Penutupan United States Agency for International Development (USAID) berdampak pada proyek-proyek yang didanai USAID di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana USAID mengalokasikan sekitar US$153 juta pada tahun 2023 untuk mendukung proyek-proyek di berbagai sektor. USAID dikenal di Indonesia, juga di negara-negara berkembang lainnya, sebagai badan donor internasional, pada fiskal 2023, Washington mencairkan bantuan sebesar $72 miliar ke seluruh dunia, mencakup berbagai bidang seperti kesehatan perempuan di zona konflik, akses air bersih, perawatan HIV/AIDS, keamanan energi, dan tindak korupsi.
Pada 2024, Amerika Serikat menyediakan 42 persen dari seluruh bantuan kemanusiaan yang dipantau oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tak heran jika bagi negara-negara berkembang yang selama ini menggantungkan diri dengan bantuan donor-donor asing (international donor), keputusan Presiden Donald Trump menutup USAID di Washington yang berarti pula seluruh kantor USAID di seluruh dunia, mengagetkan sekaligus meresahkan.
Namun pemerintah Indonesia, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah “Roy” Soemirat, malah memandang perkembangan tersebut merupakan momentum bagi Indonesia. Penutupan USAID membuka peluang bagi Indonesia untuk beralih dari negara penerima bantuan menjadi negara donor.
Baca:
Penutupan USAID buka peluang Indonesia jadi negara donor
Selain itu Rolliansyah “Roy” Soemirat menegaskan, pemerintah Indonesia selalu menempatkan bantuan luar negeri dari negara mana pun sebagai pelengkap dan bukan sumber utama” dari program-program yang dijalankan.
Tersirat melalui frase “menempatkan bantuan luar negeri dari negara mana pun sebagai pelengkap dan bukan sumber utama,” selama ini USAID menjadi alat perpanjangan tangan kebijakan luar negeri AS untuk menekan negara-negara lain sebagai prasyarat jika ingin memperoleh dana dan menciptakan ketergantungan pada dana USAID sebagai sumber dana bantuan asing satu-satunya. Investigasi yang dilakukan oleh Huang Lanlan, Leng Shumeidan serta Yang Shengdan Xu Jiatong dari Global Times yang dirilis pada 20 Februari 2025 lalu, terungkap bahwa USAID melalui pemberian dana bantuan asing lebih dari setengah abad, untuk melakukan ‘infiltrasi ideologis dengan berkedok “Program Reformasi Demokratik” di negara-negara berkembang. Yang tujuan strategisnya adalah, melayani kepentingan geopolitik AS.
Baca:
GT investigates: How does USAID use aid to interfere with and ‘brainwash’ recipients?
Dengan begitu, kiranya cukup beralasan bagi kita di Indonesia untuk tetap menaruh kecurigaan bahwa meskipun USAID sudah dihentikan aktivitasnya di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, dan mengalami perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi organisasinya, namun gagasan dasar dari terbentuknya USAID sebagai perpanjangan tangan kementerian luar negeri AS untuk ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, masih tetap berlangsung. Dengan kata lain, kita harus mewaspadai kemungkinan munculnya USAID gaya baru. Atau jangan-jangan, sudah mulai beroperasi sebelum Presiden Trump secara resmi menutup aktivitas USAID di seluruh dunia.
Dari liputan investigative tim Global Times, terungkap bahwa melalui bantuan asing untuk pembangunan yang seharusnya sebagai sumberdaya penting mengatasi tantangan pembangunan global, namun pemerintah AS melalui USAID menggunakannya sebagai alat untuk mempertahankan posisi hegemoniknya seraya melibatkan diri dalam manuver-manuver geopolitik di pelbagai kawasan.
