Abdurahman Surjomihardjo: Sikap Terhadap Sejarah

Bagikan artikel ini

(ZAMAN, Rubrik “Wawancara”, No. 38, Thn. V, 16 Juni 1984)

Beberapa waktu yang lalu,Dr. Jacques Leclerc – seorang ahli sejarah politik Indonesia dari Prancis – membuat pernyataan yang menimbulkan banyak reaksi. “Para sejarawan sering dua kali membunuh tokoh sejarah,” ujarnya. Maksudnya? Banyak tokoh sejarah yang dikucilkan dalam penulisan sejarah, karena tidak disenangi kelompok tertentu, dan dalam hal ini sejarawan hanya diam saja, itulah yang dinamakan ‘pembunuhan dua kali’. Pernyataan yang dimuat dalam harian Kompas tersebut ditolak oleh para sejarawan Indonesia dengan alasannya masing-masing, dan akhirnya malah ‘dijernihkan’ sendiri oleh doktor lulusan Sorbonne tersebut.

Toh masalahnya tetap menarik, bagaimanakah sikap kita selama ini terhadap sejarah? Apakah kita telah memandang sejarah secara proporsional? Seberapa jauhkah pengertian “sejarah” dihayati oleh masyarakat Indonesia umumnya?

Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Abdurrachman Surjomihardjo, sejarawan yang tergabung dalam Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas-LIPI). Lulusan Universitas Indonesia tahun 1961 ini adalah penyusun kerangka teoritis Buku V Sejarah Nasional Indonesia dan penulis dari dua buku tentang Sejarah Kota Jakarta.

Wawancara maksudkan untuk memperkenalkan masalah sejarah yang mendasar bagi awam, dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma dari Zaman:

Apa sebetulnya sejarah?

Sejarah, catatan masa lampau. ‘Kan kita tidak tahu masa lampau kalau tidak ada proses pemikiran ke arah itu. Jadi, pertama-tama, ada orang yang memikirkan masa lampau. Nah, kalau sudah, tentunya orang itu ingin menggambarkan masa lampau.

Karena berbagai-bagai alasan, orang suka kepada masa lampau. Ya, contoh yang paling mudah, umpamanya mengenai keluarga kita sendiri. ‘Kan kita ingin tahu, siapa sih nenek moyang kita? Itu bentuk sejarah yang paling awal. Dari situ kemudian ke lingkungan, kampung kita, kota kita, negara dan bangsa kita.

Biasanya yang punya keinginan menyusun gambaran masa lampau, mereka yang mengadakan telaah, mengadakan studi tentang masa lampau. Tapi setiap orang sebetulnya bisa menulis sejarah, karena setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri.

Saya dan sekolah saya umpamanya mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan seterusnya. Tapi tidak semua teman dan guru saya ingat. Tidak semua mata pelajaran saya ingat. Jadi tentu ada hal-hal yang teringat betul, ada yang tidak. Kalau diuraikan kembali, itu berarti ada hal-hal yang hilang. Apalagi kalau studi sejarah. Karena kita tidak mengalami sendiri. Umpamanya saya berkisah tentang Majapahit atau Sriwijaya, atau Proklamasi, saya ‘kan tidak mengalami. Jadi, mesti ada suatu cara untuk sampai pada gambaran masa lalu itu yang tidak terlalu jauh. Itulah studi.

Apa ada kesadaran sejarah pada masyarakat kita?

Masyarakat yang mana? Bagian mana dari masyarakat yang sadar sejarah? Ya, tentu sekelompok kecil yang elite saja, karena membaca dan lain-lain. Itu yang sadar sejarah. Umumnya mereka yang terdidik, sedikit atau banyak sadar sejarah, walaupun pasti tidak semua.

Jadi, kebanyakan belum?

Kalau diukur dari media yang tertulis termasuk banyak. Hampir semua surat kabar dan majalah bikin “sejarah”. Sejarah yang dipersepsikan orang awam itu menampakkan kurangnya kesadaran sejarah.

Tapi ada juga tulisan sejarah yang dibikin berdasar kesadaran, sejarah yang baik. Merupakan suatu pemikiran.

Apakah kita sudah memberi makna pada sejarah?

Lho, sudah. Pada saat kita mengambil sejarah revolusi, itu sudah memberi makna.

Seberapa jauh? Apakah tidak hanya romantika saja?

Tidak selalu. Ka-au ada ahli sejarah terlibat, itu sudah bukan romantika lagi. Revolusi dijadikan satu kesadaran pada dirinya, kemudian dijadikan acuan kerja.

Apakah kita sudah begitu?

Mulai.

Soalnya ada asumsi bahwa cara kita memandang sejarah, seperti dalam memandang pahlawan….

O, itu! Ya, ini karena suatu akibat, suatu out-come dari suatu keadaan. Itu biasa. Memang ada persepsi bahwa yang penting dalam sejarah Indonesia, dalam hubungannya dengan pergerakan nasional, adalah tokoh. Lantas tokoh itu jadi pemimpin, lantas dijadikan simbol, lalu timbul pemujaan. Kita memang suka pada pahlawan; juga pejuang. Pak Sudomo menyebut pramuwisma, pembantu-pembantu yang menuju ke Arab, sebagai pejuang.

Apakah cerita pahlawan tidak mengaburkan batas sejarah dengan dongeng?

Ya, akhirnya kabur kalau terlalu dibesar-besarkan. Tapi kalau kebesarannya itu dilihat dari macam-macam kegiatan dan pemikiran, saya kira tidak apa-apa. Yang kita jaga, jangan sampai terlalu dibesar-besarkan.

Umpamanya begini. Suatu ketika Anda mendengar banyak orang tidak puas pada Bung Karno. Di satu pihak ada yang membesar-besarkan, di lain pihak ada yang memperkecilnya. Kita mestinya bersikap wajar terhadap tokoh itu. Manusia itu tentu ada kelemahannya, ada kelebihannya. Kita tidak boleh memperkecil peranannya menurut ukuran-ukuran kita. Itu kalau sejarawan. Kalau orang lain sih boleh saja. Lawan politik, boleh. Soal politik itu urusan- nya, he he he….

Apakah semua sejarah kita ditulis oleh para sejarawan?

Tidak. Justru yang menulis pada mulanya adalah peminat-peminat. Saudara perhatikan penulis buku-buku sejarah, tidak semua mengalami training sejarah, mereka sekadar karena senang pada sejarah.

Adakah kendala-kendala politik dalam penulisan sejarah?

Ada. Sejarah itu dalam prakteknya memang sering ditulis dalam proses perubahan politik. Jadi, ada bobot politik. Itu bisa saja. Malah bisa juga mengandung bobot ideologi politik. Ini sering terjadi di negara komunis. Sejarah adalah alat yang sangat penting untuk partai.

Apakah itu masih bisa kita sebut tulisan sejarah?

Ya, karena mereka memakai metode tertentu.

Artinya, metode mereka sah?

Ya. Sah untuk mereka. Untuk kita tentu mengundang pertanyaan-pertanyaan yang baku. Sejarah pada mereka memang bagian dari filsafat politiknya, yaitu historis-materialisme. Orang yang tidak berjasa kepada kelas buruh, dianggap tidak ada.

Di Indonesia bagaimana?

Ada juga kecenderungan begitu. Tapi kadang-kadang bisa dibilang sah. Misalnya keinginan untuk membuat sejarah nasional. Semula kita tidak punya sejarah nasional. Pada suatu saat para pemimpin melihat bahwa anak didik tak akan mengerti undang-undang dasar, tidak akan mengerti proklamasi. Lha, proklamasi itu ‘kan cuma orang ngomong saja, apa artinya? Atau Sumpah Pemuda, satu, dua, tiga. Tidak ada apa-apanya. Itu mulai ada artinya kalau timbul pertanyaan tentang tokoh, proses, dan lain-lain. Jawabannya, Sejarah Nasional.

