Agenda Setting Tersembunyi Amerika Serikat: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga (Bagian Pertama)

Bagikan artikel ini

Perang Non Militer kini tidak hanya sekedar menjadi pendukung bagi pelaksanaan Perang Militer Konvensional. Serangan Non Militer itu sendiri kini dapat dijadikan “alat” untuk menundukkan lawan dan memaksakan kehendak. Oleh sebab itu, “doktrin” pertahanan keamanan negara modern abad 21 harus menjadikan ancaman Non Militer sebagai ancaman terhadap keamanan nasional suatu negara.

PENDAHULUAN

Selasa, 24 Juni 2014, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, … Sebelumnya diberitakan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Robert Blake mengatakan pemerintah Indonesia harus menyelidiki tuduhan keterlibatan calon presiden Prabowo Subianto dalam pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) pada dasawarsa 1990-an. … Meski demikian, Blake buru-buru menambahkan jika pemerintahnya tidak memihak calon tertentu. “Namun, kami menganggap serius dugaan pelanggaran HAM dan menyerukan pemerintah Indonesia untuk sepenuhnya menyelidiki tuduhan tersebut,” ujar Blake lewat surat elektronik kepada Wall Street Journal…

Permintaan Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake agar pemerintah Indonesia mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Prabowo Subianto jelas merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kedaulatan Indonesia. Disamping menunjukkan dengan tegas bahwa AS sudah berpihak kepada Capres tertentu dalam Pemilu Presiden 2014.

Agenda Setting Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia masuk melalui isu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) “berat” yang ditujukan kepada TNI, khususnya kepada Prabowo Subianto yang terus bergulir sejak dekade 1980-an. Dan belakangan tampaknya kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Prabowo Subianto telah menjelma menjadi sebuah ideologi perjuangan bagi sebagian besar Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia beserta simpatisannya. Sebagai catatan saja bahwa serangan Non Militer pihak asing tidak akan berjalan efektif bila tidak ada dukungan dari dalam negeri. Dukungan para komprador, baik sipil maupun militer.

Seperti kita ketahui bersama bahwa agenda setting yang digulirkan AS dan Sekutunya terhadap Indonesia adalah sebuah bentuk skema Perang Non Militer: Pertama, serangan udara berupa bom-bom isu demokrasi, hak azasi manusia, lingkungan, profesionalisme, sara, sampai sanksi embargo dengan target sasaran menghancurkan sistem ipoleksosbudmil. Kedua, serangan darat pasukan elit “komprador” yang terdiri dari intelektual dan politisi – baik sipil maupun militer – untuk memformat ulang sistem ipoleksosbudmil Indonesia dengan sistem baru yang di set up sesuai dengan kepentingan pembuat agenda. Sebagai target utama operasi Non Militer sekutu adalah amandeman UUD 1945 dan perubahan UU Migas agar memudahkan instalasi sistem privatisasi dan perdagangan bebas WTO ke dalam sistem ekonomi “Pancasila” yang sudah diliberalkan. Sehingga Indonesia kini menjadi negara yang compatiblebagi akses dan koneksitas sistem ekonomi asing, terutama bagi kepentingan AS, Uni Eropa, Jepang dan China.

Model agenda setting ini terbukti manjur ketika dipakai untuk membangkitkan nasionalisme sempit di kawasan Eropa Tenggara. Sehingga pecah konflik etnis bersenjata yang mengakibatkan pecahnya Yugoslavia menjadi negara-negara kecil meliputi Republik Serbia, Republik Montenegro, Republik Kroasia, Republik Slovenia, Republik Makedonia dan Bosnia Herzegovina. Sebelum pecah, negara pelopor Gerakan Non-Blok (GNB) ini dikenal sebagai sebuah negara Komunis yang maju dan makmur rakyatnya.

