Suksesnya Revolusi Iran: “Hadirnya Tokoh Yang Mampu Menggerakkan Nilai-Nilai Budaya Khas Masyarakatnya”

Bagikan artikel ini

DR. Jalaluddin Rakhmat, Pakar Komunikasi Internasional

Mengutip dari pandangan Michelle Focoult, seorang filosof besar Jerman, yaitu yang menganggap tipe ideal dari suatu masyarakat adalah masyarakat primitif. Ia memuja orang-orang jaman dahulu, menganggap bahwa peradaban itu mengalami regresi dari peradaban yang bagus di jaman dahulu hingga jaman sekarang. Peradaban sekarang dianggapnya merupakan dekadensi. Dan dia menganggap makin banyak ia bertemu orang pintar makin sukar ia mencari orang yang jujur. Artinya, bersamaan dengan intelektualisme yang tinggi itu berlangsung  juga ketidakjujuran.

Menurut Michelle Fucoult ada kerinduan kepada orang-orang dahulu yang menjemput kematian dengan rasa bahagia. Itu bisa dirasakan ketika terjadi Revolusi Islam di Iran, Focoult melihat Imam Khomeini sebagai manusia yang hidup dari zaman-zaman purba (zaman semasa Nabi). Karena itu adalah nilai-nilai primordial, kalau tidak ingin disebut nilai-nilai primitif.

Ketika muncul seorang tokoh mahkluk yang sebenarnya diametral dengan peradaban modern. Ditengah-tengah peradaban sekuler, dia mampu muncul sebagai tokoh agama. Ditengah-tengah perdaban yang materialistik, dia menampakan kehidupan yang sederhana. Ditengah-tengah ketergiuran pada peradaban modern, muncul seseorang yang mengajak untuk merindukan masa nabi zaman bahela.

Yang dikagumi Fucoult dalam Revolusi Islam di Iran ialah manusia yang sama sekali tidak materialistik, yang ingin mengembalikan kembali ke zaman yang ideal, ke zaman purba, ditengah-ditengah masyarakat modern. Dan orang sudah menduga tidak bakal sejarah dapat diputar balik. Tidak mungkin lagi zaman modern dikembalikan ke zaman purba. Dan tidak mungkin lagi kita kembalikan agama yang sudah ditinggalkan pada abad sekuler untuk memperoleh posisi politiknya lagi.

Dalam sebuah bukunya “Mengenang Revolusi Islam di Iran”, disana ia memuji-muji Imam Khomeini, memuji-muji Revolusi Islam di Iran. Dan yang ia puji mengapa Revolusi ini bisa berhasil karena dia menemukan untuk pertama kalinya sebuah bangsa yang merindukan sebuah kematian. Sebuah bangsa dengan pemuda-pemudanya yang berlomba-lomba menawarkan dirinya untuk mati di jalan Allah.

Kematian tidak lagi ditakuti dan dihindari seperti manusia modern. Ada sebuah bangsa yang berlomba-lomba untuk menjemput kematian. Focoult ingin membuktikan apa yang dikatakan oleh Martin Heidegger mengenai dua macam kematian. Yaitu yang pertama adalah kematian yang biasa, seperti kematiannya hewan dan tanaman, dimana bila sudah waktunya maka matilah. Dan orang yang menunggu matinya seperti ini maka orang itu tidak aktif selama hidupnya. Jadinya kematian yang tidak dapat dihindarkan, bila sudah saatnya mati maka matilah. Orang tidak menganggap kematian sebagai sebuah inspirasi. Tetapi kematian adalah sebuah keniscayaan, yang harus diahadapi dengan sikap ‘emang gue pikirin’. Kematian itu pasti datang. Jadi tidak ada bedanya kematian kita dengan kematian binatang yang kita pelihara, atau kematian tikus yang kita racuni. Jadi seharusnya kematian adalah inti dari eksistensi kita.

Yang kedua adalah kematian yang direncanakan. Bukan kematian yang kita terima secara pasif tetapi kematian yang menjadi pilihan kita. Kita mau memilih mati seperti apa.

Dan Fucoult melihat dalam Revolusi Islam di Iran adalah adanya kematian yang direncanakan. Kematian sebagai sebuah inspirasi. Dimana orang berlomba-lomba untuk menjemput kematian. Dan seorang tokoh purba, yaitu Imam Khomeini dengan pakaian purbanya tiba-tiba muncul melawan peradaban modern yang diwakili oleh Amerika.

