Amerika Serikat dan NATO Bertanggungjawab Lindungi Perdagangan Narkoba di Afghanistan

Bagikan artikel ini

Tim Global Future Institute (GFI)

Catatan Redaksi: Pada 28 Januari 2010 mendatang, akan digelar konferensi internasional tentang narkoba. Berkaitan dengan hal tersebut, Global Future Institute menurunkan untuk kedua kalinya artikel berkenaan dengan perdagangan narkoba di Afrghanistan. Dalam tulisan sebelumnya, kami mengangkat versi Indonesia dari artikel Peter Dale Scott, berjudul Afghanistan: Heroin-Ravaged State. Mengapa Afghanistan?

Karena melalui kasus Afghanistan, terungkap bahwa campur-tangan Amerika ternyata tidak sekadar kontraproduktif bagi terciptanya perdamaian di Afghanistan dan kawasan Asia Tengah pada umumnya, melainkan juga dengan jelas mengindikasikan keterlibatan Amerika, Inggris dan sekutunya NATO, dalam membantu dan memberi payung perlindungan kepada para pihak di Afghanistan dalam perdagangan narkoba.

——————-

Kami di Global Future Institute memonitor perkembangan konflik yang terjadi Afghanistan dengan penuh keprihatinan. Bukan semata dengan penambahan 30 ribu pasukan Amerika di Afghanistan sebagaimana kebijakan yang diambil Presiden Barrack Obama. Lebih daripada itu, Afghanistan ternyata telah menjadi sentra penghubung (Hub) dari perdagangan narkoba di pasar dunia.

Satu catatan penting yang mendasari keprihatinan kami di Global Future Institute adalah, ketika pakar konspirasi glohal Peter Dale Scott, dalam artikelnya bertajuk Afghanistan: Heroin Ravaged State, mengutip laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa Afghanistan dan Pakistan telah menangguk keuntungan bisnis narkoba ini sebesar 4 miliar dolar Amerika Serikat dari total keuntungan bisnis narkoba di tingkat pasar dunia yang kabarnya mencapai 110 miliar dolar Amerika.

Dari fakta ini saja, bisa ditarik setidaknya dua kesimpulan. Pertama, perdagangan narkoba di Afghanistan sudah berkembang menjadi epidemi dan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat Afghanistan, termasuk berbagai faksi kekuatan radikal Islam di negeri tersebut seperti Taliban dan Al Qaeda.

Kedua, total keuntungan bisnis narkoba ini ternyata 90 persen dikuasai oleh para pelaku perdagangan narkoba dari luar Afghanistan itu sendiri. Jadi katakanlah estimasi total keuntungan bisnis narkoba di pasar global tersebut hanya sekitar 40 miliar dolar Amerika Serikat, tetap saja pasar global di luar Afghanista menguasai 90 persen keuntungan barang haram tersebut.

Satu catatan lain lagi yang tak kalah penting dan kiranya perlu menjadi perhatian kita semua yaitu fakta peningkatan produksi dan arus perdagangan narkoba semakin meningkat seiring dengan keterlibatan dan campur-tangan Amerika di sebuah negara atau kawasan, baik melalui operasi militer ataupun politik.

Lagi-lagi, menurut Peter Dale Scott, intervensi Amerika ke Afghanistan pada 1979 ketika memberi bantuan secara terselubung kepada berbagai kelompok Islam radikal Afghanistan untuk melawan pendudukan Uni Soviet.

Pola serupa juga berulang ketika Amerika menginvasi Afghanistan pada 2001 dengan dalih untuk memerangi Al Qaeda dan Taliban yang diklaim terlibat pemboman gedung WTC dan Pentagon. Pada 1999, ketika Afghanistan masih berada dalam kendali kekuasaan Taliban, menurut data produksi ganja di Afghanistan sebenarnya berhasil ditekan hingga mencapai 91.000 hektar, dan bahkan berhasil dikurangi oleh Taliban sehingga pada 2001 produksi ganja hanya mencapai 8000 hektar.

Namun ketika Amerika menginvasi Afghanistan pada 2001, maka catatan di tahun 2007 terungkap bahwa produksi ganja di negeri ini  meningkat drastis mencapai 165.000 hektar dan 193.000 pada tahun 2007.

Berbagai penelusuran Global Future Institute yang juga terkonfirmasi melalui artikel Peter Dale Scott, pola serupa juga terjadi di kawasan Asia Tenggara.

Pada 1950, ketika CIA campur tangan di Birma, perdagangan narkoba meningkat dari 40 ton pada 1939 menjadi 600 ton pada 1970. Di Thailand, 7 ton pada 1939 menjadi 200 ton pada 1968.

Kasus paling dramatis terjadi di Kolombia, ketika Amerika melancarkan operasi militer pada 1980-an dengan dalih perang memberantas narkoba, pada perkembangannya produksi narkoba di Kolombia meningkat drastis antara 1991 hingga 1999, yaitu dari 3,8 ribu hektar menjadi 12,3 ribu hektar.

Dari serangkaian data dan fakta tersaji di atas, kami dari Global Future Institute sampai pada satu kesimpulan bahwa CIA dan jaringan intelijennya di Afghanistan dan Pakistan, tidak saja ikut terlibat, melainkan juga memberi perlindungan kepada kelompok-kelompok radikal Afghanistan dan Pakistan yang terlibat perdagangan narkoba.

Dengan begitu, kebijakan Amerika untuk melancarkan operasi militer dengan dalih perang terhadap terror maupun perang terhadap narkoba, bukan sebuah solusi melainkan justru menjadi bagian dari masalah yang tak kunjung selesai di Afghanistan.

