Tempatkan UUD 1945 Sesuai dengan Cita-Cita Founding Fathers

Bagikan artikel ini

Sebagai kaum muda ia mengerti betul bagaimana seharusnya Pancasila ditempatkan sebagai ideologi negara. Menurutnya, Ideologi Pancasila itu merupakan budaya masyarakat Indonesia. Perpaduan dari seluruh budaya yang ada pada bangsa Indonesia. Sebut saja tenggang rasa, gotong royong serta saling merangkul adalah buah hasil dari nilai-nilai Pancasila.

Kerap kali dalam beberapa tulisannya, ia menyebut bahwa Pancasila itu merupakan buah pemikiran lokal yang menyatu. “Saya sering sebut sebagai arkeologi pengetahuan, arkeologi nilai-nilai budaya. Ada nilai-nilai pemikiran agamanya, ada struktur masyarakatnya. Dan itu semua menyatu disana. Kemudian lahirlah yang namanya ideologi Pancasila,” imbuh tokoh muda yang pada 2005 menjabat Sekretaris Jenderal  Majelis Persaudaraan Kebangsaan ini.

Samuel berpandangan bahwa ideologi Pancasila sangat beda dengan ideologi kapitalisme dan liberalisme. Menurutnya, kedua ideologi tersebut lahir dari bentuk pemberontakan atau perlawanan. “Liberalisme sudah jelas, ini dimulai dari John Locke, Rousseau, dan kemudian Hobbes,” jelas Samuel.

Demokrasi barat menurutnya lahir karena proses sejarah yang begitu panjang. Konsep kekuasaan lahir karena berbagai pertikaian dan perang antar negara, dominasi kekuasaan gereja terhadap rakyat serta kekuasaan pemerintahan yang otoriter menindas hak-hak rakyat. “Fakta sejarah inilah yang melahirkan demokrasi liberal. Dan ini jurang pemisah yang membedakan antara demokrasi Indonesia dengan demokrasi barat,” ujarnya.

Dalam demokrasi barat, hak asasi manusia menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hak kemanusiaannya, yang difokuskan pada perlawanan menyatunya kekuasaan gereja dan monarki. Sementara marxisme menurut Samuel, melebih dari liberalisme. Marxisme lebih menyuarakan kebebasan bukan sekedar untuk mendapatkan HAM. “Bahwa terbentuk kaum aristokrat dan pemerintah, yang walaupun namanya pemerintah demokrasi, tapi pada saat dia menghisap rakyat, maka bukan HAM nya yang diperjuangkan. Akan tetapi mereka telah melakukan penghisapan terhadap rakyat, oleh karenanya ini harus diruntuhkan. Harus dilawan. Dan penguasaan ekonomi bukan hanya dimiliki oleh kelompok penguasa. Akan tetapi milik masyarakat,” jelasnya.

Sementara, Pancasila itu lahir bukan dari bentuk perlawanan. Pancasila lahir dari jatidiri bangsa Indonesia. Oleh karenanya Samuel berpendapat demokrasi yang dianut Indonesia saat ini tidak sesuai dengan kultur masyarakat.

Ia tidak sependapat dengan pemahaman yang menilai bahwa nilai-nilai ideologi Pancasila sudah mulai tergerus. “Pancasila dari tataran ideologinya tidak tergerus, karena Pancasila itu endapan budaya. Ada di dalam karakter masyarakat Indonesia. Dia terpendam tidak bisa hilang. Makanya saya bilang arkeologi,” katanya.

Namun agaknya ia menyadari bahwa ideologi liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan marxisme yang dicangkokkan ke dalam Ideologi Pancasila menumbuhkan buah yang berbeda, buah demokrasinya berbeda. “Inikan seperti pohon yang kemudian berbuah. Ternyata buahnya tidak sesuai dengan pohonnya. Tapi akarnya tetep sama. Kemudian karena dicangkokkan, rasanya menjadi berbeda. Kalau sumbernya kita potong dan kita sisakan tunasnya maka pasti akan berbuah yang sesuai,” ujar Samuel.

Justeru menurut Samuel, sekarang yang terjadi liberalisme, kapitalisme dan sosialisme menjadi bagian kita. Dan ini menjadi persoalan yang serius. “Pada saat ideologi tersebut diadopsi, dimasukan kedalam ketatanegaraan kita, itu yang menjadi konflik. Terjadi benturan ideologi. Ibaratnya kita memiliki kepribadian ganda. Bila terjadi kegamangan ideologi maka tidak akan pernah selesai. Itu berlaku di negara manapun,” imbuhnya.

