Waspadai Hadirnya Pasukan Asing di Bumi Pertiwi

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Ada slentingan atau rumor bahwa asing hendak men-“Suriah”-kan Indonesia meski terngiang toh terdengar juga. Apakah info itu A1 atau tidak, sebaiknya abaikan dulu. Mengapa begitu, bahwa upaya Balkanisasi Nusantara —memecah Indonesia menjadi beberapa negara— melalui Clinton Program pun pernah berlangsung di republik ini dari pinggiran kendati berakhir gagal. Apakah masyarakat mengetahui agenda tersebut? Sangat sedikit. Jadi, menyikapi rumor di atas, anggap saja sebuah asumsi liar dan/atau perulangan agenda asing terhadap Indonesia. Kita harus bersikap. Minimal segenap anak bangsa ini waspada. Lantas, apa kepentingan mereka? Tak lain dan tak bukan adalah (dalih) menghadirkan pasukan asing di Bumi Pertiwi. Itu agenda lanjutan bila nantinya benar-benar terjadi konflik horizöntal (civil war) atau perang saudara sebagaimana terjadi di Suriah.

Geopolitik mengajarkan, bahwa tahapan pada modus di atas, kelak setelah isu perang sipil merebak serta meluas, maka agenda berikut adalah hadirnya pasukan asing atas nama Resolusi PBB. Dan lazimnya bila pemegang mandat resolusi adalah baret biru (peace keeper) —pasukan perdamaian PBB— maka akan berujung pada jajak pendapat atau referendum, namun jika yang turun NATO niscaya terjadi bombamdier dan/atau invasi (keroyokan) militer. Ada beberapa contoh kasus. Timor Timur dulu, misalnya — diturunkan peace keeper, pasukan baret biru oleh PBB. Di Sudan juga baret biru. Lalu, hasilnya? Lahirlah Sudan Selatan pecahan dari Sudan itu sendiri, dan Timor Timur pun lepas dari NKRI. Kedua negara baru (Sudan Selatan dan Timor Leste) tersebut dibidani oleh jajak pendapat dan/atau referendum. Sedangkan Libya dan Irak yang kondisinya kini seperti negara tak bertuan adalah hasil kerja NATO melalui (Invasi) bombardir militer.

Gambaran di atas, hanya potret singkat tentang agenda dan proses kolonialisme yang kerap terjadi di muka bumi. Publik selama ini menganggapnya wajar sebagai konsekuensi dinamika (geo) politik global, padahal itu by design-by order. Kenapa demikian, betapa hampir semua konflik di muka bumi selalu terjadi di jalur dan wilayah yang memiliki kandungan besar atas minyak, emas dan gas bumi. Coba, seandainya dulu tidak ditemukan potensi minyak di Celah Timor, mungkin ia masih menjadi bagian NKRI; ataupun bila Libya cuma penghasil nasi kebuli, akankah ada isu pelanggaran HAM disana?

 

Geopolitik mengisyaratkan, bahwa konflik-konflik dalam skala luas senantiasa disebabkan serta berujung pada geoekonomi. Apakah geoekonomi itu? Singkat kata, geoekonomi itu tujuan negara manapun —termasuk kolonialisme— yang kerap kali disamarkan dalam terminologi “national interest” (kepentingan nasional) masing-masing negara. Ujudnya? Jika zaman old, geoekonomi itu rempah-rempah dan bahan pangan lainnya, kalau zaman now — berfokus pada minyak, emas, gas bumi serta turunan hydrocarbon lainnya. Ingat doktrin tua Henry Kissinger yang hingga kini menjadi basis kebijakan Paman Sam, “Control oil and you control nation, control food and you control the people”. Kuasai minyak anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda menguasai rakyat.

Menghadapi hal demikian, bagi sebuah negara apapun dan dimanapun, perlu memiliki strategi kontra agar agenda yang sedang dan/atau akan dijalankan oleh kepentingan asing menjadi gagal sebagaimana kegagalan Balkanisasi Nusantara dekade lalu.