Penilaian tersebut di atas sehaluan dengan Naveed Miraj dalam artikelnya bertajuk US and NATO Protecting Afghan Drug Trade. Bahkan Miraj mengajukan data-data yang tak kalah menarik untuk kita simak secara seksama.

Penanaman ganja yang pada 2007 lalu tercatat mencapai 477.000 area, yang berarti ada peningkatan sekitar 14 persen dari total produksi sebelumnya. Sehingga menurut catatan pada 2008 lalu, penanaman ganja di Afghanistan sudah mencapai 165 ribu hektar, yang berarti 60 persen dari penanaman ganja tahun sebelumnya.

Yang lebih ironisnya lagi, Drug Enforcement Agency (DEA), yang merupakan badan pemberantasan narkoba Amerika, ternyata hanya berhasil memberantas 1 persen dari total produksi ganja di Afghanistan.

Alhasil, menurut catatan Miraj, Afghanistan telah berhasil memasok 93 persen komoditas haram tersebut ke pasar dunia. Dan ironisnya, sebagaimana terlihat melalui data yang disajikan Peter Dale Scott, Afghanistan hanya menagguk keuntungan 10 persen dari total keuntungan perdagangan narkoba di pasar dunia.

Isu lain yang kiranya menarik untuk kita diskusi secara bersama adalah fakta bahwa hampir semua ladang ganja di Afghanistan dikuasai dan dimiliki oleh para tuan tanah (warlords) yang pro pemerintahan Presiden Hamid Karzai. Mereka inilah yang secara diam-diam kemudian menjalin persekongkolan dengan aparat militer dan intelijen Amerika.

Sehingga sudah bukan rahasia lagi jika aparat intelijen dan militer Amerika di Afghanistan dengan sadar membiarkan para petani Afghanistan untuk secara bebas menanam ganja di ladang mereka. Sehingga pada perkembangannya bermuara melonjaknya produksi ganja secara drastis sebagaimana terungkap di atas.

Bahkan, terungkap pula bahwa pasukan Amerika bekerjasama dengan para warlord Afghanistan mengekspor narkoba menembus kawasan lain di luar Afghanistan. Karena keberhasilan kartel perdagangan narkoba Afghanistan menyuap aparat militer dan intelijen Amerika, maka tak heran jika para penegak hukum Amerika sepertinya menutup mata alias pura-pura tidak tahu dengan meningkatnya produksi dan penanaman ganja di Afghanitan.

Hal semakin kondusif bagi para kartel perdagangan narkoba di negeri ini, dengan keikutsertaan aparat militer dan Intelijen Inggris dan pasukan militer lainnya yang berada dalam kendali NATO. Bahkan menurut Miraj, Inggris sempat kedapatan terlibat membantu mempromosikan penanaman ganja dengan menyiarkan melalui iklan radio.

Bukan itu saja. Presiden Karzai dan para kroninya juga terlibat dan tidak melakukan langkah-langkah yang signifikan untuk memberantas perdagangan narkoba sampai ke akar-akarnya.

Perdagangan narkoba ini, dengan demikian, mendapat perlindungan secara diam-diam oleh Presiden Karzai dan para kroninya. Melalui mereka inilah, komoditas haram ini berhasil diselundupkan melalui Asia Tengah, untuk selanjutnya diekspor ke Iran dan Eropa.

Yang menjadi keprihatinan kami di Global Future Institute, perdagangan narkoba telah menjadi bagian integral dari kejahatan ekonomi yang berlangsung di Afghanistan. Sehingga telah mengkontaminasi seluruh lapisan masyarakat Afghanistan.

Alhasil,  perdagangan narkoba pada perkembangannya telah menjadi komponen utama perekonomian Afghanistan. Dan pengelolaannya sepenuhnya berada dalam payung perlindungan berbagai intansti pemerintahan Amerika yang bekerja di Afghanistan. Dan didasari oleh dalih demi untuk pemulihan kembali kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Afghanistan.

Berkaitan dengan skema Amerika tersebut, badan Intelijen Pakistan Inter-Service Intelligence (ISI) kemudian dikambing-hitamkan oleh Amerika sebagai pihak aparat keamanan yang melindungi beberapa warlords di negeri tersebut untuk menghidup-hidupkan terus terorisme di Afghanistan.

Dalam pandangan Naveed Miraj dari Pakistan Post, yang kiranya juga sejalan dengan Global Future Institute, kiranya tidak fair juga jika Amerika mengkambing-hitamkan ISI Pakistan ketika pada perang dingin waktu itu, ISI telah berjasan membantu Amerika dan kelompok-kelompok perlawanan Afghanistan melawan pendudukan pasukan Uni Soviet di akhiar 1970-an hingga pertengahan awal 1990an.

Dengan demikian, satu catatan penting yang kiranya penting untuk dikemukakan, bahwa kegagalan Amerika dan sekutunya NATO mengatasi krisis keamanan nasional Afghanistan, timbul akibat keterlibatan secara sadar CIA dan aparat militer Amerika dalam membantu perdagangan narkoba yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal Islam di Afghanistan dan Pakistan.

Padahal menurut Miraj, justru ISI Pakistanlah yang sebelum Afghanistan diinvasi secara militer oleh Amerika pada 2001 lalu, telah menerapkan kebijakan pelarangan secara keras perdagangan narkoba di negara itu. Dan menutup semua celah yang memungkinkan terjadinya penyelundupan narkoba dari Afghanistan lewat Pakistan menuju kawasan lain di dunia.

Namun Amerika, nampaknya justru punya skema lain. Amerika, Inggris dan NATO justru yang menjadi pelopor kebijakan perlindungan perdagangan narkoba bagi para pihak yang terlibat di Afghanistan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com