Misalnya saja, menurut investigasi Global Times, dalam memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan pembangunan sebagaimana diklaimnya, USAID selalu mengajukan prasyarat politik yang sejalan dengan apa yang diklaim AS dan negara-negara Eropa Barat sebagai nilai-nilai universal Amerika dan Barat seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Menurut laporan Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat Cina yang diterbitkan pada bulan April 2024 berjudul Hipokrisi dan Fakta Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat, dari tahun 1970-an hingga 1980-an, bantuan AS untuk negara-negara berkembang selalu didasarkan pada premis bahwa negara-negara penerima akan bersedia menjalani penyesuaian untuk menjalankan struktur ekonomi yang bertumpu pada pasar bebas dan privatisasi untuk mencapai tujuan ekonomi.

strasi United States Agency for International Development (USAID) alias Badan Pembangunan Internasional AS. Badan ini sedianya mengelola bantuan kemanusiaan, pembangunan, dan keamanan senilai miliaran dollar AS di lebih dari 100 negara. (AFP/ Dominique Faget)
USAID telah secara terbuka merumuskan kebijakan dalam hal ini, yang mengharuskan negara-negara penerima untuk menggunakan bantuan terutama untuk pengembangan perusahaan swasta dan bukannya untuk investasi publik. Bantuan sepihak dari AS tersebut sulit dipadukan dengan situasi lokal untuk mendukung ekologi serta mendorong kekuatan-kekuatan masyarakat setempat (indigenous people) untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Investigasi Global Times menyingkap adanya beberapa jalur utama yang digunakan USAID untuk mempertahankan posisi hegemoniknya sebagai negara adikuasa. Pertama, melalui Program Pencegahan Konflik (Conflict Prevention) dan Pembangunan Perdamaian (Peace Building) yang berbasis di Universitas Durham, Inggris, antara 2014-2015. Segi menarik yang terungkap pula dari temuan investigatif tersebut, melalui dua program USAID tersebut, menjadi jalur lapangan kerja utama bagi para mahasiswa lulusan program ini. Khususnya bagi para mahasiswa dari AS.
Selain itu, USAID juga digunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mempromosikan agen-agen binaan Amerika di negara-negara lain, untuk memperluas pengaruh dan kepentingan AS di negara-negara penerima bantuan dana dari USAID.
Jadi, USAID secara terselubung merupakan sarana pemandu bakat yang dipandang potensial 0leh USAID yang siap sedia membela kepentingan dan ideologi Amerika dan Barat pada umumnya, terkait perspektif subyek Conflict Prevention dan Peace Building. Di sinilah karakteristik AS yang hegemonik dan intervensionis nampak jelas.
Dengan begitu, penerima bantuan yang dipandang AS sejalan dengan nilai-nilai Amerika dianggap layak mendapatkan bantuan. Bahkan di zona konflik atau daerah yang telah lama kekurangan pendidikan dan perlindungan hak asasi manusia, mereka memprioritaskan dukungan terhadap “kekuatan progresif pro-Barat” setempat untuk merebut kekuasaan, bahkan jika ini dapat memperburuk kondisi hak asasi manusia, demikian temuan reporter Global Times.
Jadi kata kunci kiprah dan peran USAID di pelbagai negara adalah melakukan Infiltrasi Ideologis dan Campur Tangan Politik dalam urusan dalam negeri negara lain.
Ungkapan menarik disampaikan oleh Presiden El Salvador Nayib Bukele ketika menanggapi aksi protes yang dilancarkan kelompok oposisi terkait soal Pertambangan pada 9 Februari 2025 lalu. Berkata Nayib Bukele: “Jelas tidak ada oposisi tanpa uang USAID.”
Apapun alasan dan motivasi Presiden Trump menutup aktivitas USAID di seluruh dunia, yang jelas sebagian besar pemerintah tidak ingin dana USAID mengalir ke negara mereka karena mereka memahami ke mana sebagian besar uang itu sebenarnya mengalir. Meskipun diklaim sebagai dukungan untuk pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia, pada kenyataannya sebagian besar dana ini disalurkan ke kelompok oposisi maupun LSM yang pro AS dan Barat. Dengan mengedepankan agenda: Mendorong Aksi Destabilisasi Politik di negara-negara penerima donor.
