Upaya Me-Yugoslavia-kan Indonesia Ada Semenjak Peristiwa Sambas, Sampit, Ambon, dan Poso!

Bagikan artikel ini

Rijal Mumazziq Z, Direktur Penerbit Imtiyaz Surabaya

Setelah tercabik Perang Dunia II, stabilitas Eropa dan AS cenderung terjaga, kecuali Inggris yang masih direcoki pemberontak Irlandia Utara (IRA). Sisanya adem. Negara-negara eks penjajah poros kapitalis seperti Inggris, Belanda, Perancis, Italia, AS, Portugis, Spanyol memilih mengembangkan ekonomi internal dan memainkan politik secara terselubung di negara-negara bekas koloninya.

Berbagai kudeta biasanya selalu terulang di negara-negara bekas koloni ini, khususnya di kawasan Asia (termasuk Timur Tengah), Amerika Selatan dan Afrika. Tentu kudeta tak akan terjadi jika tanpa aktor di balik layar. Pelaku kudeta biasanya perwira militer lulusan Barat, dengan sosok bule yang menyetirnya. Akses ekplorasi SDA-lah yang membuat sebuah negara bisa dipertaruhkan di tangan orang asing (sebuah novel berjudul “The Dogs of War” menggambarkan pola licik ini).

Adapun negara yang berporos komunis lebih tertutup karena mengutamakan stabilitas, indoktrinasi ideologi, dan sentralisasi kekuasaan secara otoritarian. Kecuali Uni Soviet dan Tiongkok yang lebih ekspansif. Yugoslavia, Chekoslovakia, Jerman Timur, Rumania, Polandia, relatif tertutup dari luar dan ogah berpola interventif.

Dalam pola intervensi, negara yang paling serakah ya AS. Dengan licik negara ini biasanya mengganggu stabilitas negara “musuh”-nya dengan memanfaatkan pluralitas sebagai sumbu ledak! Ini mudah dan sangat enteng bagi AS membentuk boneka di berbagai negara dengan pola:

1. Jika ada penguasa, terutama aliran “kiri” dan Islamis, yang ogah disetir Paman Sam, dengan senang hati AS akan menyediakan logistik menjungkalkannya melalui perwira militer. Kudeta adalah cara yang paling top! Pola ini terjadi di Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan.

2. Jika di dalam sebuah negara ada etnis yang berbeda secara agama, kultur, dan aspek historis, Paman Sam dengan gembira menungganginya untuk destabilisasi negara tersebut. Tibet (China), Xinjiang-Turkistan Timur (Tiongkok), Kashmir (India-Pakistan), Chechnya (Rusia), Baluchistan (Iran), Kurdistan (Irak-Iran), Sudan Selatan, dan…..Papua!

3. Khusus wilayah Yugoslavia, civil war yang berkobar merupakan metode ampuh memecah belah negara yang plural. Hingga akhirnya Yugoslavia harus terpecah menjadi negara-negara kecil berdasarkan etnis dan agama. Kroasia, Serbia, Montenegro, Bosnia-Herzegovina, Albania, dan Kosovo. Pola semacam ini mirip pembagian kue tart. Lebih mudah dipotong dan disendok! Jika bibit-bibit konflik berdasarkan agama dan etnis terus terjadi di negara kita, bukan mustahil 15 tahun lagi terjadi Balkanisasi.

Upaya me-Yugoslavia-kan Indonesia ada semenjak peristiwa Sambas, Sampit, Ambon, dan Poso! Indonesia disisir dari pinggir, persis taktik “desa mengepung kota” ala Mao Ze Dong. Adapun separatisme di Aceh dan Papua lebih bercorak primordialistik dan pembagian kue pembangunan yang tak adil. Bagaimana dengan Timor Timur? Karena sejak awal berpola integratif ala Tibet-ian, kawasan timur ini lebih mudah lepas dengan adanya intervensi AS, Aussie, dan Portugis!

Singa tak usah mengembik, macan tak perlu mengeong, kucing jangan mencoba berkokok, dan anjing pun tak berfaedah pura-pura menjadi ikan!

Jawa biarlah tetap menjadi Jawa, tanpa perlu menjadi Sunda. Biarlah Banjar tetap identitasnya tanpa perlu menjadi Minang. Batak juga tak perlu me-Minang-kan diri. Bugis tak usah men-Dayak-kan diri. Begitu pula dalam agama. Inilah esensi pelangi pluralisme dan bunga-bunga multikulturalisme dalam tamansari Indonesia…

we love Indonesia!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com