10-12-2016 Menghidupkan Kembali WE FEELING Afrika Kepada Indonesia Dalam Rangka Mengaktualisasikan Kembali Politik Luar Negeri RI Yang Bebas-Aktif

Bagikan artikel ini

Desmond Satria Andrian, Pengkaji Politik Luar Negeri RI terkait Hubungam Indonesia Afrika, dan Mahasiswa Program Studi S-2 Universitas Parahiyangan.

Disampaikan dalam Seminar Terbatas para ahli dengan tema “MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF”, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan para mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016, di Jakarta.

Terimakasih Pak Hendrajit, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan beberapa gagasan terkait tema seminar terbatas hari ini: Strategi Membangun Perimbangan Kekuatan, Dalam Rangka Mengaktualisasikan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif. Kebetulan saya sekarang sedang melakukan riset terkait Politik Luar Negeri RI dan hubungannya dengan negara-negara di kawassan Afrika. Yang nantinya akan diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul: Pasang Naik Indonesia Afrika. Saya tertarik menggunakan judul ini karena dulu ada sebuah buku karya L.S Stodard, Pasang Naik Kulit Berwarna. Buku yang aslinya berjudul The Rising Tide of Color itu, oleh Presiden Sukarno diperintahkan untuk diterjemahkan dan dipelajari oleh para delegasi yang hadi di Konferensi Asia-Afrika Bandung pada April 1955 lalu.

Selain itu saya lihat sekarang ini ada kekosongan literature tentang hubungan Indonesia-Afrika. Hingga kini praktis hanya ada dua buku rujukan penting yang menyinggung hubungan Indonesia-Afrika. Yaitu karya mantan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, Tonggak-Tonggak Perjalanku, terbitan 1975. Dan karya Pak Ruslan Abdulgani, The Bandung Connection. Kebetulan keduanya merupakan aktor penting Indonesia pada KAA Bandung 1955. Pak Ali sebagai Ketua Delegasi Indonesia pada KAA, dan Pak Ruslan merupakan sekretaris jenderal KAA.

Pada 2006 lalu memang terbit buku karya Pak Pipin berjudul 50 Tahun memperingati KAA. Pada 2007 sempat juga terbit sebuah buku karya Amita Carya, Revisiting the Bandung Legacy. Intinya, dari semua buku terkait isu Asia-Afrika, hanya tiga yang ditulis oleh orang Indonesia. Selebihnya merupakan karya par ilmuwan internasional.

Ketiga, sekarang ini berkembang fenomena semakin menguatnya Voting Power negara-negara Afrika dalam berbagai forum internasional. Dan terlihat di sini, Indonesia berkali-kali dirugikan dalam berbagai forum internasional gara-gara kurang memperioritaskan politik luar negerinya dalam menjalin kerjasama strategis dengan negara-negara Afrika. Sebagai missal, dalam forum Inter-Parliamentary Union (IPU), kita kehilangan suara Afrika untuk pemilihan ketua. Di forum World Trade Organization (WTO) kita juga mengalami kekalahan suara akibat tidak mendapat dukungan suara dari negara-negara Afrika. Begitu dari forum badan PBB Food and Agriculture Organization (FAO), dan terakhir kita juga mengalami kekalahan untuk masuk di International Civil Aviation Organization (ICAO). Juga, karena tidak mendapat dukungan suara yang signifikan dari negara-negara Afrika.

Inilah yang kemudian mendorong saya untuk mengkaji secara mendalam isu Indonesia-Afrika dan Asia-Afrika seraya untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya nilai-nilai KAA yang dulu telah dirintis oleh para pemimpin Asia-Afrika seperti Bung Karno, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Unu, Perdana Menteri Sir John Kotelawala, dan Perdana Menteri Muhammad Ali, Presiden Gamal Abdel Nasser, dan sebagainya.

Selain itu, ketika kita berbicara tentang ke-Indonesiaan, berarti kita juga harus berbicara tentang Asia-Afrika. Kerena ke-Indonesiaan kita bukan atas dasar kesamaan suku, agama, dan ras, melainkan karena persamaan nasib sama-sama menjadi korban kolonialisme dan imperialisme. Maka itu, ketika kita berbicara bagaimana merawat keIndonesiaan, berarti kita juga harus merawat Asia dan Afrika.

Apa yang saya kemukakan tadi merupakan latarbelakangnya. Sisi lain yang hendak saya sorot melalui forum seminar ini adalah soal adanya hubungan yang amat kuat antara Marhaenisme dengan Konferensi Asia-Afrika. Terutama ketika pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I. Di dalam kabinet ini ada kombinasi antara Partani Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dari kombinasi partai-partai di dalam pemerintahan kabinet Ali Sastroamijoyo I itu, hanya PNI yang yang menganut kebijakan untuk membangun hubungan yang solid dengan negara-negara Afrika, dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional Indonesia untuk merebut kembali Irian Jaya ke tangan Indonesia.

Selain itu, pemerintahan Ali Sastroamijoyo berpandangan bahwa untuk membangun Strategi Perimbangan Kekuatan (Balancing Strategy) di tengah-tengah perang dingin antara Amerika Serikat-Blok Eropa Barat versus Cina dan Uni Soviet dari Blok Timur, Indonesia harus membangun hubungan yang erat dan solid dengan negara-negara Afrika.

