Jika kita bermaksud membongkar apa yang ada di balik kejadian sesungguhnya menyusul mewabahnya Covid-19 sejak Maret lalu maka peristiwa mewabahnya Flu Burung 2004 yang menerjang Vietnam, Thailand dan Cina, dank e Indonesia pada 2005, menarik untuk kita rekonstruksi kembali jalan ceritanya. Cara pandang yang paling pas adalah dengan merekonstruksi kembali strategi mantan menteri kesehatan Siti Fadilah Supari dalam merespons mewabahnya Flu Burung dan Flu Babi di Indonesia.
Pertama, ketika Flu Burung mulai menerjang Indonesia pada 2005, maka langkah prioritas adalah mengenali jenis virusnya itu sendiri. Dalam kasus ini, jenis virus berasal dari jenis H5N1. Pertanyaan selanjutnya, darimanakah gerangan virus jenis tersebut datang? Belakangan memang terungkap berasal dari unggas.
Fakta bahwa kemudian jumlah korban Flu Burung di Indonesia semakin meningkat dan kematiam penderita Flu Burung semakin cepat dibandingkan negara-negara tetangga Indonesia, Fadila Supari lalu menyelidiki segala hal terkait virus outbreak tersebut. Nah dari sinilah keanehan dan kejanggalan mulai terungkap setahap demi setahap. Misalnya saja terjadinya kematian sebanyak tujuh orang pada satu keluarga di Tanah Karo, pada waktu itu bikin heboh pemberitaan televisi luar negeri seperti CNN. Sehingga opini publik terbentuk bahwa telah terjadi penularan Flu Burung melalui antar manusia(human to human).
Ketika menteri Fadilah Supari mencermati pemeriksaaan laboratorium kasus wabah virus tersebut melalui Litbangkes Kementerian Kesehatan, mulailah muncul keganjilan yang mencurigakan. Mengapa hasil pemeriksaan laboratorium di Indonesia harus dibawa dulu ke Hongkong sehingga pemeriksaan laboratorium memakan waktu lima sampai tujuh hari, padahal seharusnya cukup dua hari hasil sudah bisa diperoleh?
Ketika dalam mendiagnosis kasus Flu Burung, kementerian kesehatan lalu mendeteksi virus strain Indonesia dengan mendeteksi antigen, sehingga bisa mendiagnosis pasien pada hari pertama dan kedua. Dari sinilah fase awal terbongkarnya peran terselubung sebuah laboratorium bertujuan ganda NAMRU-2 AS yang beroperasi di Indonesia.
Dengan mencermati kasus serupa di Vietnam, terungkap bahwa virus dari orang yang mati akibat Flu Burung tersebut sampelnya dikirim ke WHO Collaborating Center (WHO CC), dengan dalih untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, lalu kemudian dibuatkan seed virus. Dari seed virus inilah kemudian digunakan untuk membuat vaksin.
Lantas menteri kesehatan Supari sampai pada pandangan bahwa itu berarti menguntungkan para pembuat vaksin yang sebagian besar merupakan perusahaan-perusahaan farmasi global yang memonopoli 90 persen industri farmasi da obat-obatan.
Praktek kewajiban mengirim sampel virus ke WHO CC tersebut, rupanya dirancang skenarionya oleh GISN (Global Influenza Surveillance Network). Sehingga negara-negara penderita Flu Burung jadi tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan WHO melalui GISN. Dan harus patuh pada WHO meski dirasa tidak adil.
Meskipun pada waktu itu menteri kesehatan Supari belum punya gambaran bahwa proses pengiriman virus H5N1 ke WHO itu diatur melalui sebuah laboratorium bertujuan ganda bernama NAMRU-2 AS, namun modus operandinya mulai terdeteksi. Virus yang diterima oleh GISN sebagai wild virus kemudian menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Lantas diproses menjadi seed virus. Seed virus kemudian dibuat jadi vaksin. Setelah jadi vaksin, kemudian didistribusikan ke seluruh dunia secara komersial.
