The New York Times: Media Corong Korporasi Global AS Dalam Mendukung Setiap Penggulingan Para Pemimpin Anti-Amerika

Bagikan artikel ini

Presiden Bolivia Ivo Morales digulingkan dari kekuasaan atas desakan beberapa jenderal angkatan bersenjata agar dirinya mengundurkan diri. Setelah Morales terbang ke Meksiko, angkatan darat Bolivia melantik anggota parlemen sayap kanan Jeanine Anez, sebagai presiden pengganti. Anez, berlatarbelakang dari Kristen konservatif, termasuk yang berpandangan rasisme terhadap penduduk asli Bolivia. Begitu tiba di Istana, sembari membawa kitab Injil, lantas mengatakan “ Sekarang kita memasuki jajaran pemerintahan.”

Menariknya, seperti artikel yang ditulis oleh Alan MacDonald berjudul:

The New York Times’ long history of endorsing US-backed coups ,

The New York Times sebagai salah satu koran paling berpengaruh di Amerika, menyambut peristiwa peralihan kekuasaan dari Morales ke Anez, dengan menolak penggunaan istilah kudeta. Dalam tajuk rencananya, The New Yorks Times menggunakan istilah pengudnduran diri Morales, sehingga menciptakan kekosongan kekuasaan, yang memberi jalan bagi Anez untuk masuk menggantikan Morales.

Frase-frase yang digunakan The New York Times terhadap Morles: Sombong, Otoriter, pemimpin tiran, penyalahgunaan kekuasaan, menghancurkan semua kelembagaan negara, dan sebagainya.

Dengan demikian, The New York Times menggambarkan peralihan kekuasaan dari Morales ke Anez sebagai peralihan kekuasaan ke “tangan para pemimpin yang bertanggungjawab.” Dan melemparkan semua kesalahan dan tanggungjawab atas kekacauan di Bolivia pada presiden tergusur, Ivo Morales.

Menurut Profesor Ian Hudson, dari Universitas Manitoba, The New York Times saat ini masih merupakan harian paling berpengaruh di Amerika Serikat, sebagai sarana pembentukan opini publik.Bukan itu saja. Hingga kini, the New York Times juga masih merupakan harian yang berada di ranking teratas sebagai media dalam liputan investigasi maupun pembentukan opini publik.

Dalam kesejarahannya, the New Yorks Times lingkup pengaruhnya melampaui jumlah pelanggannya yang diperkirakan berjumlah 5 juta orang. Dalam setiap campur tangan AS dalam menggulingkan pemerintahan negara yang dipandang tidak bersahabat dengan Amerika di pelbagai belahan dunia, The New York Times secara konsisten selalu memberikan dukungan terbuka melalui liputan maupun tajuk rencananya. Termasuk dalam kasus penggulingan Morales di Bolivia baru-baru ini.

Pada 1953, AS merekayasa kejatuhan Perdana Mentri Iran Mohammad Mossadeq, seraya mengembalikan Shah Iran ke tampuk kekuasaan dari pengasingannya di Italia. Mossadeq yang sebenarnya berhaluan reformis nasionalis kerakyatan, memicu kemarahan Inggris dan AS gara-gara berencana menasionalisasi perusahaan minyak Inggris, British Petroleum. Dengan alasan bahwa minyak harus didedikasikan bagi rakyat Iran, dan bukan buat segelintir kalangan elit Iran.

Sejak 1953, Mossadeq berhasil digulingkan dari kekuasaan oleh bantuan CIA dari belakang layar. Dan Shah kembali berkuasa hingga digulingkan melalui Revolusi Islam Iran pimpinan Ayatullah Khomeini pada 1979.

Seperti halnya pada waktu Morales digulingkan dari kekuasaan November lalu, The New York Times juga menyatakan kelegaannya ketika Mossadeq berhasil dilengserkan dari tampuk kekuasaan pada 1953. Lebih dari itu, The New York Times melalui tajuk rencananya, mengingatkan berbagai kalangan yang bermaksud untuk menasionalisasi sektor industri yang dimiliki korporasi-korporasi global. Khususnya Korporasi-korporasi global asal Amerika Serikat.

Seperti terungkap pada salah satu paragraf tajuk rencana The New York Times menyusul lengsernya Mossadeq:  “Underdeveloped countries with rich resources now have an object lesson in the cost that must be paid by one of their number which goes berserk with fanatical nationalism.”

Perhatikan beberapa kosa kota yang digunakan The New York Times. Nasionalisme fanatik, negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya alam. Nampak jelas the New York Times sejatinya merupakan corong kepentingan korporasi global asal AS. Bukan sekadar koran yang pro pemerintah.

Dalam kasus penggulingan Presiden Brazil Joao Goulart yang berhaaluan kiri-tengah dan reformis, juga digulingkan melalui kudeta militer pada 1964. Dua hari setelah lengsernya Goulart, The New York Times melansir sebuah tajuk rencana yang menegaskan tidak bisa menolerir pemimpin yang tidak kompeten dan tidak bertanggungjawab.

