ACFTA dan Perlindungan Industri Nasional-Bagian 2

Bagikan artikel ini

Edy Burmansyah-Institute for Global Justice

Saat ini China bahkan telah menjadi sumber utama impor Indonesia, yakni menguasai 17,3% dari total impor nonmigas. Sebaliknya, China hanya menyerap 8,7% dari keseluruhan ekspor nonmigas Indonesia.

Kondisi ini diprediksi akan semakin memburuk seiring dengan implementasi ACFTA. The Indonesia Iron and Industry Association  (IISIA) menyatakan implementasi ACFTA menyebabkan impor baja dari China pada 2010 diprediksi meroket 170,76% dibandingkan dengan realisasi impornya pada 2009, dari 554.000 ton menjadi 1,5 juta ton. Lonjakan volume impor baja asal China ini berpotensi mencapai 50% dari total produksi domestik per tahun. Produksi baja nasional rata-rata mencapai 5,0 juta-5,5 juta ton per tahun. Pada 2008, produksi baja mencapai 6,14 juta ton dengan total impor 3,52 juta ton.

Sementara pada sector Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) kondisinya lebih buruk lagi. Sebelum ACFTA diberlakukan saja, pasar dalam negeri sudah dibajiri oleh produk-produk China. Data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa, banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik turun dari 57% pada 2005 menjadi 23% pada 2008

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan ACFTA  berpotensi mengakibatkan sekitar 2.400 pabrik atau perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) tutup atau beralih menjadi pedagang.  Ini akan memicu terjadinya PHK (pemutusan hubungan kerja) massal.

Jumlah anggota API saat ini tercatat sebanyak 2.700 anggota dan mempekerjakan sekitar 1,3 juta orang. Pada krisis keuangan global 2008 hingga 2009 lalu, API mencatat sekitar 78.158 orang tenaga kerja di sektor itu terkena PHK dan  426 perusahaan tekstil tutup. Rincianya pada 2008, 55 pabrik tekstil tutup, 59.762 orang. Tahun 2009  271 perusahaan tutup, 18.396 orang di PHK.

Implementasi ACFTA diproyeksi mendorong peningkatan impor TPT dari China minimal sebesar 30%. Saat ini China telah menguasai 15% pangsa pasar domestik. Sedangan produsen dalam negeri hanya mampu menguasai 67% atau senilai Rp52 triliun pasar domestik
Sedangkan Ketua Forum Pertanian Pangan Indonesia (FPPI), Benny A. Kusbini  menilai dampak sistemik ACFTA baru akan dirasakan 6 bulan kemudian setelah perjanjian tersebut diterapkan yakni ditandai tumbangnya sejumlah industri pada sektor pertanian.

Kerugiaan yang diderita Indonesia dalam hubungan perdagangannya dengan China, jika ditilik dengan seksama bermula dari struktur perdagangan dan karakter kedua negara yang jauh berbeda. China adalah negara maju dan mampan secara ekonomi, sedangkan perekonomian Indonesia memiliki permasalahan yang jauh lebih kompleks. Ekspor Indonesia ke China didominasi oleh komoditas primer (barang mentah), sedangkan ekspor China didominasi produk-produk manufaktur.

Dalam kontek ACFTA. China hanya memanfaatkan Indonesia  sebagai pasar dan pemasok bahan baku serta energi untuk mendukung industri yang sedang berjalan massif disana, dimana hasil produksi dari industri tersebut kemudian dijual kembali ke Indonesia.
Ini menunjukan posisi Indonesia tidak setara (unequal) dengan China dan berpotensi memperdalam ketidakseimbangan (asimetri) hubungan ekonomi antara keduanya. World Economi Forum dalam laporan Global Competitiveness 2009-2010 menyatakan dalam berbagai factor, Indonesia jauh kalah bersaing dari China. Dalam posisi yang unequal, ACFTA dapat memicu terjadinya proses percepatan deindustrialisasi di Indonesia.

Global Competitiveness Report 2009-2010

Sumber: World Economic Forum, 2009

Melihat kemungkinan luasnya dampak yang ditimbulkan  terhadap industri nasional. Pemerintah beberapa waktu lalu mengusulkan penundaan penghapusan 228 pos tariff. Namun permintaan runding ulang tidak bsia diajukan begitu saja ditengah kesepakatan yang sudah berjalan.

Disamping renegosiasi 228 pos tariff, pemerintah juga berencana mengunakan Safeguard Mechanism “mekanisme perlidungan” di dalam ACFTA untuk melindungan sector tertentu dari seranga produk China. Safeguard mechanism mengatur bahwa sebuah negara dapat memberlakukan bea masuk tinggi untuk beberapa jenis komoditi yang dianggap sensitif, dimana nilai import atas komoditi itu sudah melampaui 30% dari total import secara keseluruhan atau jumlah barang yang beredar di pasar domestik negara bersangkutan.
Namun sejauh ini ACFTA belum merumuskan Indikator untuk melihat terjadinya serbuan impor komiditi tertentu di sebuah Negara. Jika merujuk pada WTO (World Trade Organization) ada dua formulasi yang digunakan yaitu;

a.    Volume-based trigger

Lonjakan impor (impor surge) dilihat dari meningkatnya volume impor suatu barang. Tinggi rendahnya peningkatan impor itu amat bergantung pada volume trigger yang digunakan sebagai patokannya.

