Untuk kaum Zionis, agar adil, dan agar sadar spektrum rakyat Palestina–yang melawan [baik di kota-kota yang diduduki Israel maupun yang di luar negerinya (dispora)]; yang mengungsi ke negeri-negeri lain; dan yang tetap di negeri-nya tapi tak melawan karena takut atau oportunis:
“Pada tahun 2006, Leila mengatakan bahwa hasil dari proses perdamaian Oslo sepanjang 1990-an adalah: ‘Kita lihat bagaimana Arafat disingkirkan… kendati ialah yang menandatangani perjanjian tersebut… Amerika ingin memoles paras Israel sebagai negara demokratis, dan menunjukkan bahwa Israel cinta damai. Tapi apa yang tealah kitasaksikan selama sepuluh tahun ini, Israel kembali menduduki kota-kota dan dalam prosesnya, mereka telah melanggar perjanjian Oslo.”
“Beberapa hari sebelum jadwal perjalanannya, seorang juru bicara militer Israel mengumumkan bahwa Leila tidak akan diizinkan masuk kecuali dia menandatangani dokume berisi pernyataan kutukan terhadap terorisme sekaligus dukungan terhadap proses perdamaian. …’Aku tidak akan menandatangani apapun,’ katanya pada mereka. ‘Ini bukan proses perdamaian, inihanya proses.’ …’Aku menunggu dan menunggu, lalu seorang agen Shin Bet (intel Israel) memanggilku’…”
Penolakan Israel bukan hanya menjadi tantangan bagi dirinya pribadi, tapi kontradiktif terhadap kesepakatan antara Yasser Arafat dan Shimon Peres…”
“…Saat ditanya namanya, dia hanya menjawab, karena mereka mengundangnya, mereka pasti tahu siapa dirinya. Dia tidak mau menjawab pertanyaan apapun dari agen Shin Bet, dan ketika menantangnya dengan mengatakan bahwa dia menolak perdamaian, Leila merespons: ‘Perdamaian yang mana? Kedamaian adalah saat aku tidak melihatmu, saat aku datang ke tanah airku tanpa diinterogasi. Kalian tidak punya hak menginterogasiku.
‘Ia tidak menanggapi gugatan ini,’ kata Leila, ‘Ia hanya bilang, jadi kau berpijak pada terorisme! Kubilang padanya, apakah aku orang yang pertama kali mengangkat senjata? Pendudukan, penjajahan itulah terorisme…
Lelaki yang satu lagi, kurasa ia ingin membunuhku. Ia mulai bertanya-tanya, ‘Apa kau berniat menghapus bagian dari konstitusi yang menyebutkan penghancuran Israel?’ Dalam konstitusi, tak disebutkan hal itu, karena PLO didirikan pada 1964, konstitusi berisi tentang pembebasan Palestina. GAza dan Tepi Barat belum diduduki, dan konstitusi dibuat untuk rakyat Palestina baik di dalam wilayah Palestina maupun yang berdiaspora, tak sekalipun tertulis ‘penghancuran Israel’. Tapi kujawab, ‘Ini bukan urusanmu. Ini urusan kami.’ Ia balas, ‘Baiklah, apa kamu punya kerabat di Israel?’ Kubilang, ‘Maksudmu area 1948?’ ‘Tentu saja,’ ia bertanya lagi, ‘ bisa kau sebut siapa saja?’ Kubalas, ‘Kau mau menyebutkan nama 850.000 orang?’ Ia menyanggah, ‘tapi ada 950.000 orang di sana.’ Kujawab lagi, ‘Ya, tapi yang seratus ribu itu agen-agenmu, dan mereka tak ada urusannya denganku.’ ‘…Kau pergi lah ke pemerintah kalau mau bertanya tentang itu, jangan padaku.’ KAdang ia hanya mengulur-ulur, menanyakan hal-hal seperti, ‘Apa hal terbaik yang pernah kau lakukan dalam hidupmu?’ Kubilang, ‘Kau ini apa, sih? Wartawan? Begini, ya, hal terbaik yang pernah aku lakukan adalah mengangkat senjata melawanmu.’…”
“Berhasil melalui intel Israel bukan akhir dari rintangan dalam memasuki Palestina. Baru saja Leila melewati perbatasan, ‘seorang polisi perempuan menghampiriku dan berteriak, ‘Tidakkah kau memiliki keyakinan akan perdamaian, Leila?’ Aku memalingkan muka. Dia datang lagi dan berkata, ‘Tidakkah kau punya keyakinan akan perdamaian?’ Kujawab, ‘Kalau aku tidak melihatmu di daerah ini, akan kubilang di sini sudah damai.’
[Sarah Irving, “Leila Khaled, Kisah Pejuang Palestina”. Buku bagus, terjemahannya pun mengalir (flowing), bagus untuk aktivis perempuan dan pejuang kemerdekaan.]