Uniknya, pada saat  pemeriintahan kabinet Ali Sastroamijoyo menggagas ide menjalin hubungan erat dengan Afrika, di Afrika itu sendiri baru ada enam negara merdeka, sehingga belum signifikan sebagai kekuatan kawasan. Namun ini bukti nyata betapa visionernya pemerintahan Ali Sastroamijoyo yang dalam visi politik luar negerinya dituntun oleh faham Marhaenisme, yang merupakan sebuah ideologi hasil karya Bung Karno.

Sedangkan Partai Sosialis Indonesia yang kita kenal sebagai PSI, ketika itu sama sekali tidak memandang penting Afrika. Para politisi PSI dan Partai Masyumi ebih condong untuk menjalin kerjasama dengan blokl Barat dan Amerika. Singkat cerita, hanya PNI yang memandang penting Asia dan Afrika untuk membangun Strategi Perimbangan Kekuatan di antara dua kutub yang terlibat Perang Dingin ketika itu. Dan menariknya, forum yang digunakan Indonesia adalah melalui forum multilateral.

Maka tidak heran jika pada periode 1955-1965, berhasil terbangun WE FEELING yang kuat antara Indonesia dan Afrika, bukan saja di forum KAA itu sendiri, tapi juga di berbagai forum multilateral lainnya seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga sangat menguntungkan kepentingan nasional Indonesia yang diperjuangkan para diplomat kita, seperti dalam kasus memperjuangkan kembalinya Irian Jaya ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dengan kata lain, keberhasilan Indonesia membawa isu Irian Jaya yang ketika itu masih dijajah Belanda ke forum internasional PBB, berkat THE WE FEELING yang terjalin antara Indonesia dan negara-negara Afrika. Sehingga praktis seluruh negara Afrika di PBB mendukung klaim Indonesia atas Irian Jaya.

Namun sejak 1965, THE WE FEELING Afrika terhadap Indonesia itu menurun dan kemudian memudar, akibat adanya pergeseran orientasi politik luar negeri RI yang tidak lagi memprioritaskan kawasan Afrika. Bahkan  beberapa kedutaan besar dan kantor perwakilan kita di beberapa negara Afrika ditutup dengan berbagai alasan, sehingga kemudian muncul aneka sikap yang tidak menguntungkan kepentingan nasional Indonesia. Dalam kasus Irian Jaya misalnya, Ghana justru mempersoalkan legitimasi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua yang cacat hukum, ketika Indonesia berusaha menghapus isu Papua dari pembahasan di PBB. Bukti nyata bahwa THE WE FEELING Afrika terhadap Indonesia sudah mulai berkurang.

Begitu juga dalam kasus Timor Timur, Ghana memotori beberapa negara Afrika menggugat Indonesia pada 1978, karena mamandang ada yang tidak proporsional pada saat proses integrasi Timor Portugis ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Lagi-lagi, ini bukti nyata mulai memudarnya WE FEELING Afrika kepada Indonesia.

THE WE FEELING Afrika ini juga penting bagi keketuaan Indonesia dalam Gerakan Non Blok, karena untuk mencapai hal itu kita sangat memerlukan dukungan dari Afrika. Maka itu saya sangat antusias dengan munculnya New Asian-African Strategic Partnership (NASP) pada April 2005. Sebab hal ini menandai era baru hubungan Indonesia dan Afrika. Kemitraaan Strategis NASP ini paling unik, paling besar dan paling rumit di dunia. Sebab sebagian besar kemitraan strategis tidak dilakukan antar benua, melainkan merupakan kemitraan Asia-Afrika sebagai satu kesatuan tunggal.

Sayangnya konsepsi NASP ini pada perkembangannya kurang menguntungkan bagi Indonesia, karena ada beberapa tren di Afrika yang luput dari cermatan dan amatan kita. Pertama,satu aspek yang penting untuk disorot adalah, bahwa saat ini kawasan Afrika merupakan Battlefield Diplomacy dari negara-negara kunci di Asia, mengingat kenyataan saat ini bahwa Afrika merupakan Pasar Potensial yang sangat diharapkan banyak negara-negara kunci di Asia seperti Jepang, Cina, Korea Selatan dan Taiwan.

Kedua, negara-negara kunci di Afrika sama-sekali tidak berniat untuk memanfaatkan NASP, dan lebih cenderung untuk melakukan hubunga bi-regionalism secara langsung terhadap negara-negara Uni Afrika. Dengan kata lain, untuk membangun soliditas dan kekompakan antar negara-negara Asia-Afrika melalui skema NASP nampaknya masih harus ditingkatkan lebih maksimal.

Begitupun, saya masih cukup optimis mengingat NASP masih is in the making, baru berusia 10 tahun. Sehingga untuk lebih meningkatkan efektifitas NASP kiranya perlu mengikutsertakan para aktor-aktor non-negara, antara lain dengan semakin meningkatkan kehadiran mahasiswa-mahasiswa internasional sebagai bagian dari upaya meningkatkan dan mengembangkan kemitraan antar negara-negara berkembang mewakili 54 negara Afrika, yang mana mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa. Jelas program semacam ini harus ditingkatkan lagi, karena mereka merupakan mitra potensial.

Selain itu, kita juga sudah saatnya untuk menggeser orientasi pasar lebih condong ke Afrika, yang mana secara tradisional selama kita lebih condong ke utara, ke Amerika dan Eropa Barat. Untuk kepentingan nasional Indonesia saat ini dan depannya, nampaknya sangat tepat jika mulai menggeser secara bertahap prioritasnya ke Afrika.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com