Dalam artikel ini, penulis akan mengurai sejauh mana strategi perang Amerika, termasuk kemampuannya dalam melancarkan perang habis-habisan melawan Republik Islam Iran. Sekadar catatan bahwa Iran bagi AS merupakan kompetitor yang sangat sulit untuk ditaklukkan.
Kalau mencermati kondisi saat ini, AS tentu berpikir ulang menggunakan metode perang Blitzkrieg sebagaimana yang mereka lakukan saat menginvasi Irak dengan melibatkan pasukan darat, udara, dan laut secara serentak–untuk digunakan kembali melawan Iran. Ini adalah hal yang mustahil.
Sebagai gambaran awal bahwa hegemoni AS di Timur Tengah telah melemah sebagian besar karena perkembangan struktur aliansi militer di kawasan. AS sepertinya tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan proyek semacam itu.
Ada dua faktor utama yang menentukan agenda militer Amerika dalam kaitannya dengan Republik Islam Iran. Pertama, kemampuan militer Iran baik angkatan darat, laut, udara, termasuk pertahanan rudal dalam menangkan dan merespon perang konvensional yang melibatkan penyebaran pasukan AS maupun Sekutu. Dalam ranah perang konvensional, Iran memiliki kemampuan militer yang cukup besar. Bahkan Iran akan memanfaatkan sistem pertahanan udara S400 Rusia.
Harus diakui, Iran berada di peringkat nomor wahid terkait “kekuatan militer utama” di Timur Tengah, dengan sekitar 534.000 personel aktif di angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, dan Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC). Iran memiliki kemampuan rudal balistik canggih serta industri pertahanan nasional. Dalam kasus serangan udara AS, Iran bahkan akan menargetkan fasilitas militer AS di Teluk Persia.
Kedua, struktur aliansi Militer. Hal ini berkaitan dengan struktur aliansi militer yang mengalami perkembangan sangat pesat sejak 2003-2019, yang sebagian besar justru merugikan Amerika Serikat.
Belum lagi dengan sejumlah sekutu paling setia AS yang membangun aliansi pertahanannya dengan Iran. Negara-negara yang berbatasan dengan Iran termasuk Turki dan Pakistan memiliki perjanjian kerja sama militer dengan Iran. Meski ini tidak termasuk kemungkinan adanya perang darat, namun sejatinya bisa mempengaruhi perencanaan operasi angkatan laut dan udara AS dan sekutu.
Baru-baru ini, Turki (NATO) dan Pakistan adalah sekutu setia AS, yang menjadikan wilayahnya sebagai pangkalan militer AS. Dari sudut pandang militer yang lebih luas, Turki secara aktif bekerja sama dengan Iran dan Rusia. Selain itu, Ankara pada 12 Juli 2019 telah memperoleh sistem pertahanan udara S-400 Rusia yang canggih, yang secara de facto justru memilih keluar dari sistem pertahanan udara AS-NATO-Israel yang terintegrasi.
Memang NATO (Organisasi Perjanjian Atlantik Utara) sedang dalam krisis. Keluarnya Turki dari NATO hampir secara de facto. AS tidak bisa lagi bergantung pada sekutu-sekutunya yang paling setia. Selain itu, milisi yang didukung AS dan Turki saling bertarung di Suriah.
Selain itu, beberapa negara anggota NATO telah mengambil sikap tegas terhadap kebijakan Washington terkait Iran: “Sekutu Eropa berselisih dengan meningkatnya ketidaksepakatan atas kebijakan luar negeri dan semakin jengkel dengan gaya kepemimpinan arogan Washington.”
“Manifestasi paling penting dari ketidakpuasan Eropa yang meningkat dengan kepemimpinan AS adalah gerakan yang dimotori Perancis dan kekuatan-kekuatan lain untuk menciptakan kemampuan pertahanan ‘Eropa Saja’ yang independen”
Belum lagi Irak yang juga menunjukkan keengganannya untuk bekerja sama dengan AS dalam kasus perang darat melawan Iran.
Dalam kondisi saat ini, tidak satu pun negara tetangga Iran termasuk Turki, Pakistan, Afghanistan, Irak, Turkmenistan, Azerbaijan, dan Armenia akan mengizinkan pasukan darat Sekutu AS untuk transit di wilayah mereka. Mereka juga tidak akan bekerja sama dengan AS dalam melakukan perang udara.
Dalam perkembangan terakhir, Azerbaijan yang setelah Perang Dingin menjadi sekutu AS serta anggota kemitraan NATO untuk perdamaian juga telah berubah pihak. Perjanjian kerja sama militer AS-Azeri sebelumnya hampir tidak ada termasuk aliansi militer GUAM pasca-Soviet (Georgia, Ukraina, Azerbaijan dan Moldova).
Sementara, kerjasama militer dan intelijen bilateral antara Iran dan Azerbaijan ditandatangani pada Desember 2018 silam. Pada gilirannya, Iran akan berkolaborasi secara luas dengan Turkmenistan. Berkenaan dengan Afghanistan, situasi internal dengan Taliban yang menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan, tidak akan mendukung penyebaran pasukan AS dan pasukan darat bersekutu di perbatasan Iran-Afghanistan.
Dari gambaran di atas, tampak jelas bagaiman kebijakan penaklukan strategis terhadap Iran yang dirumuskan setelah perang Irak pada 2003 tidak lagi berfungsi. Iran memiliki hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga, yang sebelumnya berada dalam orbit pengaruh AS.
Dengan demikian, AS semakin terisolasi di Timur Tengah dan tidak memiliki dukungan dari sekutu NATO-nya. Sehingga perang konvensional yang dilancarkan AS dengan melibatkan penempatan pasukan darat, udara, dan laut akan menjadi blunder bahkan bunuh diri.
Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute