Kecil Tingkat Embuh

Tak bisa dipungkiri, bahwa aspek ekonomi —atau silahkan dikiyas atau diumpamakan ke sektor dan entitas lain— pada perang dagang (trade war) yang kini aktual karena dilaunching oleh Donald Trump, ternyata tak cuma zero sum game alias bukan soal menang atau kalah saja, tetapi yang utama dalam proses ekonomi dimana ada nilai tambah dari setiap sesuatu atas obyek yang ditransaksikan. Bagaimana cara mengoptimalkan nilai tambah tadi melalui jalin komunikasi, koordinasi, terutama sinergi maupun kolaborasi oleh para pihak.

Tengoklah pengalaman dan contoh di tingkat (ekonomi) global. Ketika Facebook (FB) dahulu memutuskan untuk berkolaborasi dengan para kompetitornya seperti Instragram (IG) tahun 2012 dan Whatsapp (WA) tahun 2014, meski saat itu sebenarnya reputasi IG dan WA jauh di bawah FB, namum toh tetap dirangkul juga. Selanjutnya, apa yang kemudian terjadi? Bahwa FB, IG dan WA kini menjadi tiga aplikasi raksasa dunia di media sosial. Hingga kini tak tergoyah di papan atas.

Sekarang lihat contoh peristiwa kebalikannya (menolak) dari sinergi seperti tiga raksasa aplikasi di atas. Tatkala Nokia menolak tawaran Android (2011) untuk kolaborasi karena dianggap sistem Android (Newbie System) tidak lebih baik daripada Windows yang kala itu juga dipakai Nokia serta dinilai tidak sukses, atau contoh lain, Yahoo menolak tawaran Google (2002) dengan alasan mahal dan memang reputasi Google saat itu di bawah Yahoo. Lantas, apa yang terjadi dari dua peristiwa penolakan kolaborasi tersebut? Dalam sekejab, Nokia ditinggal jauh oleh Android, pun demikian juga dengan reputasi Yahoo kini dilibas oleh Google.

Nah, dari cerita tentang FB, Nokia, Yahoo dan lain-lain di atas tadi, ada pointerskecil yang bisa dipetik, yakni:

1) Bahwa strategi merangkul lebih baik ketimbang menyerang/berhadap-hadapan dengan pihak lawan/kompetitor;

2) Sebuah keberhasilan itu, selain identik dengan keberanian mengambil resiko, juga kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan/atau mengikuti arus perubahan tanpa harus menghilangkan ciri dan identitas; dan

3) Tidak menganggap remeh terhadap sesuatu yang saat itu berada di bawahnya.

4) Kesediaan bermitra dengan kompetitor meski konsekuensinya adalah kesejajaran, kesederajatan, dan lain-lain karena memang dalam kemitraan ada pihak-pihak yang secara reputasi berada di atas dan/atau di bawah. Istilahnya kelegowoan;

5) Perlunya intelijen ekonomi yang mumpuni guna memprediksi kondisi (perekonomian) di masa akan datang dengan berbasis data-data riil, bukan hanya opini. Tentunya FB, Android atau Google niscaya mempunyai intelijen ekonomi ketika memutus berkolaborasi. Selanjutnya, maksud data riil disini contohnya, ketika coklat di Sulsel hanya berharga seribu rupiah, tetapi di Singapura menjadi dua puluh ribu, maka selisih Rp 19.000,- harus bisa diurai oleh intelijen ekonomi agar bisa kembali ke daerah, dan seterusnya.

Jadi, bila merujuk peristiwa di atas, bahwa kredo dalam perang dagang sejatinya bukan saling bantai, atau saling menjatuhkan dalam kompetisi, tetapi melakukan kolaborasi dan sinergi untuk mencapai tujuan bersama (nilai tambah). Saling menguntungkan para pihak. Dan sudah tentu akan ada kesepakatan sebelumnya khususnya pointers krusial terkait nilai tambah (benefit) dimaksud. Disini peran intelijen ekonomi bermain.

Intinya adalah kerja sama yang didasari info intelijen, bukan asal kolaborasi, atau monopoli dan tidak pula dominasi. Nah, untuk frasa kerja sama ini, local wisdom leluhur kita menyebut: Gotong royong!

Matur suwun

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com