Sudahkah Anda Berjihad?

Bagikan artikel ini
I Nurdin, Mahasiswa Pascasarjana STIMA IMMI Jakarta
Jihad merupakan salah satu prinsip dalam ajaran agama Islam. Akan tetapi, pemahaman jihad ini disalahgunakan dan dikerdilkan bukan pada tempatnya, oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, ingin memerangi umat Islam, bahkan memperburuk citra agama Islam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Jihad akbar/perang besar adalah perang melawan hawa nafsu (yang jahat); jihad fi sabilillah/jihad pada jalan Allah, (untuk kemajuan agama Islam atau untuk mempertahankan kebenaran); berjihad yaitu berperang (di jalan Allah); berjuang.
Kata jihad berasal dari Bahasa Arab: jahd, yang pada mulanya berarti kesulitan/kesukaran atau juhud, yakni kemampuan. Kedua makna tersebut mengisyaratkan bahwa jihad yang sebenarnya tidaklah mudah, tetapi dapat menjadikan sang mujahid berhadapan dengan aneka kesulitan dan kesukaran. Sang Mujahid juga dituntut untuk tidak berhenti sebelum kemampuannya berakhir atau cita-citanya terpenuhi. Itu sebabnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan, para mujahid/pejuang bangsa kita berpekik, “Merdeka atau mati.”
Menurut Muhammad Ad-Dawoody (2016) membagi jihad dengan dua kategori yaitu jihad difa’i (defensif) dan jihad thalabi (ofensif). Jihad defensif ini memiliki arti bahwa jihad ini dapat dilakukan dengan melestarikan tradisi baik dan bekerja dengan baik untuk kemaslahatan keluarga, ummat dan negara. Sedangkan, jihad thalabi adalah jihad yang sifatnya menyerang, dengan menempatkan pihak lain sebagai lawan atau oposisi yang harus diserang. Hal ini tidak diperkenankan dalam Islam.
Jihad dalam Islam makna dasarnya adalah untuk mempertahankan diri, bukan untuk menyerang dan meneguhkan eksistensi. Kelompok ISIS dan jaringannya di Indonesia yang sering menerapkan jihad thalabi (ofensif) jelas menunjukkan sebenarnya mereka tidak memahami ajaran agama Islam dengan baik. Oleh karena itu, jelas ISIS hanya untuk merusak atau mendiskreditkan Islam.
Berjihad tidak selalu harus identik dengan berperang secara lahiryah/fisik, jihad dapat dilakukan dalam bentuk perjuangan dalam diri sendiri untuk menegakkan syariat Islamiah; perjuangan terhadap orang lain, baik lisan, tulisan atau tindakan; jihad dalam bentuk pertempuran/qital jika muslim diserang (karena agama) terlebih dahulu dan diusir dari negerinya (sampai suatu batas mutlak yang ditentukan). Hal lain yang menunjukkan bahwa jihad bukanlah bertujuan dasar membunuh atau melakukan kekerasan adalah bahwa Nabi Muhammad SAW dalam aneka pertempuran selalu menawarkan kepada lawan dengan tiga alternatif, yaitu memeluk Islam atau, tetap memeluk agama/kepercayaan mereka, tapi menjadi penduduk yang baik dengan membayar jizyah (pajak sebagai imbalan pembelaan terhadap mereka serta penggunaan mereka terhadap fasilitas umum), atau ditindak/diperangi jika mereka menolak kedua tawaran tersebut.
Berdasarkan pemahaman di atas, jika jihad diidentikkan dengan bom bunuh diri, sangat bertentangan karena merupakan bentuk putus asa. Agama apapun termasuk agama Islam tidak pernah mengajarkan bom bunuh diri sehingga menimbulkan aliran pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Bunuh diri adalah sebuah tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengakhiri hidupnya, dengan harapan bahwa segala sesuatu urusan yang menimpanya berakhir karena ia telah meninggal dunia. Banyak hal yang menyebabkan seseorang nekat melakukan bunuh diri, dan hal yang paling sering menjadi penyebab bunuh diri adalah karena putus asa dalam menghadapi sebuah masalah seperti masalah ekonomi, masalah rumah tangga dan lainnya.
Secara logika masyarakat awam, jika bom bunuh diri dibenarkan dalam agama tertentu, mengapa para pemuka agamanya tidak memberikan contoh kali pertama sebelum para pelaku yang “dicuci otaknya” melakukan bom bunuh diri. Dalam sebuah kesempatan menjadi pembicara Seminar Kebangsaan dan Bela Negara di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 29 Agustus 2016, Ali Imron (Napi Teroris) mengatakan jika banyaknya pelaku bom bunuh diri terjadi karena doktrin-doktrin jihad yang salah dilakukan secara terus-menerus sehingga seseorang berani dan yakin menjadi pelaku bom bunuh diri. Sangat besar kemungkinan jika para “otak” pelaku bom bunuh diri memiliki tujuan yang bersifat pragmatis, dengan memanfaatkan anak-anak muda yang secara psikologis masih mencari-cari jati diri, maupun orang-orang yang memiliki keputusasaan dalam hidup.
Selain percobaan bom bunuh diri di Kota Medan yang dilakukan oleh kaum muda, tercatat juga jika pelaku pengeboman di Hotel JW Marriot pada 2009 juga dilakukan pemuda 18 tahun yang bernama Danni Dwi Permana. Danni Dwi Permana direkrut oleh Saefudin Jaelani, pedagang obat-obat herbal dan ahli pengobatan bekam. Saefudin Jaelani diduga juga merekrut 14 pemuda lainnya untuk dijadikan bomber. Para teroris mengincar remaja yang putus sekolah, pemuda yang tidak punya pekerjaan, orang-orang yang punya pendapatan tapi sangat rendah. Oleh karena itu, perlu adanya kewaspadaan dari masyarakat jika terjadi perubahan yang sangat besar pada salah satu anggota keluarga, khususnya jika bersifat sangat fanatik terhadap pemahaman/kelompok tertentu. Selain itu, perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah, khususnya Kominfo untuk mengawasi penyebarluasan persepsi yang salah tentang jihad, petunjuk-petunjuk pembuatan bom, ataupun hal-hal lain yang dapat mengganggu stabilitas keamanan di Indonesia.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com