Tunisia Seharusnya Belajar Pada Indonesia

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman-Pengamat Internasional Universitas Padjajaran

Ben Ali akhirnya tumbang setelah 24 tahun berkuasa, ‘hanya’ oleh demonstrasi rakyat yang terjadi secara spontan. Sungguh sebuah ironi bagi AS. Negara yang mengklaim diri sebagai penegak demokrasi itu telah menggelontorkan dana milyaran dollar untuk proyek yang disebutnya ‘demokratisasi Timur Tengah’ dengan target Afghanistan, Iran, dan Irak. Namun selain kerugian materil yang tak habis-habis, kini AS harus gigit jari menyaksikan bahwa justru negara yang tidak didorongnya untuk berdemokrasi, yaitu Tunisia (mungkin segera menyusul Mesir, serta negara-negara Arab lainnya), malah bangkit menumbangkan penguasa mereka dan menuntut pemerintahan yang demokratis. Kembali terbukti bahwa bagi AS demokratisasi adalah membuka pasar seluas-luasnya bagi korporasi AS. Bila sebuah rezim despotik macam Ben Ali sudah membuat nyaman korporasi, persetan dengan demokrasi.

Tak heran bila Obama dan bahkan media mainstream berhari-hari sempat bungkam menyikapi sikap brutal dan represif rezim Ben Ali terhadap para demonstran Tunisia. Segera setelah Ben Ali angkat kaki dari Tunisia, barulah Obama tampil dan menyatakan dukungannya pada ‘perjuangan yang berani untuk menegakkan hak-hak universal’ serta menyeru kepada pemerintah Tunisia agar menghormati HAM dan menyelenggarakan pemilu yang mereflesiksikan aspirasi rakyat Tunisia. Sikap Obama dan media mainstream ini jelas berbeda dengan sikap mereka tahun 2009 ketika ada sekelompok ‘reformis’ menentang hasil pilpres Iran. Ketika jatuh korban dalam aksi-aksi kerusuhan yang dipicu para ‘reformis’ Iran, Obama tampil sebagai pembela dengan mengatakan, “Saya sangat mengutuk tindakan yang tidak adil ini dan saya bergabung dengan bangsa Amerika untuk meratapi setiap nyawa yang hilang [di Iran].” Media-media mainstream terlibat aktif mendukung kaum ‘reformis’ dengan tak henti berkoar-koar menuduh kecurangan pemilu Iran. Mereka baru diam setelah menyadari bahwa Pemerintahan Islam Iran ternyata belum bisa diruntuhkan lalu mengalihkan headline dengan topik kematian Michael Jackson.

Baiklah, kita biarkan saja Obama dan media mainstream dengan sikap munafik mereka. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat hal yang agak luput dari perhatian banyak orang. Benar bahwa Ben Ali adalah despotik, koruptor, dan diktator sehingga memicu kemarahan rakyat yang akhirnya menggulingkannya. Tapi sesungguhnya, Ben Ali tak lebih dari boneka yang menjadi perpanjangan tangan sebuah lembaga penghisap darah negara-negara Dunia Ketiga: IMF. Betul Ben Ali kaya raya, tapi ada yang lebih banyak lagi mengeruk kekayaan dari Tunisia, yaitu korporasi-korporasi AS. Meskipun IMF adalah organisasi dengan 187 negara anggota, namun pemilik modal terbesar di IMF adalah AS, sehingga AS pun menjadi suara penentu dalam pengambilan keputusan IMF. AS memiliki kuota 1/3 suara dari keseluruhan kuota suara dalam IMF, suara AS sendiri saja cukup untuk memveto semua upaya perubahan terhadap Piagam IMF. Lebih lagi, kantor pusat IMF berada di Washington, D.C., dan stafnya kebanyakan adalah para ekonom AS; personel IMF biasanya -sebelum atau sesudah berkarir di IMF- bekerja di Departemen Keuangan AS. Dengan demikian, tidak mengherankan bila kebijakan-kebijakan IMF sangat berpihak pada kepentingan AS atau perusahaan-perusahaan transnasional yang dimiliki oleh warga AS.

IMF hadir di negara-negara berkembang menawarkan dana pembangunan, namun dengan syarat bahwa negara-negara itu mau mengikuti resep pembangunan ekonomi liberal ala IMF. Berkat ‘resep’ IMF, terjadi pertumbuhan kerjasama ekonomi transnasional yang sangat pesat di negara-negara penerima hutang. Namun, mayoritas keuntungan terbesar diraup oleh perusahaan-perusahaan transnational yang dikuasai negara-negara maju. Sementara itu, negara-negara berkembang justru semakin tenggelam dalam utang. Mereka juga sangat bergantung pada arus modal luar negeri, terutama dalam bidang investasi portofolio (surat berharga), bukannya investasi yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi.