Samuel jelas mengakui kehebatan Pancasila. Pancasila itu menurutnya mampu menerobos konflik dunia ketika Bung Karno masih memimpin. Ia mencontohkan, ketika terjadinya perang dingin antara blok barat dan blok timur, Pancasila menjadi “solusi” dalam penyikapan. Pasalnya, dalam Pancasila itu ada internasionalisme dan ada agamanya.

Dan ideologi ini menurut Samuel, terbangun bukan karena adanya rumusan yang dibuat oleh Bung Karno. Sebelum Bung Karno, ada Muhamad Yamin yang merumuskan, kemudian baru dikongkretkan oleh Bung Karno.

Samuel menjelaskan mengapa ideologi liberalisme di Amerika Serikat bisa berjalan, karena dia sudah final. Disana menurutnya jelas tidak ada marxisme jadi mampu dipraktekkan. Sementara di Indonesia, belum selesai sudah terganti. Ini sebenarnya yang menjadi persoalannya. “Oleh karenanya kenapa kita harus kembali ke UUD 1945. Kembali ke UUD 1945, sebenarnya bukan seperti kita kembali dengan mesin waktu. Akan tetapi menempatkan UUD 1945 itu sesuai dengan cita-cita founding fathers. Persoalannya ada disitu,” jelas praktisi hukum di Mahapatih Law Firm ini.

Hal lain yang menjadi sorotan Samuel adalah kondisi politik yang terjadi saat ini. Menurutnya, anggota DPR dan MPR sekarang ini berada pada posisi yang lemah, karena mereka itu orang-orang politik semua. Skemanya dulu diakomodir melalui perwakilan berdasarkan kemampuan dan kredibilitasnya. “Kalau dulu, ketika presiden melakukan kesalahan maka MPR melakukan persidangan untuk memanggil presiden. Tapi kalau sekarang, ketika presiden melakukan kesalahan, hanya bisa ditangkap kalau tertangkap tangan dia melakukan korupsi,” jelasnya.

Menyoal amandemen UUD 1945, Samuel menilai bahwa amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila. Menurutnya, sistem politik Pancasila itu jelas ada di Sila Keempat, yaitu musyawarah mufakat. “Bukan one man one vote. Sistem politik Pancasila sudah merupakan yang terbaik dari yang baik. Karena dengan musyawarah mufakat kita memilih orang terbaik bukan hanya orang terpintar. Dia bukan hanya merupakan kumpulan orang pintar, tapi dia mampu merangkul. Makanya yang dirumuskan adalah musyarawarah yang dipimpin oleh hikmat. Hikmat dan bijaksana itulah yang menuntun sistem perpolitikan,” jelasnya.

Oleh karenanya, Samuel berpandangan bahwa tidak bisa menyalahkan kepemimpinan nasional. Karena menurutnya memang ini hasil dari sistem yang rusak. “Loh, wong kita juga yang memilih sistem seperti ini,” imbuhnya.

Terkait terminologi kembali ke UUD 1945, agaknya Samuel kurang sepaham. “Yang tepat adalah menempatkan UUD 1945 sesuai dengan keinginan founding fathers. Kekayaan pemikiran itu yang harus dikembalikan. Karena pemikiran itu selalu melalui pencerahan-pencerahan, dan dia punya dasar,” jelasnya.

Menurutnya, yang saat ini perlu dilakukan adalah menghidupkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Partai politik (parpol) boleh banyak, akan tetapi tujuan terakhir bukan parpol yang menentukan melainkan MPR. Lalu menurutnya, perlu adanya utusan golongan yang merupakan perwakilan dari tokoh-tokoh agama dengan integritas terjaga. “Banyak tokoh-tokoh yang memiliki wawasan kebangsaan tapi mereka tidak mau berpolitik. Sehingga tidak mengetahui mekanisme yang dapat membawa mereka kesana. Oleh karenanya perlu ada utusan golongan dan utusan daerah. Ini yang juga akan memperkuat fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” jelas pendiri Lembaga Kajian Ilmu Hukum (LKIH 1708) ini.