Sebagai sejarawan, apa komentar Anda tentang pendidikan sejarah di sekolah?

Pendidikan sejarah kita rumit. Pertama, sebetulnya dari gurunya sendiri. Guru harus punya keterlibatan dengan macam-macam persoalan sejarah. Baru dengan begitu ceritanya bisa menarik. Saya tidak percaya bahwa kunci pengajaran sejarah adalah kurikulum, yang penting waktu di kelas.

Buku pegangannya sendiri bagaimana?

Nah, buku teks sejarah sekarang ini terus terang saja kacau. Karena text book yang baik sebenarnya tergantung pada hasil-hasil penelitian. Juga penulis yang berpengalaman. Bukan hanya mahir dalam retorika, tapi juga tahu untuk siapa mereka menulis. Harus ada kemahiran psikologi dan pedagogis.

Sekarang ini kita belum sampai ke sana?

Belum. Masih jauh.

Dengan kata lain, penafsiran sejarah merupakan pendapat pribadi?

Iya, dalam banyak hal, begitu. Menafsir tanpa tahu persis bahan-bahan di sekitar itu, fatal. Bisa jadi sahibul hikayat.

Lantas yang disebut subyektivitas dalam sejarah itu bagaimana?

Itu ada. Sejarah itu subyektif. Pada waktu kita menulis, kita ‘kan memproses mana yang kira-kira penting untuk pikiran kita. Fakta ‘kan berjuta-juta. Tapi saya tidak akan menulis semuanya, bisa kacau. Nah, subyektivitasnya itu terlihat dalam memilih struktur. Tapi pada waktu memilih dan menyusun, dia harus berusaha obyektif. Jadi subyektivitas dan obyektivitas berkait.

Pak Sartono Kartodirjo bilang bahwa sejarawan itu seperti seniman, maksudnya bagaimana?

Maksudnya begini. Dia tertarik pada sesuatu, ‘kan? Dia jadikan itu bagian dari dirinya, ia uraikan dalam bahasa. Ibarat pelukis, dia melihat sesuatu yang menarik hatinya, timbul dorongan-dorongan, lalu sret! Seperti Affandi, katanya begitu. Sejarawan juga begitu, cuma dia melakukan studi dulu.

Jadi, kesenimanannya terletak pada bagaimana ia tertarik.

Tertarik dan menjadikan studi sejarah bagian dirinya, seperti kesenian. Sejarawan selalu terlibat dengan permasalahannya.

Apakah boleh dikatakan bahwa dari banyak buku “sejarah”, sebenarnya banyak yang palsu? Adakah sejarawan palsu?

Ada yang palsu. Kita sebut palsu, karena ia sengaja. Dari si penulis itu bisa dirunut bahwa dia sengaja ‘membuang’. Tapi ada juga yang karena tidak tahu. Kalau Anda tanya pada saya mengenai sesuatu, lantas saya tidak tahu, mau apa?

Jadi, sangat mungkin dan ada, Pak?

O, mungkin! Mungkin sekali!

Untuk kepentingan politis begitu, Pak?

Iya, itu mungkin sekali. Di Indonesia saja contohnya banyak, banyak orang tidak mengikuti kaidah penulisan sejarah.

Kalau yang berasal dari kesengajaan, ada?

Ada. Misalnya ada seorang pejabat yang menulis sejarah DKI. Nah, DKI itu gubernurnya ‘kan ganti-ganti, ada Pak Ali Sadikin, Pak Tjokropranolo, ada Pak Soeprapto. Sebelum itu ada Pak Soemarno, Pak Soediro, Henk Ngantung, dan Soewiryo, ‘kan begitu? Nah, dalam salah satu buku yang ditulis oleh pejabat DKI itu, setelah menggambarkan periode Soediro, periode Soemarno, periode Henk Ngantung, terus tiba-tiba periode Tjokropranolo. Periode Ali Sadikin, yang penting menurut penilaian umum, karena merupakan masa transisi dalam pembangunan, tidak ada sama sekali.