Maka ketika kasus Flu Burung merebak, maka fakta yang diperoleh Ibu Supari berdasarkan apa yang beliau pelajari di Vietnam, maka sampailah pada kesimpulan bahwa WHO juga menerapkan alur yang sama dalam modus operandinya di Indonesia. Ketika Indonesia terserang wabah Flu Burung, kita harus menyerahkan virus H5NI ke WHO CC. Teorinya, kita akan segera mendapat konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim itu. Namun pada prakteknya, negara pengirim termasuk Indonesia, tidak pernah tahu lagi bagaimana perkembangannya.
Kita tidak tahu, dan begitu juga negara-negara pengirim lainnya yang pada umumnya negara-negara berkembang, apakah virus itu akan dibuat vaksin, atau bahkan untuk membuat senjata biologis. (1)
Seperti juga Indonesia, Vietnman pun tidak pernah tahu apakah virus H5N1 yang dikirim ke WHO CC ke mana dan untuk apa. Dari sinilah terungkap adanya agenda terselubung WHO CC melalui dua alur. Adanya pendistribusian obat-obatan menyusul terjadinya virus outbreak seperti Flu Burung. Atau sekarang Covid19. Kedua melalui virus sharing yang tidak adil dan tidak transparan.
Terjadinya kematian 7 dari 8 orang bersaudara yang menderita Flu Burung di Tanah Karo, oleh WHO kemudian diklaim telah terjadi penularan antarmanusia (human to human transmission). Sehingga telah terjadi penularan antarmanusia di Indonesia. Menurut menteri kesehatan Supari itu merupakan kesimpulan yang tidak benar. Dan sembrono.
Karena merasa WHO telah bertindak tidak adil, maka Supari meminta seorang pakar molecular biologist Sangkot Marzuki yang juga pimpinan Lembaga Eijkman, untuk segera melakukan sequencing DNA Flu Burung di Tanah Karo. Memeriksa sequencing specimen virus H5NI yang berasal dari Tanah Karo.
Sambil menunggu sequencing DNA Tanah Karo, menteri Supari juga bertanya pada WHO yang ada di Indonesia bagaimana data sequencing DNA virus dari Tanah Karo yang dikirim ke WHO CC. Bukankah gambaran sequencing DNA akan membuktikan apakah penularan tersebut terjadi dari manusia ke manusia ataukah dari ayam ke manusia? Ternyata, WHO CC sama sekali tidak terbuka dan menolak memberi keterangan. Dari sinilah kecurigaan mulai muncul kenapa akses informasi seputar sequencing DNA WHO CC begitu tertutup dan rahasia?
Kecurigaan semakin kuat ketika hasil sequencing DNA virus Flu Burung di Tanah Karo, pada dasarnya negative. Artinya, penularan antarmanusia seperti dikatakan WHO ternyata tidak terbukti.
Dari kejadian ini, tak heran jika Indonesia menghadapi halangan dan hambatan ketika berusaha mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. belakangan terungkap bahwa data yang disimpan WHO CC itu ternyata disimpan di Los Alamos. Artinya apa?
Berarti selama ini data sequencing H5N1 yang dikirim Indonesia ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, di New Mexico. Yang lebih misterius lagi, para peneliti itu hanya sekitar 15 grup peneliti. Yang mana 4 dari 15 ini berasal dari WHO CC.
Mengingat fakta bahwa sebelumnya laboratorium Los Alamos itu berada di bawah Kementerian Energi Amerika Serikat, dan di laboratorium ini pula dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, maka bisalah disimpulkan bahwa di laboratorium ini pula tempat dilakukan riset dan pembuatan senjata biologis dan senjata kimia di Amerika.
Lebih misteriusnya lagi, ketika Ibu Supari menuntut data 58 seed virus dan sequencing virus strain Indonesia yang dikembangkan WHO CC, WHO menolak memberi informasi. Bahkan tiba-tiba muncul berita di internet bahwa laboratorium Los Alamos ditutup dan tidak ada lagi. Wajar muncul pertanyaan, kemanakah gerakangan data sequencing virus-virus yang pernah dikirim ke WHO CC?