Dalam kasus Yugoslavia, ternyata ada agenda setting tersembunyi AS yang boleh dibilang merupakan agenda sesungguhnya, yakni menyingkirkan Slobodan Milosevic dari panggung politik Eropa Tenggara. Kongres AS sangat khawatir bila Slobodan membangkitkan kembali “Pakta Warsawa Baru.” Dengan modus operandi agenda pelanggaran HAM berat terhadap Slobodan Milosevic persis, setali tiga uang terhadap Prabowo Subianto – Amerika berhasil menyerat Slobodan Milosevic ke Pengadilan HAM internasional. Slobodan pun akhirnya gugur di dalam penjara diracun para penguasa. Bahkan reformasi 1998 yang sukses melengserkan Presiden Soeharto adalah bukan agenda sesungguhnya. Ada dua hidden agenda: Pertama, Balkanisasi NKRI seperti Yugoslavia dan Kedua, kriminalisasi Prabowo Subianto seperti halnya Slobodan Milosevic. Meski gagal, tapi dalam skala tertentu bisa dikatakan berhasil dengan adanya Otda dan Otsus. Demikian pula Prabowo Subianto, meski berhasil dijegal dalam Pilpres tetap menjadi Kesatria di Bumi Nusantara.

Campur tangan AS diseluruh belahan dunia memang bukan rahasia lagi, bahkan dilakukan secara sistematis dan terang-terangan yang akan kita bahas kemudian. Amerika telah merumuskan kepentingan nasionalnya dalam skala global, dengan prioritas menjaga kemanan stabilitas minyak dan dollar sebagai urat nadi transaksi perdagangan internasional. Nah, untuk menjaga keamanan kepentingan nasionalnya itu, AS tidak ragu-ragu untuk ikut campur menentukan nasib dan masa depan suatu bangsa di muka Bumi, seperti menentukan kepemimpinan nasional suatu bangsa, termasuk di Indonesia. AS tampaknya mencoba bermain sebagai Tuhan, playing of God. Dan memang tampaknya tidak main-main. Memasuki millenium ketiga, Amerika secara sistemik telah menyempurnakan sistem keamanan globalnya untuk mengatur dunia.

Seperti kita ketahui bersama bahwa minyak adalah jantung kehidupan AS, tanpa minyak roda industri dan militer AS akan lumpuh. Konsumsi minyak AS sebesar 22 juta bph (barrel perhari), dimana 13,5 juta bph berasal dari impor. Begitu besarnya konsumsi minyak dalam negerinya, menyebabkan AS sangat sensitif terhadap stabilitas keamanan minyak dikawasan Timur Tengah. Apalagi AS punya pengalaman buruk ketika diembargo oleh Arab Saudi tahun 1973 dan oleh Iran tahun 1979. Tanpa suplai minyak yang stabil AS lumpuh. Oleh karena itu stabilitas produksi minyak dunia menjadi prioritas Kemanan Nasional AS. Nah, coba bayangkan bila seandainya Iran menutup Selat Hormuz dengan melepaskan 2 juta ranjau.

SISTEM KEAMANAN GLOBAL AMERIKA SERIKAT

Perkembangan peradaban umat manusia yang begitu cepat telah membawa perubahan yang mendasar dalam cara berperang.

Memasuki milenium ketiga Perang Non Militer telah menjadi model perang modern untuk menaklukan sebuah negara bangsa. Efektifitas dan efisiensi Perang Non Militer ternyata telah menunjukkan hasil yang jauh lebih dahsyat dari ledakan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Bubarnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa yang kemudian disusul dengan hancurnya Yugoslavia yang dikenal dengan “Balkanisasi” semakin mempopulerkan model Perang Non Militer pada akhir abad 20.

Sebelum pecah Perang Dunia Kedua, AS sebetulnya sudah merancang blueprintsistem keamanan global sebagai bagian integral dari kepentingan nasionalnya. Pembentukan IMF dan World Bank di Bretton Woods, New Hampshire, AS tahun 1944, adalah langkah awal AS untuk membangun Tata Dunia Baru (New World Order). AS telah menyadari bahwa Pasca Perang Dunia II negara-negara Eropa Barat akan mengalami kehancuran ekonomi dan membutuhkan bantuan dana dalam jumlah besar untuk membangun kembali negaranya. Dan hal tersebut kemudian menjadi kenyataan dengan bantuan Marshal Plan – yang kemudian menjadi ladang IMF dan World Bank untuk terjun memberi bantuan sekaligus menguasai keuangan negara-negara Eropa korban Perang Dunia II. Bukan itu saja, AS kemudian mendirikan NATO untuk melindungi investasinya – sekaligus untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Eropa.