Itu sudah termasuk kesengajaan dan pemalsuan?

lya, itu kesengajaan. Tapi karena yang menulis bukan sejarawan, ya, saya diam saja. Tapi saya bilang, itu salah satu contoh yang buruk. Orang berlagak sebagai sejarawan, tapi tidak mengikuti kaidah-kaidah penulisan sejarah, yang paling elementer pun, tidak. Sejarah itu ‘kan seperti pohon, ia tumbuh dari biji. Berakar dan bercabang. Lha, kalau cabangnya ini dipotong, ‘kan tidak. mungkin lengkap.

Satu contoh lagi adalah peristiwa Proklamasi. Ada suatu buku baru, ditulis oleh empat orang, satu di antaranya adalah sejarawan. Peristiwa Proklamasi semua orang tahu, asal sudah baca sejarah. Tapi di bawah foto peristiwa itu tertulis: Pengibaran bendera Merah Putih. Apa yang kita lihat? Tokohnya tidak lengkap.

Di foto itu?
Ya, di foto itu. Tulisannya Pengibaran bendera Merah Putih. Itu saja sudah menjengkelkan. Pengibaran bendera Merah Putih yang dimasukkan sebagai ilustrasi sebuah buku sejarah yang begitu tebal sejajar dengan kepanduan atau hansip yang lagi ngerek bendera. Padahal itu foto Proklamasi. Nah, Anda tahu tentu, yang dihilangkan Soekarno. Sebetulnya ndak mungkin seorang sejarawan sampai begitu caranya.

Buat apa gambar mengerek bendera? Itu tiap hari kita lihat. Tapi pengerekan bendera pada tanggal 17 Agustus dulu di depan Pegangsaan Timur adalah peristiwa tidak biasa. Bukan cuma: “Pengibaran Bendera Merah Putih.”

Kalau begitu gawat, ya, Pak?

Gawat. Anda boleh nulis: gawat. Tapi untuk orang awam mungkin tidak terlalu. Mungkin anak SMA, ya, acuh tak acuh saja. Tapi buat orang yang terlibat di dalam kerja sejarah, atau orang-orang politik, waduh… pada ngamuk-ngamuk. Yang disalahkan, sejarawan. Lha, sejarawan cuma lihat sambil berkata, “wah repot nih”.

Sejarawan kita yang lain tidak berkomentar?

Buku ini baru terbit. Kita lihat dulu dong. Kalau hari ini baca buku, lalu besok berkomentar, juga tidak bagus, harus dipelajari. Tapi itu salah satu komentar dari saya secara lisan: gawat. He he he he… Anda boleh dengar itu sebagai wartawan.

Apakah sejarawan kita cukup ‘berani’ menuliskan kenyataan sejarah?

Sebetulnya, bukan soal berani, tidak berani. Kenyataan masa lalu memang sudah dituliskan. Banyak sekali kenyataan-kenyataan yang sudah dituliskan. Tapi kenyataan yang masih ada kaitan dengan masa kinilah yang memang macam-macam.

Dalam moral seorang sejarawan bagaimana?

Kalau dalam moral sejarawan artinya, dia harus menulisnya dengan open-ending. Berakhir, tetapi tetap terbuka. Artinya, tetap terbuka untuk dikoreksi. Itu etika seorang sejarawan. Tapi kalau sejarah menjadi keputusan politik, tidak menjadi open-ending lagi. Umpamanya keputusan politik untuk tidak menuliskan tokoh-tokoh yang kontroversial. Atau bila diputuskan oleh politik bahwa tidak boleh menyebarkan marxisme-leninisme, itu close. Selama undang-undang ini ada, kita sebagai warga negara bisa dianggap berbahaya kalau menuliskannya.

Meskipun sejarawan?

Meskipun sejarawan.

Menjadi sah untuk tidak menulis?
Bukan soal itu. Dia bisa dihukum. Apalagi kalau sejarawan itu nggak disukai oleh yang berkuasa. Dia bisa dituduh.

Sebagai bidang ilmu, ‘kan sebetulnya bisa?