Rumusan yang digunakan untuk menentukan besaran lonjakan/serbuan impor adalah sebagai berikut;
IS= (VM-VT) x 100%
VT
VM  = Volume impor yang terjadi di tahun berjalan
VT   = Volume trigger; rata-rata impor tiga tahun sebelumnya.

IS yang berlaku adalah IS + 100%. Angka 100% merupakan angka rata-rata volume impor selama tiga tahun. Apabila IS berlaku lebih dari 110%, maka SSM dapat diterapkan.

b.    Price-trigger
Lonjakan impor (impor surge) dilihat dari menurunnya harga suatu barang. Jika harga ditemukan jatuh di pasaran, maka pada tingkat kejatuhan harga tertentu, Negara berkembang dapat memberlakukan SSM.

Rumus untuk menentukan besaran kejatuhan harga adalah sebagai berikut:
FP = ( CP-PT ) x 100%
PT
FP = Falling Price (dalam persen)
CP = Current price atau harga yang berlaku saat itu

PT = Price Trigger, yakni rata-rata harga selama tiga bulan terakhir.
Jika kejatuhan harga c.i.f mencapai 85% dari rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya, maka didalam kondisi tersebut, SSM dapat diberlakukan.

Sebagaimana diketahui, jika merujuk pada WTO (World Trade Organization) ada dua formulasi special safeguard mechanism  (SSM) yang dapat digunakan yaitu; swiss sederhana dan ABI.

Formula swiss sederhana menetapkan semua Negara, tanpa mempertimbangkan tingkat perkembangannya memiliki tariff yang serupa. Formula ini akan berakibat ketidak seimbangan pada Negara-negara sedang berkembang yang cenderung memiliki tariff industri yang lebih besar karena tingkat-tingkat pembangunan yang berbeda.

Sementara alternative lain (ABI) menyatakan bahwa merata pemotongan tariff untuk negara-negara dengan tariff yang tinggi. Formula ini juga memperhitungkan tariff rata-rata suatu Negara. Formulasi ini akan menghancurkan Negara-negara bertarif rendah, termasuk sebagian Negara maju. Namun ABI juga dapat berakibat keras pada Negara-negara sedang berkembang.

Sayangnya, ternyata formulai-formulasi tersebut belum bisa dijadikan rujukan, karena belum disepakati oleh Negara-negara anggota WTO, sehingga berakibat pada kebuntuhan perundingan di WTO.

Disisi lain jika angka 30% adalah angka sangat besar bagi Indonesia, yang sebelum terlibat dalam berbagai FTA saja telah melakukan penutunan tariff 5-10% sejak tahun 1995 hingga 2003. Realitas ini memperlihatkan bahwa sulit bagi Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas safeguard mechanism di dalam ACFTA.

Pada bagian lain, walaupun ACFTA telah menghapus hambatan tarif  (Tariff Barriers), namun tidak menjamin bahwa produk-produk Indonesia (terutama manufaktur) dapat memasuki pasar China, tetapi perbedaan standarisasi produk yang mencolok (Non Tariff Barriers) membuat komoditi dari Indonesia tidak mudah untuk masuk ke pasar China.

Negara-negara maju seperti China memiliki standarisasi produk yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya produk-produk China bebas masuk ke pasar Indonesia, sementara produk-produk Indonesia terhalang masuk ke pasar China.

Dalam hubungan perdagangan antara dua Negara yang tidak setara (unequal),  perbedaan standarisasi produk yang mencolok  membuat komoditi dari Negara-negara berkembang tidak mudah untuk masuk ke pasar negara-negara maju, sementara produk negara-negara maju dapat dengan leluasa menguasai pasar negera-negera berkembang.

Pada akhirnya ACFTA  tidak menjamin adanya perdagangan yang adil. Bahkan berpotensi memperdalam ketidakseimbangan (asimetri) hubungan ekonomi antara Negara berkembang dengan Negara maju, antara Indonesia dan China.

Subtitusi Impor

Dalam kaitan itu, pemerintah tidak dapat lagi menyandarkan kebijakan ekonomi pada pasar luar (ekspor) melalui perjanjian perdagangan bebas (FTA). Kebijakan semacam ini, menurut ekonomi  C.M. Dent  pada tingkat makro merupakan perubahan umum dari sistem neo-merkantilis ke neo-liberal.

Perekonomian yang dibangun dengan dasar bahwa hukum pasar tidak boleh dikekang, dan harus dibuka seluas-luasnya, tidak akan mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan bisa diperoleh apabila banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah impor sebisa mungkin, sehingga neraca perdagangan selalu dalam posisi positif.

Dengan kata lain yang harus dilakukan adalah melindungi dan mengembangkan industri dalam negeri dari serangan produk-produk luar, sembari melakukan penguatan terhadap pasar dalam negeri, melalui kebijakan substitusi impor yang berorientasi inward looking.