Hegemoni ekonomi AS dengan dollar–nya boleh dibilang berawal ketika terjadi pertemuan para anggota OPEC di Teheran, pada tahun 1971 – dimana para anggota OPEC menyepakati agenda pemberlakuan penggunaan mata uang “dollar” sebagai patokan harga minyak dan juga alat pembayaran minyak. Dengan kesepakatan tersebut otomatis “dollar” menjadi penggerak ekonomi dunia – ketika permintaan minyak meningkat otomatis permintaan terhadap dollar pun meningkat. Sehingga hampir dua pertiga Bank Sentral di seluruh dunia secara resmi kemudian menetapkan foreign exchange reserve dengan mata uang dollar. Ditambah lagi setelah negara-negara produsen minyak dengan keuntungannya yang berlimpah menanamkan kembali dollarnya di New York sehingga menjadikan ekonomi AS zero currency risk. Bukan itu saja, AS bahkan mengharuskan negara-negara produsen minyak untuk menyisihkan dana penjualan minyaknya kepada IMF dan World Bank.

Setelah bubarnya Uni Soviet pada 1989, AS baru menyempurnakan GATT menjadi WTO tahun 1995, sebagai badan dunia yang mengatur perdagangan internasional. Dengan terbentuknya WTO, maka melengkapi badan dunia penakluk negara bangsa yang sudah ada sebelumnya, yakni IMF, WORLD BANK & NATO.

Dalam konteks keamanan global abad 21, AS telah mengintegrasikan sistem keamanan nasionalnya secara sistemik kedalam empat badan dunia tersebut. Dengan kata lain AS telah membangun sistem pertahanan keamanan pangan dan energinya terintegrasi dengan IMF, World Bank, WTO dan NATO. Bila kita simulasikan secara lebih konkrit, sebagai contoh misal alarm tanda bahaya berbunyi di suatu kawasan belahan dunia, dengan cepat pula dapat diketahui tindakan apa yang harus diambil. Tinggal skema mana yang menjadi pilihan untuk mengeksekusinya, Militer atau Non Militer. Atau kombinasi keduanya.

Misal alarm kawasan Timur Tengah berbunyi, tepatnya di Irak, AS segera menyiapkan NATO dan Serangan Militer. Hal tersebut terjadi karena sesuai dengan kode ancaman. Bila terjadi ancaman langsung yang mengganggu stabilitas keamanan minyak dan dollar maka AS tanpa kompromi akan melakukan serangan militer. Ketika Saddam Husein menginvasi Kuwait untuk menguasai ladang minyak dan beralih ke “Euro“ untuk transaksi minyaknya – AS merasa keamanan nasionalnya terancam. Serangan militer pun dilancarkan. Tidak perlu alasan. Dan dibalik serangan militer tersebut, AS sesungguhnya mengirimkan sebuah pesan kepada teman dan lawan untuk tidak mengganggu kepentingan nasionalnya. Jadi tidak mengherankan bila belakangan ini operasi intelijen dan penyadapan kembali menjadi topik dunia internasional yang hangat. Seperti kita ketahui bersama bahwa minyak adalah jantung kehidupan AS, tanpa minyak roda industri dan militer AS akan lumpuh. Konsumsi minyak AS sebesar 22 juta bph, dimana 13,5 juta bph berasal dari impor. Kawasan Timur Tengah adalah pemasok utama kebutuhan minyak AS, disamping beberapa kawasan dunia lain termasuk dari Indonesia. Sekedar catatan: hari ini konsumsi minyak Indonesia sekitar 1,8 juta bph. Dimana 1 juta bph harus impor lebih dari 18 negara.

Bersambung ke bagian dua

Penulis: Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com