Bila ingin berbicara mengenai rahasia sukses dari Revolusi Islam di Iran, sebenarnya kita sedang membicarakan teori-teori revolusi. Dan teori-teori revolusi itu selalu dirumuskan pasca revolusi. Dan ketika teori itu dipakai kita untuk menggerakan sebuah revolusi, teori itu selalu gagal. Atau salah satu ciri revolusi adalah mengejutkan. Unpredictable, tidak bisa diramalkan.

Kita bisa lihat siapa yang bisa meramalkan kejatuhan Mubarak, kemudian Omar Soleman mengundurkan diri dari Mubarak, lalu rakyat pun bersorak gembira. Dalam revolusi di negara-negara Timur Tengah ada sebuah tradisi yaitu diktator selalu digulingkan oleh diktator lagi. Diktator lama lalu digantikan lagi dengan diktator baru. Kecuali apa yang terjadi di mesir ini, seorang diktator digulingkan oleh kekuatan massa.

Namun teori revolusi di Iran tidak bisa dipakai pada revolusi di mesir. Di Iran, revolusi dilahirkan oleh seorang tokoh purba yang mengajarkan kepada bangsa Iran untuk mencintai kematian. Di mesir kelompok-kelompok Islam malah melepas diri, Ikhwanul Muslimin yang sering melawan diktator mesir itu mengatakan tidak memegang peranan penting. Bahkan pemimpinnya mengatakan  Ikhwanul Muslimin tidak ikut serta dalam peristiwa itu, meskipun secara individu beberapa anggota Ikhwanul Muslimin ikut terlibat.

Dalam revolusi Mesir yang muncul adalah kekuatan rakyat, bukan saja dari kelompok Islam tetapi dari berbagai kelompok yang semuanya bergabung menentang tirani Mubarak. Imam Khomeini menakjubkannya juga, pada saat ia memimpin revolusi, ia menggabungkan seluruh rakyat Iran. Karena mayoritas rakyat Iran itu syiah jadi idiom-idiom politik yang digunakan berasal dari ajaran syiah. Tapi yang menariknya adalah bahwa ajaran-ajaran syiah itu cocok dengan kaum sosialis bahkan dengan kaum marxis. Sehingga mereka pun bergabung dengan Imam Khomeini.

Jadi Revolusi Islam di Iran itu adalah sebuah ideologi berbasiskan agama yang kemudian dimodifikasi dengan ideologi-ideologi konstruktif, seperti ideologi-ideologi sosialisme dan marxisme. Kita mengenal ada Ali Syariati yang membungkus ajaran syiah dengan Marxisme.

Salah satu sebab dari suksesnya revolusi Islam adalah kehadiran seorang tokoh yang menggerakkan rakyat kepada nilai-nilai yang sesuai pada budaya-budaya mereka. Mereka tidak mengimpor ideologi dari luar, mereka mengambil ideologi – dalam istilah Bung Karno – menggalinya dari Ibu Pertiwi. Sebuah revolusi hanya bisa dibangun dengan menuju dari nilai budaya-budaya setempat. Dan Bung Karno bisa menjadi Ilham bagi kita jauh sebelum Imam Khomeini.

Kedua, sebuah faedah yang sangat penting juga, bahwa dalam teori revolusi kita tidak bisa menerapkan sebab-sebab revolusi yang tidak menuju pada budaya setempat. Saat ini tidak bisa mencari pemimpin seperti Imam Khomeini, pemimpin yang menjemput kematian dengan penuh kerinduan. Bahkan mencari pemimpin yang jujur saja, yang tidak memperkaya dirinya, mungkin merupakan perbuatan panjang yang tidak berujung. Jadi dari pada menunggu hal itu lebih baik kita mulai berpikir dengan pikiran yang sederhana saja, sebuah revolusi selalu unpredictable. Revolusi selalu tidak bisa diramalkan.

Sebagai penutup, Jean de La Fontaine, Pujangga dari Perancis, yang menulis buku “Kumpulan Dongeng-dongeng”. Dalam suatu saat matahari melahirkan matahari yang baru. Dan seluruh dunia berpesta ikut berbahagia atas kelahiran putera sang surya. Pada hari pertama melahirkan matahari pertama. Hari kedua kembali melahirkan matahari. Dan pada akhirnya berkembanglah matahari dengan begitu banyak. Dunia pun menjadi gerah, panasnya luar biasa, mahkluk-mahkluk berjatuhan tidak mampu menahan panasnya akibat kelahiran-kelahiran putra matahari tersebut. Jean berkata itulah bila rakyat berpesta dengan kedatangan pemimpin baru.

* Disampaikan pada Diskusi Panel Global Future Institute (GFI) : “32 Tahun Revolusi Islam dan Hikmahnya Bagi Indonesia dan Negara-negara Berkembang” tanggal 17 Februari 2011 di Wisma Daria, Jl. Iskandarsyah Raya No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com