Bisa, artinya membicarakan itu dalam proses. Bagaimana mau membicarakan Orde Baru kalau tidak melihat proses PKI? Mereka kuat, lantas hancur, ya, kan? Itu boleh, kita tetap menulis. Sejarah itu ‘kan suatu proses yang panjang, seorang Soekarno atau Orde Lama ‘kan hanya sebagian kecil dari proses.

Dalam events tentu ada tokohnya. Nah, tokoh itu ‘kan tidak sendirian, orang menjadi tokoh karena ada lingku- ngannya. Baru adil kalau ada seorang tokoh, dan ada juga kawan kawannya. Boleh jadi, suatu rumusan adalah hasil kerja sama, walaupun satu pemikir pasti ada.

Jadi, tidak berarti si tokoh itu yang menciptakan momen sejarah?

lya, momen yang menciptakan tokoh, tapi tokoh juga punya nilai. Ini seperti masalah lama, mana lebih dulu, telur atau ayam?

Apakah kita sudah bebas dari sikap memandang sejarah sebagai mitologi?

Belum. Dan memang mitologi itu jalan yang paling mudah dalam menulis sejarah. Umumnya karena buntu, dan tidak punya kesabaran meneliti. Tapi mitos itu kadang- kadang memang harus dihidupkan.

Kenapa?

Kalau hidup tidak ada mitos, ‘kan repot. Umpamanya kita ngomong begini, “bangsa kita adalah bangsa yang besar.” Coba kalau itu tidak boleh diucapkan, bagaimana? He he he… “Kemenangan kita merebut Piala Thomas membuktikan bahwa kita adalah yang terbesar,” nah terbesar ini secara rasionil, bagaimana?

Dalam tulisan sejarah, bagaimana?

Tanggal 20 Mei adalah hari Kebangkitan Nasional, apa itu bukan mitos? Bagaimana bangsa kita bangkit? Semua? Serentak? Pada suatu menit pada jam sepuluh, semua bangkit pada 20 Mei?

Soedjatmoko mengatakan, ilmu sejarah itu paling terbuka bagi amatir.

Memang. Lihat saja yang sering menulis di koran itu. Mereka semua amatir, tapi harus diperhatikan. Kalau tulisannya baik, berarti mereka itu tekun. Tapi kalau kurang, itu berarti mereka mencari jawaban dari karya sejarah, tapi tidak ketemu.

Apakah suatu sikap terhadap sejarah akan mempengaruhi tingkah laku politik dan sebaliknya?

Bisa saja. Dan sikap politik tertentu juga bisa mempengaruhi sikap kita terhadap sejarah, namanya manusia, ‘kan?

Bagaimana dengan ‘kesaksian sejarah’ yang muncul dalam berbagai otobiografi akhir-akhir ini?

Itu bisa dianggap sebagai dokumen kemanusiaan. Otobiografi tentu tidak obyektif, kita semua tahu. Otobiografi itu subyektif, tapi nilainya adalah, kita bisa mendapat data yang mungkin tidak ada dalam sejarah, tapi pada orang itu ada. Umpamanya begini, pada waktu revolusi kita terpaku pada perjalanan Jenderal Soedirman, perjalanan Soekarno, dan lain-lain. Bagaimana orang-orang itu pada waktu revolusi, kita ‘kan nggak tahu, nah dari otobiografi kita akan tahu sampai pada masalah keluarganya. Itu nilai otobiografi. Sebagai dokumen.

Kualitas yang ada sekarang ini bagaimana?

Ada yang baik, ada yang tidak. Ada orang menulis otobiografi, berlagak sejarawan, nha, ini repot. Karena dia mencoba mengumpulkan bahan dari sumber-sumber lain.

Menulis otobiografi murni, yaitu berdasarkan apa saja yang dia ingat. Ada yang menulis otobiografi pakai footnotes seperti sejarawan, ya, saya anggap gagal total sebagai otobiografi. Yang bagus seperti Bung Hatta yang mengingat kembali, terus Subarjo, ya, Achmad Subarjo, dan Ali Sastroamidjojo. Dalam otobiografi itu orang juga mempunyai kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatu yang dulu tidak bisa diterima orang.