Bagaimana persisnya USAID sebagai sarana campur tangan dalam urusan negara lain? Mari kita telisik aliran dananya dulu. Menurut sebuah artikel pada tanggal 7 Februari 2025 oleh lembaga pemikir AS Council on Foreign Relations (CFR), USAID didanai oleh Kongres AS, yang mengalokasikan uang untuknya melalui Negara, operasi luar negeri, dan program terkait setiap tahun fiskal.
Data dari CFR dan pemerintah AS menunjukkan bahwa AS mencairkan hampir $72 miliar dalam bentuk bantuan luar negeri di seluruh dunia pada tahun fiskal 2023, hampir 61 persen di antaranya didistribusikan melalui USAID.
Meskipun demikian, sebagian besar dana besar USAID mungkin tidak benar-benar sampai ke mereka yang membutuhkan. Perwakilan AS Brian Mast mengatakan kepada Columbia Broadcasting System (CBS) pada bulan Februari bahwa dalam hal pendanaan USAID, hanya “10 hingga 30 sen dolar yang benar-benar digunakan untuk bantuan.”
Sebelumnya, laporan USAID bulan Januari 2025 yang merangkum tahun 2024 menyatakan bahwa, sekitar 12,1 persen dari semua dana USAID diberikan langsung ke organisasi lokal di negara asing, termasuk LSM, sektor swasta, dan mitra pemerintah. Lebih banyak pengeluarannya dilaporkan dihabiskan di AS.
Lebih parahnya lagi, temuan investigatif Global Times juga mengungkap bahwa sebagian besar terlibat dalam banyak kampanye misinformasi yang menargetkan “saingan” AS. Apakah Cina termasuk target mis-informasi yang dimainkan USAID?
Pada bulan September 2024, Kongres AS mengesahkan alokasi untuk “Dana Penanggulangan Pengaruh Jahat Republik Rakyat Tiongkok,” yang berencana untuk mengalokasikan $325 juta untuk setiap tahun fiskal antara tahun 2023 dan 2027 – total $1,625 miliar – untuk menangkal apa yang disebut sebagai pengaruh jahat Tiongkok. Dengan kata lain, untuk menangkal segala aspek yang dianggap tidak menguntungkan oleh AS dari Tiongkok.
Dengan kata lain, untuk menangkal segala aspek yang dianggap tidak menguntungkan oleh AS dari Cina. Kongres tidak secara eksplisit mengatakan siapa yang akan mengoperasikan dana besar sebesar $1,6 miliar, tetapi ada tangan-tangan yang bermain di USAID di balik layar. Undang-Undang HR 1157, yang disahkan Kongres untuk mengesahkan uang tersebut, secara langsung menyebutkan bahwa administrator USAID harus menunjuk seorang pejabat senior sebagai “asisten koordinator” program tersebut.
Dengan demikian bisa disimpulkan adanya tangan-tangan tersembunyi USAID dalam mendukung aksi-aksi kelompok oposisi yang pro Barat di perlbagai kawasan. September 2021, misalnya, surat kabar harian terbesar di Zimbabwe, The Herald, mengungkapkan bahwa AS mendanai dan melatih wartawan lokal untuk menulis cerita anti-Cina dan mendiskreditkan investasi Cina, demikian kantor berita Cina, Xinhua, melaporkan pada bulan Oktober 2021.
Saat ini USAID memang sudah tutup. Namun ambisi geopolitik AS untuk tetap mempertahankan posisi hegemoniknya masih tetap tidak berubah. USAID memang sudah bubar. Namun kita harus tetap mewaspadai dan mencermati penyesuaian kelembagaan, penyesuaian proyek, dan pergeseran arah bantuan yang dilakukan pemerintah Amerika.
Boleh jadi USAID menghentikan kegiatan-kegiatan yang dianggp tidak efisien atau memboroskan dan merugikan dana pemerintah. Namun, tindakan-tindakan untuk merugikan negara lain dah menguntungkan kepentingan strategis AS kiranya akan terus dilakukan oleh badan donor pengganti USAID maupun lembaga-lembaga potensial lainnya.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)