Sebagaimana juga dalam kasus penggulingan Morales dari Bolivia, The New York Times menolak penggunaan istilah kudeta terhadap penggulingan Goulart dari tampuk kekuasaan. Harian berpengaruh AS itu menggunakan istilah “Goulart telah dilengserkan dari kekuasan melalui revolusi damai.” Bahkan sebulan setelah kejatuhan Goulart, The New York Times muncul dengan sebuah artikel berjudul: Brazil Lega Dengan Lengsernya Goulart.” Seraya menggambarkan adanya rasa optimism dan kelegaan di kalangan rakyat Brazil. Karena berhasil menyingkirkan ekstremisme dan rejim ultra kiri. Bahkan membenarkan penangkapan beberapa politisi pendukung Goulart dengan dalih mereka itu orang-orang komunis.

Penggulingan kekuasaan terhadap Presiden Chile, Salvador Allende, dan ditampilkannya Jenderal Augusto Pinochet paa 1973, atas dukungan CIA dari belakang layar, juga melibatkan The New York Times dalam persekongkolan tersebut.

Bahkan selang sehari setelah Allende memenangi pemilu presiden, The New York Times dalam beberapa liputannya, telah membangun kesan bahwa Allende akan menghancurkan kebebasan lembaga-lembaga politik dan ekonomi Chile, akibat haluan politiknya yang condong ke kiri dan pro komunis.

Tak heran ketika Jenderal Pinochet berhasil menggulingkan Allende dan menyerbu Istana, The New York Times menyalahkan Allende sepenuhnya sebagai penyebab kejatuhannya. Sebagaiman harian AS ini nyatakan terhadap Morales dan Mossadeq. “No Chilean party or faction can escape some responsibility…but a heavy share must be assigned to the unfortunate Dr. Allende himself. Even when the dangers of polarization had become unmistakably evident, he persisted in pushing a program of pervasive socialism for which he had no popular mandate.”

 The New York Times menyalahkan haluan politiknya yang sosialis sebagai biang keladi lengsernya Allende. Jelas sangat tendensius.

Pada 2002, Presiden George W Bush secara tersembunyi mendukung percobaan kudeta terhadap Presiden Venezuela Hugo Chavez. Melalui pola yang konsisten, tajuk rencana The New York Times mendukung kudeta terhadap Chavez. Dan menolak penggunaan istilah kudeta.

Dalam tajuk rencananya dua hari setelah lengser, The New York Times menulis: “ Dengan lengsernya Chavez, maka saat ini ancaman terhadap demokrasi di Venezula lenyap sudah. Chavez lengser dari kekuasaan berkat campurtangan militer. Dan menyerahkan kekuasaan pada seorang pebisnis yang cukup dihormati, Pedro Carmona.”

Jadi lagi-lagi, The New York Times menghindari penggunaan istilah kudeta, melainkan campurtangan militer. Menafikan adanya keterlibatan pemerintah AS. Dan sepenuhnya murni sebagai urusan dalam negeri Venezuela.

Uniknya dalam kasus Venezuela, hanya selang dua hari, unjuk rasa ribuan masyarakat Venezuela yang turun ke jalan, akhirnya berhasil mengembalikan Hugo Chavez ke tampuk kekuasaan. Karena dengan besarnya gelombang aksi massa menuntut kembalinya Chavez, telah memompa keberanian kalangna militer yang setia pada Chavez, untuk merebut kembali kekuasaan Ramona yang didukung CIA.

Begitu pula ketika pemerintah AS di bawah Donald Trump berupaya menciptakan dualisme kepemimpinan di Venezuela, dengan memunculkan pemimpin bonea Juan Guaido, The New York Times mendukung klaim Guaido sebagai presiden Venezuela yang sah. Namun manuver Guaido gagal total karena tidak populer di mata rakyat Venezuela. Dan masih memandang Maduro sebagai ahli waris Hugo Chavez.

Ketika gerakan Guaido yang didukung Gedung Putih gagal total, The New York Times tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Menggambarkan Nikolas Maduro sebagai presiden korup yang merusak menghancurkan Venezuela, ternyata tetap berkuasa. Dan sangat menyayangkan gagalnya upaya kudeta terhadap Maduro.

Sehingga melalui konstruksi cerita tadi, nampak jelas The New York Times merupakan media corong pemerintah dan kepentingan korporasi global AS dalam setiap agenda pergantian rejim yang dipandang musuh bagi kepentingan nasional AS. Dengan begitu, The New York Time merupakan senjata vital AS dalam perang propaganda yang ditujukan pada warga masyarakat AS, dalam menggalang dukunga publik AS maupun dunia internasional, terhadap upaya pergantian rejim di negara-negara yang dipandang musuh oleh AS.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com