Berdasarkan inforamsi ibu Supari, tanpa menjelaskan darimana sumber informasinya, mengatakan bahwa begitu Los Alamos ditutup, penyimpanan data sequencing nya dipindahkan ke dua tempat. Yaitu GISAID dan sebagian ke Boo Health Security (BHS) yang berada dalam kekuasaan Pentagon, kementerian pertahanan AS.
Maka itu kita bisa simpulkan bahwa virus-virus H5NI disimpan di BHS yang berada di bawah naungan Pentagon. Apalagi hampir semua pegawai dan peneliti dari Alamos ditampung di BHS.
Maka ketika Indonesia menuntut transparansi data 58 seed virus yang dikembangkan dari virus strain Indonesia yang dikembangkan oleh WHO CC, kemudian yang berhadapan dengan kita justru pemerintah AS.
Dari konstruksi cerita tadi maka sekarang jelas alurnya. Pertama, virus dari affected countries dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Kedua, setelah melalui mekanisme GISN, di permukaan keluarnya dari WHO CC ke Los Alamos. Ketiga, dari WHO CC virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan kie perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Dan juga, sebagai bahan untuk membuat senjata biologis.
Lantas, melalui mekanisme apa proses pengiriman virus dari Indonesia ke WHO CC dan ke National Laboratory Los Alamos? Melalui kerjasama antara laboratorium bertujuan ganda NAMRU-2 dan Kementerian Kesehatan RI yang sudah berlangsung sejak 1974 hingga 2009, ketika ibu Supari selaku menteri kesehatan menghentikan aktivitas laboratorium NAMRU-2 tersebut.
NAMRU-2 merupakan sebuah fasilitas laboratorium penelitian biomedis Naval Medical Research Unit Two – bahasa Indonesianya Unit Riset Medis Angkatan Laut Dua – disingkat NAMRU-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang khusus meneliti penyakit-penyakit menular yang dipandang memiliki potensi penting ancaman nasional dari sudut pertahanan. NAMRU-2 secara resmi terdaftar di bawah komando Pusat Riset Medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Center) yang berlokasi di Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat. Kecurigaan terhadap operasi terselubung NAMRU-2 AS sudah mulai terdeteksi pada 2007 ketika Hendrajit mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen Angkatan Laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular.
Baca:
Misteri “Virus” NAMRU-2 AS
Setelah ditutup, fasilitas NAMRU-2 kemudian dipindahkan ke Hawaii. AS , disinyalir memiliki 400 laboratorium serupa di seluruh dunia yang dibiayai oleh Washington. Yang krusial dari keberadaan NAMRU-2 khususnya di Indonesia, ada indikasi kuat bahwa timbulmya wabah virus yang terdeteksi di beberapa negara di Afrika dan Asia Selatan beberapa waktu lalu, berasal dari penelitiandi fasilitas militer AS tersebut.
Beberapa indikasi tersebut antara lain, seperti dilaporkan baru-baru ini bahwa ahli mikrobiologi Amerika menemukan sebuah kotak kardus berisi sampel cacar yang telah terlupakan di ruang penyimpanan NIH di tahun 1950-an. Kasus lain misalnya terkait skandal pengiriman sampel beberapa spora antraks aktif ke Departemen Pertanian AS yang kemudian ternyata telah terkontaminasi secara tidak sengaja dengan H5N1, yang merupakan sampel virus flu burung. Skandal spora antraks ini kemudian menimpa setidaknya 20 negara bagian, serta sebuah pangkalan militer di Korea Selatan, yang mengakibatkan 22 personil memerlukan perawatan medis serius.
Sekarang sudah bukan rahasia lagi bahwa virus flu burung yang dimodifikasi secara genetis yang dapat ditransmisikan antar manusia diciptakan di sebuah pusat medis di Belanda, dengan bantuan Institut Kesehatan Nasional AS.
Pada 2017 lalu terbetik kabar di Ukraina, juga timbul wabah penyakit berbahaya. Apa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada yang memberitakan, sehingga masyarakat luas tidak ada yang tahu. Padahal kenyataannya, pada bulan Agustus tahun 2005, Kementerian Kesehatan Ukraina dan Departemen Pertahanan AS telah menandatangani sebuah “Kesepakatan mengenai Kerjasama di Area Pencegahan Perkembangan Teknologi, Patogen dan Keahlian yang Bisa Digunakan dalam Pengembangan Senjata Biologis.”