Apakah heterogenitas masyarakat Indonesia merupakan masalah dalam penulisan sejarah di Indonesia?

Memang. Misalnya kita bicara tentang sejarah Jawa atau Mataram, bagi orang Bugis, ya, apa itu? Itu problem.

Ada kawan saya seorang arkeolog, jadi pengetahuannya sangat luas mengenai kebudayaan Jawa Kuno, dia mengajar di Irian, untuk mata kuliah Sejarah Umum. Dia ditanya, itu sejarah apa? Ya, dia jawab, itu sejarah bangsa kita. Benar ‘kan? Bukan, kata orang-orang Irian itu, itu sejarah di sana (Jawa), sejarah di sini lain. Nggak salah ‘kan? He he he… Borobudur dan segala macam, apa urusannya? Irian tentu ada sejarahnya, ya, ‘kan? Tapi belum ditulis. Cara hidup orang Irian banyak yang sudah tahu, tapi sejarahnya?

Untuk orang yang berpandangan ekstrem, orang Irian yang bertanya itu bisa dicap tidak nasionalis, soalnya sejarah Jawa ‘kan sudah dianggap bagian dari sejarah nasional. Tapi ‘kan memang bukan sejarah orang Irian? la tidak salah dong. Dan teman saya segera tahu kebodohannya, ia tidak tahu sejarah Irian. Karena itu bagus sekarang orang mulai memperhatikan sejarah lokal.

Tentang mencari kepuasan kulturil dalam penulisan sejarah itu bagaimana?

Begini, karya tulis sejarah itu pada mulanya ‘kan mengenai lingkungan terdekat dari si sejarawan. Misalnya saja Taufik Abdullah, karangan-karangan pertamanya ‘kan mengenai Sumatera Barat. Atau Deliar Noer, mengenai Islam. Di situ ada kepuasan kulturil. Pak Sartono, mengapa mengambil soal petani? Karena dia tidak yakin kalau petani itu tidak ada peranannya apa-apa. Ketika diteliti, ternyata ada, gerakan-gerakan yang bisa direkon- struksi. Atau Nugroho Notosusanto tentang pasukan bersenjata pada zaman Jepang, PETA. Saya menyukai untuk menulis pergerakan nasionalis, karena saya pernah ikut salah satu organisasi.

Apakah ada pembunuhan tokoh sejarah?

Istilah itu menurut saya terlalu ekstrem. Kalau mau diadakan paralelisme, tokoh-tokoh yang jelek dulu ada, sekarang pun ada. Umat manusia yang bengis juga ada. Yang disebut pembunuhan itu sebetulnya ‘kan sikap antipati terhadap tokoh-tokoh dalam sejarah tertentu.

Misalnya dulu kelompok A ada di bawah kelompok B, tapi karena pergolakan, kelompok B runtuh sehingga A muncul. Nah, A menafsir B ini tentu gelap toh? Ya, tidak?

Sejarah tidak boleh begitu, tidak ada urusannya dengan pangkat dan kedudukan politik. Selain itu, menulis tokoh sejarah itu sebetulnya jauh lebih sulit dari menulis sejarah.

Kalau sejarawan asing yang menulis tentang Indonesia, bagaimana?

Lha, mereka itu ‘kan lebih aman, bisa bebas menulis apa saja tanpa risiko mendapat sambutan secara emosional dari rakyat Indonesia. Di sini kita ‘kan bebas menulis Elizabeth Taylor main serong, tidak akan ada reaksi apa- apa, tapi coba nulis istri menteri main serong, wah besok pagi pasti sudah datang anak buahnya, kalau tidak anak buahnya, ya, anaknya. Persyaratan menulis sejarah yang bagus, antara lain, harus berjarak. Harus ada distansi. Distansi dengan waktu, distansi dengan tokoh.

Sumber: ZAMAN, No. 38, Thn V, 16 Juni 1984

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com