Waspadai geliat para proxy agents (tangan-tangan asing) yang bermain guna menyulut amuk massa, atau memicu pertentangan antar-warga, meniupkan isu perang sipil. Para proxy dimaksud, biasanya — selain diperankan oleh LSM dan/atau organisasi massa (ormas) dimana sebelumnya menerima gelontoran dana asing dalam jumlah fantastis —no free lunch— sering pula melalui kompor (provokasi) media, baik media konvensional/cetak, online, terutama sekali media sosial (medsos).

Memang, tidak semua LSM, ataupun ormas dan media itu anasionalis dan komprador, melayani kepentingan asing — masih banyak LSM idealis, tak sedikit ormas nasionalis dan merah putih. Tapi lazimnya, “api kompor” diletup melalui kiprah ketiga entitas tadi.

Adanya daftar ulama yang dirilis Kementerian Agama, entah kenapa menimbul pro-kontra di berbagai kalangan. Meskipun ada ormas dan tokoh yang adem-adem saja menanggapinya. Namun tanpa sengaja, rilis kementerian tadi malah menambah deret daftar ketidak-percayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kalau boleh dibaca, hal tersebut sebagai narasi (pematangan) tahapan guna men-“Suriah”-kan Indonesia. Sekali lagi, entah A1 atau A berapa, tolong abaikan dulu. kita harus punya strategi kontra, kontra agenda dan kontra skema atas rumor di atas.

 

Dibentuknya Koopsgab TNI dalam rangka menanggulangi terorisme guna membantu Polri, sesungguhnya ujud kontra agenda secara struktural oleh negara. Ini kebijakan yang tepat lagi cerdas. Minimal para proxy agents akan berpikir dua kali bila melihat bersenyawanya TNI-Polri. Anak-anak kandung revolusi.

Yang perlu diberdayakan serta digalakkan sebenarnya adalah strategi kontra secara nonstruktural. Siapa? Jawabannya adalah rakyat atau warga. Itu kuncinya. Narasi kontranya, bahwa rakyat (kaum mayoritas) jangan terpancing oleh jilatan api “kompor” media proxy yang bertujuan mengadu-domba sesama anak bangsa. Kasus-kasus remeh sebagai aksi kemungkinan akan dilempar ke publik untuk memancing reaksi dari anak bangsa. Kenapa? Sebab bahan devide et impera sangat berserak di Indonesia. Pluralitas adalah keniscayaan di Indonesia. Terutama masalah SARA dianggap menu favorit dalam memicu konflik horizontal dimanapun, seperti pertikaian antar-mazhab, konflik antar-agama, antar-suku, golongan, dan lainnya. Sekali lagi, jangan terpancing. Warga harus jeli dan cerdas menyikapi apa yang sesungguhnya terjadi, bukan cuma melihat apa yang terjadi semata. Sebuah isu yang disebar bisa merupakan pancingan untuk meletuskan kasus-kasus lain yang lebih besar, juga bisa ia cuma sekedar test the water. Memancing reaksi publik. Tetap kepala dingin menyikapi pemicu-pemicu yang akan dimunculkan di atas permukaan. Kita sudah memiliki beberapa pengalaman, selain kegagalan Balkanisasi Nusantara, juga sewaktu isu Tolikara di Papua mencuat beberapa tahun lalu dan hendak dijadikan entry point untuk menghadirkan pasukan asing. Tapi, lagi-lagi gagal. Umat mayoritas tidak larut dalam tarian gendang yang ditabuh oleh asing yaitu meluasnya kerusuhan yang diharapkan oleh pihak luar. Para petinggi negara pun secara tangkas dan cerdas datang ke TKP, lalu membuat statement menyejukkan. Mendinginkan situasi, bukan malah mengkompor-kompori. Coba, seandainya kaum mayoritas terpancing dalam isu Tolikara kemarin, lalu timbul kerusuhan serta amuk massa meluas terhadap kaum minoritas, mungkin Papua sudah bukan bagian dari NKRI lagi.

Yah, sebagaimana tahapan kolonialisme yang diurai singkat di atas, apabila terjadi konflik horizontal dalam skala luas maka akan hadir pasukan asing di Bumi Pertiwi atas nama Resolusi PBB, bahkan bisa jadi tanpa resolusi sama sekali (invasi ilegal) sebagaimana awal penyerbuan pasukan NATO pimpinan Amerika (2003) sewaktu menggempur Irak.

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com