Terkait dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Samuel  menyoroti keberadaan DPD yang dianggapnya tidak representasi dari masyarakat. Pasalnya, menurut Samuel,  mayoritas anggota DPD adalah pengusaha. “DPD dihasilkan dari sistem politik yang sama. Dengan UU Politik yang sama. Dengan mekanisme yang melalui pemilihan. Dia bisa bayar sistem,” tegas alumni Sekolah Tinggi Filsafat Manado dan Universitas Tujuhbelas Agustus Jakarta ini.

Terkait dengan kemimpinan nasional, agaknya Samuel menunjukkan kekecewaannya terhadap presiden. Seharusnya menurut Samuel, presiden menjaga kekayaan Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Menyikapi ini, belangan ia rajin melakukan komunikasi dengan elemen gerakan lainnya. Terlebih dalam menyikapi kepemimpinan Presiden Jokowi, yang menurutnya sangat mengecewakan rakyat Indonesia. Elemen gerakan menurutnya sudah mulai memunculkan sikap tegas terhadap Presiden Jokowi.  “Menggunakan darah aktivis hanya untuk menjatuhkan seorang presiden itu terlalu mahal. Kalau presiden tahu diri, maka dia akan mundur,” tegasnya.

Menurutnya, saat ini banyak tokoh muda yang siap untuk memimpin bangsa. “Banyak tokoh muda yang tidak punya beban masa lalu dan hutang masa lalu. Kalau ibarat dalam teori kepemimpinan Alexander Agung, dia tidak mencari tokoh. Dia mencari orang-orang muda yang pintar dan mampu memimpin bangsa,” ujar pengurus DPP Partai Gerindra ini. (ht/fsa/rp)

Biodata Singkat:

Samuel Lengkey, putra Manado yang senang melakukan aktifitas sosial dan berorganisasi. Pada 2004, ia menjadi salah satu pendiri organisasi Kerukunan Pemuda Kawanua (KPK). Kemudian 2005, Samuel mendapat amanat menjadi Sekretaris Jenderal  Majelis Persaudaraan Kebangsaan.

Bermula dari kegiatan sosial, Samuel kemudian menjurus jadi politis. Ketika kran pendirian partai politik dibuka, Samuel aktif di Dewan Pimpinan Pusat Partai Damai Sejahtera pada tahu 2005 – 2007. Beragam posisi dijabatnya. Mulai dari Staf Ahli Sekretaris Jenderal, Ketua Departemen Pemberdayaan Pemuda hingga memegang Pimpinan Tetap Sidang MUNASLUB Bali Partai Damai Sejahtera. Di tahun 2005, ia dipercaya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal pada Barisan Muda Damai Sejahtera (DPN BMDS).

Samuel yang tercatat pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Manado dan Pascasarjana ini aktif dalam lembaga-lembaga kajian. Ia termasuk sebagai penggagas sekaligus sebagai Direktur Eksekutif pada lembaga kajian Jaringan Analisis Strategis (JAS), yang fokus kajiannya pada bidang ketatanegaraan, atau lebih tepatnya perbandingan ideologi, 2015. Sebelumnya, pada 2013, ia juga tercatat sebagai pendiri Lembaga Kajian Ilmu Hukum (LKIH 1708).

Sebagai seorang pemuda yang peduli terhadap kondisi bangsa, Samuel tak segan-segan melakukan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Tak terkecuali masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Bersama tokoh lintas agama yang tergabung dalam Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), ia secara tegas menuntut Presiden SBY melepas jabatannya. Alasannya, SBY dinilai gagal dalam memberantas korupsi.

Pada 2008, ketika masih menjadi Koordinator Aliansi Mahasiswa Pemuda Kristen, Samuel Lengkey memprotes Majalah berita mingguan Tempo edisi 4 Februari yang memuat sampul majalahnya dengan menampilkan lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci. Pada sampul itu, rupa Yesus diganti dengan wajah mantan presiden Soeharto yang meninggal pada 27 Januari.

Tidak hanya itu. Pada 29 Juli 2015, bersama tokoh-tokoh bangsa, Samuel ikut mendeklarasikan Front Nasional yang dilaksanakan di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi Jakarta. Front Nasional sebagai organisasi kemasyarakatan yang membawa misi menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa, dengan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang sesuai dengan isi dan jiwa Pancasila, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terciptanya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. ***

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com