Analisis: Bagaimana Kita Harus Menyikapi ACFTA?

Bagikan artikel ini

Rachmat Adhani

Mungkin tidak semua orang ingat, kalau pada 4 November 2002 silam, Pemerintah Republik Indonesia bersama negara ASEAN telah bersedia menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co‐operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China. Melalui perjanjian ASEAN‐China Free Trade Area (ACFTA) ini, maka ASEAN mulai melakukan pasar bebas antara China dan negara-negara ASEAN.

Khusus negara ASEAN‐6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunei) telah mulai menerapkan bea masuk 0% per Januari 2006 untuk beberapa produk berkategori Early Harvest Program. Meski telah dimulai sejak tahun 2006, sebenarnya skema ACFTA ini benar‐benar akan terasa sejak Januari tahun 2010 ini karena sesuai perjanjian ACFTA, tahun 2010 adalah tahap Normal Track diberlakukan, dimana sebagian besar barang impor akan mendapatkan keringanan bea masuk (BM) hingga 0% (bebas bea masuk).

Pada 1 Januari 2010 ini sebanyak 83% dari 8738 produk impor China bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai BM satu rupiah pun. Sedangkan sebanyak 1598 produk China akan mendapat penurunan tarif BM sebesar 5%.

A. Tahapan Penurunan Tarif ACFTA

Ada tiga tahapan dalam implementasi ACFTA ini, yakni Early Harvest Program (EHP) yang efektif dimulai tahun 2006 lalu, Normal Track yang dimulai 1 Januari 2010 ini, serta Sensitive Track yang akan dimulai 1 Januari 2012.

–    EARLY HARVEST PROGRAM (EHP)
Telah dikenakan bea masuk 0% sejak 1 Januari 2006. Produk‐produk terdiri atas hewan hidup, daging & produk daging dikonsumsi, ikan, susu & produk susu (dairy products), tumbuhan, sayuran, buah-buahan & kacang-kacangan. Jumlah Kelompok EHP ini 530 pos tarif (HS 10 digit). Produk‐produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral Indonesia‐China antara lain kopi, minyak kelapa (CPO), cokelat/kakao, barang dari karet, dan perabotan. Jumlah Kelompok EHP ini 47 pos tariff (HS 10 digit)

–    NORMAL TRACK
Bea masuk ditetapkan 0% sejak 1 Januari 2010. Di antaranya produk coal (HS 2701), polycarboxylic acids (HS 2917), wood (HS 4409), kawat tembaga (copper wire ‐ HS 7408) dan sebagian bahan yang terbuat dari kulit binatang. Juga sebagian Tekstil dan Produk Tekstil masuk dalam skema Normal Track ini, terutama pakaian yang terbuat dari serat sintetis dan pakaian dalam.

Sedangkan produk tekstil yang terbuat dari kapas masih dikenai bea masuk antara 5‐15%. Beberapa produk lain yang dibebaskan masuk pada 2010 ini (dari sebelumnya 5% pada 2009) adalah pasta dan sikat gigi, sisir dan jepitan rambut dari besi/alumunium, balpoin/pulpen, pensil dorong/putar, bola lampu, kunci, gembok, hingga peralatan dapur yang terbuat dari besi & stainless steel.

–    SENSITIVE TRACK
Sensitive Track ini dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni SENSITIVE LIST, dimana program penurunan tarif akan dimulai pada 2012. Tarif bea masuk maksimum pada 2012 adalah 20 persen. Mulai 2018, tarif bea masuknya menjadi 0‐5 persen.

Produk‐produk dalam Sensitive List adalah sebesar 304 Pos Tarif (HS 6 digit), yang antara lain terdiri atas barang jadi kulit; tas, dompet; alas kaki: sepatu sports, casual, kulit; kacamata; alat musik: tiup, petik,gesek; mainan: boneka/manekin; alat olahraga; alat tulis; besi dan baja; spare parts; alat angkut; glokasida dan alkaloid nabati; senyawa organik; antibiotik; kaca; barang‐barang plastik.

Bagian kedua adalah HIGHLY SENSITIVE LIST yang dimulai pada 2015, dengan penjadwalan bahwa pada 2015 tarif bea masuk maksimum 50 persen. Produk‐produk dalam Highly Sensitive List adalah sebesar 47 Pos Tarif HS 6 digit), yang antara lain terdiri atas produk pertanian, seperti beras, gula, jagung, dan kedelai; produk industri tekstil dan produk Tekstil; produk otomotif; produk ceramic tableware.

B. Apa Dampaknya Untuk Indonesia?

Mungkin timbul pertanyaan, apa kira‐kira dampaknya terhadap kita? Apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasinya? Hal terpenting bagi kita adalah mencermati dan mencari tahu, produk‐produk barang apa saja yang masuk dalam skema kerjasama pasar bebas ASEAN‐China ini.

Terutama yang masuk dalam skema Normal Track, yaitu barang‐barang yang kini bisa Sensitive Track. Sensitive Track ini dibagi lagi menjadi 2 bagian, yakni: menikmati bea masuk 0% persen sejak 1 januari 2010. Jika kita adalah produsen barang‐barang yang sama dengan barang‐barang impor bebas bea masuk dari China atau Negara ASEAN lain, maka kita harus waspada.

Dengan segala keunggulan komparatifnya, terutama harga yang sangat bersaing, bukan tidak mungkin barang substitusi yang diimpor dari China itu bisa mendominasi pasar dan ‘mematikan’ bisnis produsen lokal. Jika ini terjadi maka ada potensi kebangkrutan yang cukup tinggi pada produsen itu.

Sebagai contoh, pada tahun 2009 produk‐produk seperti balpoin/pulpen, pensil, alat listrik, bola lampu, alat rumah tangga sudah menjamur di Indonesia meski masih dikenakan bea masuk 5%, maka pasca berlakunya ACFTA ini akan sangat mungkin membanjiri pasar Indonesia dan bisa mematikan industri domestik.

Lain halnya jika produsen tersebut hanya berperan dalam bisnis trading, debitur/calon debitur bisa saja mengalihkan supplier-nya. Meski demikian, harus bisa dipastikan bahwa produsen bisa dengan mudah mendapatkan barang substitusinya sehingga bisnisnya tidak terganggu.

Di sisi lain, terdapat peluang bagi eksportir barang Indonesia ke China yang terkena bebas bea masuk, misalnya ekportir kopi, CPO dan kakao. Artinya, pembiayaan ekspor komoditas ini dengan tujuan China punya kesempatan untuk meningkatkan volume bisnisnya.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com