Tragedi Mavi Marmara, Awal Perlawanan Masyarakat “Sipil” Dunia Terhadap Sikap Barbar Israel

Bagikan artikel ini

Rusman, Direktur Global Future Institute (GFI)

Tragedi yang menimpa aktivis perdamaian untuk Palestina menjadi simbol perlawanan terhadap Israel. Kepedulian para aktivis dari sekitar 32 negara dengan usahanya mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Palestina merupakan bentuk dukungan nyata pentingnya mewujudkan Palestina merdeka.

Apa yang dilakukan para aktivis kemanusiaan untuk Gaza menjadi catatan sejarah penting. Terlepas dari gagalnya misi mereka membawa bantuan sampai ke Gaza, namun keberhasilan mereka menjadi titik awal sebuah perlawanan masyakarat sipil dunia terhadap sikap barbar Zionis Israel. Para aktivis kemanusiaan ini setidaknya membuka mata dunia akan pentingnya kemerdekaan bagi bangsa Palestina.

Terlepas dari apapun, peristiwa ini menjadi pertanda bahwa konflik Palestina tidak sebatas konflik antar dua negara, namun telah menjadi konflik global. Lihat saja bagaimana reaksi protes yang muncul diberbagai negara-negara pasca peristiwa penyergapan ke kapal Mavi Marmara ini. Dan sudah selayaknya lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) tidak hanya sebatas mengeluarkan pernyataan, namun harus melakukan tindakan keras terhadap Israel.

Sejak Israel melakukkan agresi militernya di Palestina ditahun 2008, masyarakat dunia sebenarnya sudah dibuat geram dengan sikap PBB yang terkesan hanya berdiam diri terhadap apa yang terjadi di Palestina. Padahal perang yang tak seimbang ini jelas-jelas terjadi banyak pelanggaran HAM. Ribuan warga sipil di Gaza menjadi korban keberingasan militer Israel.

Beberapa waktu belakangan, pasca agresi militer Israel ke Gaza di tahun 2008, sejumlah kepala negara telah mengeluarkan sikap kerasnya kepada Israel. Perdana Menteri Turki, Recep Tayyep Erdogan, berdebat keras dengan Presiden Israel Shimon Perez perihal agresi Zionis Israel ke Gaza itu. Dalam pertemuan ekonomi dunia di Davos, Swiss itu, Erdogan mengecam Perez dengan menyebut  Bangsa Israel sebagai Pembunuh.

Apa yang dilontarkan Erdogan terhadap Zionis Israel ini tidak serta merta tanpa alasan yang kuat. Kejadian berdarah Senin pagi diatas kapal Mavi Marmara sudah cukup membuktikan bahwa Zionis Israel melakukan pembantaian dan layak mendapat sanksi keras dari PBB.

Perlu Kekuatan Baru Untuk Menekan Zionis Israel

Tragedi Mavi Marmara telah menjadi isu yang pantas digulirkan untuk mendesak Zionis Israel membuka blokade atas Gaza. Kiranya perlu adanya kekuatan penekan baru dari berbagai negara. Kekuatan diplomasi menjadi penting dilakukan untuk menekan PBB agar mengeluarkan sikap keras bagi Israel.

Indonesia sebagai negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Palestina setidaknya menjadi salah satu penggerak untuk mendesak PBB. Apalagi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan dukungannya bagi terciptanya Palestina merdeka.

Kekuatan penekan yang lahir dari para aktivis pembebasan Gaza seharusnya menjadi acuan bagi negara-negara yang mendukung Palestina merdeka. Artinya, tidak hanya sekedar pernyataan keras yang muncul, namun tindakan kongkrit guna menciptakan perdamaian di Palestina. Bantuan kemanusiaan mungkin saja dapat dilanjutkan oleh negara-negara yang menginginkan berakhirnya blokade atas Gaza.

Apapun, dukungan kemanusiaan untuk Gaza akan terus mengalir dan semakin menguat. Simak saja, bagaimana kuatnya tekad para aktivis pembebasan untuk Palestina ini bersikap. Rencananya, setelah Mavi Marmara dan 5 kapal lainnya gagal mengantarkan bantuan ke Gaza, para akfivis ini akan terus berusaha menembus blokade Israel terhadap Gaza. Para aktivis ini akan akan mengirimkan kapal Rachel Corrie, sebuah kapal dagang yang dibeli aktivis pembebasan Palestina untuk mengangkut bantuan kemanusian ke Gaza.

Ini akan menarik bila beberapa negara bersedia mengirimkan militernya guna mengawal bantuan tersebut ke Gaza. Agaknya ini menjadi sikap yang kongkrit dan patriot membela kaum yang tertindas. Mungkinkah ini akan terwujud?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com