Jika mencermati kasus di Ukraina itu, nampak jelas sama skenarionya dengan keberadaan NAMRU-2 AS di Jakarta. Begitu kesepakatan tersebut dilakukan, sebuah institusi yang dikenal sebagai Laboratorium Referensi Pusat (CRL) dibuka di Odessa, berbasis di Institut Penelitian Anti-Plasma Mechnikov dan mengkhususkan diri dalam studi patogen manusia.
Menurut catatan, Departemen Pertahanan AS telah menginvestasikan sekitar US$ 3,5 juta ke dalam proyek tersebut, dengan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktornya yang lama, Black & Veatch Special Projects Corp., di samping laboratorium diagnostik di Dnipropetrovsk, Lviv, Luhansk, dan Merefa, dekat Kharkov. Menarik untuk dicermati bahwa keamanan telah digenjot di laboratorium di Merefa, yang sekarang menjadi fasilitas Tingkat Keamanan Hayati 3, di mana mereka diberi wewenang untuk bekerja pada strain virus manusia mematikan dan bakteri yang sesuai untuk digunakan sebagai senjata biologis.
Seperti halnya juga NAMRU-2 AS di Jakarta, Ttdak satu pun dari CRL berada di bawah kendali yurisdiksi negara tempat mereka berada, dan pekerjaan mereka sangat tertutup bagi orang luar. Personilnya terutama warga negara AS yang memiliki kekebalan diplomatik.
Dengan kata lain, tidak ada perwakilan dari negara tuan rumah yang diizinkan mengakses laboratorium ini, termasuk otoritas kesehatan masyarakat sekalipun. Jumlah karyawannya antara 50 sampai 250 orang – melebihi jumlah staf yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan semacam ini di fasilitas sipil. Laboratorium tersebut biasanya dipimpin oleh seorang perwira tinggi Angkatan Darat AS yang ahli dalam senjata biologis dan terorisme biologis.
Laboratorium serupa juga dibuka di Kiev, Kherson, Vinnytsia, Ternopil, dan Uzhhorod sebelum tahun 2014. Sebanyak US$ 183 juta telah diinvestasikan dalam proyek-proyek ini. Sejak kudeta tahun 2014, kejadian di Ukraina terkait dengan isu-isu ini telah ditahan dengan ketat dari pers, bahkan wartawan dan pers “independen” Ukraina tidak diizinkan untuk membuat penyelidikan.
Proyek “biosecurity” Amerika sudah tentu sangat berbahaya. Jaringan bio-laboratorium di Ukraina ini telah melakukan manuver untuk menghindari Konvensi Senjata Biologis yang ditandatangani pada1972. Laboratorium biologis militer ini, konon dimaksudkan untuk “mengurangi ancaman biologis” dalam keadaan tertentu, sebenarnya merupakan jaringan di bawah kendali Pentagon yang mempelajari dampak virus dan bakteri pada kolam gen tertentu, baik itu manusia, hewan maupun tanaman.
Inilah bahayanya laboratorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS di Jakarta maupun CRL di Odessa. Selain untuk untuk menghindari Konvensi Jenewa 1972 tentang senjata bakteriologis dan toksik, untuk menghindari protokol tambahan yang disusun pada tahun 1990-an, di mana AS menolak untuk meratifikasinya pada tahun 2001.
Maka itu, pemerintah Indonesia utamanya Kementerian Dalam Negeri dan Pertahanan, sudah saatnya menaruh kewaspadaan tingkat tinggi untuk mencegah beroperasinya kembali laboraotorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 yang notabene merupakan fasilitas penelitian militer AS. Apalagi NAMRU-2 AS yang saat ini sudah berganti nama menjadi The Armed Force Research Institute of Medical Services (AFRIMS), saat ini sudah menyebar di beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.
————————————————–
(1). Dr Siti Fadilah Supari, Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung, hal.11. Jakarta: Sulaksana Watinsa Indonesia (SWI), 2008.