Strategi Substitusi Impor dikembangkan Raul Prebisch  pada awal tahun 1960-an. Strategi ini diilhami oleh suatu kondisi ketidakseimbangan hubungan antara negara maju (centre) dengan negara berkembang (periphery). Pola hubungan antara kedua kelompok negara ini adalah hubungan dominan-tergantung, dimana negara maju pada posisi dominan dan negara berkembang pada posisi tergantung.

Pola hubungan semacam ini lebih menguntungkan negara maju, yang pada gilirannya semakin memperlebar kesenjangan ekonomi antara kedua negara. Untuk mempersempit kesenjangan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju, Prebish menganjurkan agar negara berkembang menerapkan strategi substitusi impor. Substansi utama dari strategi ini adalah kebijakan memproduksi di dalam negeri terhadap barang-barang yang tadinya diimpor. Pemerintah membangun dan atau memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk mendirikan industri-industri yang dapat memproduksi barang-barang yang tadinya diimpor.
Ada beberapa keunggulan yang diperoleh dari kebijakan substitusi impor (SI):
1. Mengurangi ketergantungan pada impor;
2. Memperkuat sektor industri;
3. Memperluas kesempatan kerja;
4. Menghemat devisa.

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengadopsi strategi substitusi impor (SI) pada masa pemerintahan Orde Baru hingga dekade 1980-an. Selama menerapkan strategi subtitusi impor, Indonesia telah berhasil mengubah struktur ekonominya, dari struktur ekonomi yang semula didominasi oleh sektor pertanian secara bertahap mulai diwarnai oleh sektor industri manufaktur. Seiring dengan itu, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mencapai tingkat yang cukup tinggi.

Namun mulai 1994, Indonesia secara bertahap merubah strateginya dari Subtitusi Impor menjadi Promosi Ekspor (PE). Dan terlebih paska tumbangnya Orde Baru (1998) kebijakan ekonomi Indonesia benar-benar terbuka dan berorientasi ke luar (pasar ekspor) sehingga mengabaikan pasar dalam negeri.

Disparitas harga yang tinggi antara pasar dalam negeri dengan pasar ekspor, mendorong para pelaku usaha nasional berlomba-lomba menjual produksinya keluar, tanpa mempertimbangkan kebutuhan didalam negeri. Kondisi ini melahirkan “ironi perekonomian Indonesia” .

Berangkat dari luasnya dampak liberalisasi yang dialami, maka sudah waktunya bagi pemerintah untuk kembali berpaling ke pasar dalam negeri yang berjumlah lebih dari 231 juta jiwa, sebuah pasar yang besar, dan potensial untuk memperkuat basis fundamental ekonomi indonesia.

Daftar Pustaka
ASEAN-China Expert Group on Economic Co-operation (2001), forging closer ASEAN-China Economic Relation in the Twenty-First Century, (2001)
Atje, R dan A.B. Gaduh, Indonesia-China Economic Relation; An Indonesia Perpective, CSIS Economc Working Papar Series No.52, Jakarta: CSIS 1999. tersedia pada situs resmi CSIS: http//www.csis.or.id/paper/wpe052
Bhagwati, Jagdish, Proteksionisme, Angkasa, Bandung, 1992
Burmansyah, Edy, FTA dan UU Perjanjian International, Kompas, 4 januari 2009
Burmansyah, Edy, ACFTA Momentum Evaluasi Startegis Perdagangan, Republika, 8 Januari 2009
Chandra, Alexander C, ”Indonesia dan Ancaman Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral” Institute for Global Justice, Jakarta, 2005
Dent, C, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1 hal 25-52
Institute for Global Justice, Briefing Paper ” Analisa Posisi Indonesia terhadap Special Product/Special Safeguard Mechanism Dalam Perundingan Putaran Doha Paska Chairperson’s Text 2008, Jakarta, 2009
Internatinal Herald Tribune (2005), ”China and Indonesia Seal A Strategice Pact, International Herald Tribune, 26 April, tersedia pada situs resmi Herald Tribune: http://www.iht.com/articles/2005/04/25/indonesia.php
Nofrian, Fachru, ”Pendekatan Ekonomi Heterodoks” Institute for Global Justice, Jakarta, 2009
Oxfam International, Briefing papaer ”Resep Pembawa Petaka” 2006
Oxfam International, Briefing Paper ” A raw deal for rice under DR-CAFTA”,  2004
Pambudi, Daneil dan Chandra, Alexander C, ”Garuda terbelit Naga” Dampak kesepakatan bebas bilateral ASEAN-China terhadap perekonomian Indonesia, Institute for Global Justice, Jakarta, 2006
Pascual, Maria Teresa D, ” Perjanjian-perjanjain Perdagangan Bebas Bilateral Amerika Serikat di Asia” Asia Pasific network for Food Sovereignty, 2006.
Rosecrance, Richard, ”Kebangkitan Negara Dagang, Perdagangan dan Penaklukan di Dunia Modern” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com