Sejak Ben Ali naik tahta tahun 1987 dia sudah berlindung di bawah ketiak IMF. Ben Ali dengan patuh menjalankan instruksi IMF: subsidi harus dicabut karena akan membebani biaya pemerintahan (padahal, biaya hasil pengurangan subsidi dialokasikan untuk membayar hutang kepada IMF), BUMN-BUMN yang tidak efisien harus diefisienkan dengan cara menjualnya ke pasar bebas (siapa yang membelinya kalau bukan korporasi rekanan IMF?), dan deregulasi (penghapusan aturan-aturan pemerintah yang menghalangi liberalisasi ekonomi). Konsep liberalisasi konon akan memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun pada prakteknya, hanya mereka yang memiliki modal kuat dan kekuasaan politik yang besarlah yang menang dalam persaingan. Liberalisasi ekonomi ala IMF hanya menghasilkan segelintir elit yang kaya raya seperti Ben Ali dan kroninya, dan membuat 30% pemuda Tunisia menjadi penganggur. Kalaupun mereka bekerja, gaji mereka sangat rendah, sementara berbagai subsidi bahan pokok sudah dicabut.

Meskipun kemiskinan merajalela di Tunisia, situs resmi pemerintah AS tetap memuji negeri ini, “Kebijakan ekonomi Tunisia yang bijaksana, didukung oleh Bank Dunia dan IMF telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, tingkat ekspor yang sehat, sektor turisme yang kuat, dan kondisi yang baik untuk produksi pertanian.” Situs resmi IMF juga tak ketinggalan memuji Tunisia karena telah melakukan “manajemen ekonomi makro yang bijaksana” sehingga mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi global.

Kita, bangsa Indonesia, pasti sudah sangat familiar dengan situasi seperti ini. Sejak tahun 1980-an Indonesia juga mengadopsi kebijakan IMF dan Bank Dunia (dua lembaga renternir yang saling mendukung dalam upaya menjerat negara-negara Dunia Ketiga dalam hutang tak berkesudahan). Indonesia pun mengalami kemajuan ekonomi pesat sehingga dipuji-puji sebagai calon “Macan Asia”. Banyak orang terlena, silau oleh kemegahan bangunan-bangunan dan proek-proyek yang dibangun dengan hutang. Pondasi ekonomi liberal yang dibangun Indonesia atas petunjuk IMF ternyata sangat rapuh sehingga langsung roboh saat krisis moneter 1997. Lagi-lagi, IMF pula yang datang mengulurkan dana. Kisahnya persis bak pasien sekarat yang sudah tahu bahwa dokternyalah yang selama ini memberi racun, namun tetap datang ke dokter yang sama.

Kita pun tahu situasi selanjutnya. Ekonomi kolaps, rakyat semakin miskin, mahasiswa marah, dan kita pun beramai-ramai bangkit menggulingkan rezim Soeharto melalui berbagai aksi demonstrasi. Sayang, 13 tahun kemudian, kita masih berkubang di lumpur yang sama. Antek-antek rezim lama masih terus bercokol dan hanya mengganti slogan. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, hampir semua bank dan BUMN dikuasai asing, kontrak-kontrak pertambangan yang tidak adil tetap dilanjutkan (lihat kasus Freeport dan ExxonMobil). Privatisasi semakin merajalela, bahkan merambah ke bidang-bidang yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara: pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Demokrasi liberal pasca reformasi ternyata gagal memunculkan pemimpin yang benar-benar mengabdi untuk rakyat. Demokrasi liberal hanya membuka peluang bagi individu-individu yang bermodal besar untuk berkuasa (dan dianggap legal karena toh hasil ‘pilihan rakyat’). Pemilu hanya menjadi ajang jual citra dan pesta iklan di media-media. Pemerintah baru melanjutkan kebiasaan lama: menimbun hutang dan membayarnya dengan menjual BUMN dan konsesi berbagai tambang.

Situasi Indonesia hari ini persis seperti salah satu penggalan lirik lagu band The Who, “meet the new boss, same as the old boss.” Rakyat berjuang menggulingkan rezim lama, tapi rezim baru ternyata setali tiga uang meski bertopeng demokrasi dan reformasi. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Agaknya, Tunisia perlu belajar dari pengalaman Indonesia agar tak terjatuh dalam lubang yang sama. Mereka tak boleh membiarkan tokoh-tokoh rezim lama (yang sudah pasti kini berganti baju dan slogan) tetap menguasai pemerintahan. Reformasi ternyata tidak berhenti pada penggulingan sebuah rezim, namun bagaimana membangun rezim baru yang kokoh, yang tidak mau lagi dikibuli IMF dan kroni-kroninya. Reformasi yang sukses ternyata harus diiringi dengan kecerdasan dalam berdemokrasi, mampu memilih pemimpin yang benar, tak tergoyahkan oleh tipuan-tipuan kapitalis yang selalu ingin mempertahankan kekayaan dalam setiap masa. Reformasi ternyata memerlukan seorang pemimpin berintegritas tinggi, sudah memiliki konsep yang matang, dan mampu memimpin bangsa ke arah yang lebih baik, bukannya jatuh ke lubang yang sama. Dan untuk yang satu ini, Tunisia (juga Indonesia) sepertinya perlu belajar kepada Iran. (IRIB)

Sumber :Irib-Radio Iran

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com