Anatomi Geopolitik Rusuh Massa di Amerika

Bagikan artikel ini

Antifa merupakan akronim dari Anti-Fascist Action. Ia adalah sekumpulan aktivis yang terlibat dalam gerakan anti-kapitalis, berasal dari berbagai ideologi terutama sayap kiri yang meliputi anarkis, sosialis dan komunis bercampur pula dengan beberapa liberal dan sosialis demokrat. Mereka lebih suka melawan sayap kanan jauh dan supremasi kulit putih secara langsung daripada melalui pemilihan umum.

Antifa mengadakan berbagai aksi protes di ranah digital, atau melalui pengrusakan properti, kekerasan fisik dan serangan terhadap orang yang dianggap fasis, rasis dan/atau sayap kanan jauh.

Betapa di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, isu George Floyd di Minneapolis (25/5/2020) yang dicekik Derek Chauvin —polisi federal— hingga mati, bila ditinjau dari perspektif (geo) politik, hanyalah sekedar trigger atau pemantik belaka. Kenapa? Karena selain sikap rasis polisi federal nyaris di semua state kerap overreach (tak sesuai SOP) dalam menangani pelaku kriminal warga kulit hitam. Ini api dalam sekam bagi stabilitas di Amerika (AS). Sedang Antifa sendiri sebagai entitas anti-rasis dan anti-kapitalis memang ada, nyata dan eksis/berada. Logikanya,  tinggal menunggu pemicu maka upaya meluapkan onar serta menyerang kaum kapitalis niscaya menemukan momentum. Inilah yang kini berlangsung masive di beberapa Negara Bagian Amerika.

Pertanyaannya adalah, adakah resonansi –efek saling getar– antara kerusuhan sosial dengan pemilihan presiden (pilpres) yang sebentar lagi digelar di AS?

Jelas. Resonansinya ada, bahkan pilpres itu sendiri dianggap sumber getaran atau epicetrum gerakan. Buktinya mana? Ada beberapa “individu” bermain di belakang Antifa selaku donatur.

Sangat menarik, bahwa di setiap gerakan massa dan/atau kerusuhan sosial dalam skala besar, entah di level global, regional, maupun lokal/nasional, misalnya, selalu ada wayang, ada dalang dan terutama bercokol si pemilik hajatan yang meremot skenario dari balik layar.

Lantas, siapa pemilik hajatan yang meremot Antifa dan mem-framing isu Floyd?

Tak boleh dipungkiri, di internal AS sendiri tengah terjadi konflik dahsyat antara sesama oligarki cq korporasi global —kartel raksasa— yang sudah menegara. Dikatakan menegara, karena daya tawar mereka telah sejajar dengan negara bahkan di atas negara (above the state) karena mampu mempengaruhi kebijakan, mengubah UU dan seterusnya. Inilah yang oleh para penstudi HI dan pembelajar geopolitik disebut “non-state actor” atau aktor non-negara. Dan aktor ini bisa dari kalangan individu seperti George Soros, misalnya, Bill Gates dan seterusnya.

Menurut John Perkins, mereka tak dipilih rakyat tetapi memiliki power yang tidak dibatasi hukum dan UU. Dan mereka berkiprah di antara pemerintah dan bisnis. Lantas, siapa korporasi atau kartel yang tengah bertarung?

Kita mundur sejenak. Sebelum Donald Trump berkuasa, ada program Obama Care yang merupakan tindak lanjut Clintonnomic dimana kebijakan tersebut diback up penuh oleh industri farmasi, IT, kesehatan, asuransi, dan industri inovasi di satu sisi; sedangkan pada era Trump di sisi lain, Obama Care tersisih. Trump menerbitkan American First yang didukung oleh kartel di bidang properti, industri pertahanan, judi dan industri SDA (emas, minyak, gas dan seterusnya). Nah, kedua entitas inilah yang kini tengah sengit bertarung. Kenapa mereka bertarung justru wilayah internal AS sendiri?

Ya. Di era sebelumnya, Obama Care memanjakan korporasi farmasi, kesehatan, asuransi, IT dan lain-lain  yang menyokong kebijakan Obama sehingga mereka super kaya raya.

Tak boleh dielak, Obama adalah presiden produk media sosial, karena di eranya revolusi digital gegap gempita menemukan momentum. Dan di era Obama pula, para kartel dan berbagai korporasi pendukung Obama dibolehkan berekspansi kemana saja serta tidak butuh wilayah (teritori) negara terutama kartel IT, industri inovasi, farmasi dan lain-lain.

Sekali lagi, di era Obama, mereka tidak butuh negara dengan rezim pengikat. Ia dinamai bangsa awan karena istilah di dunia digital disebut “cloud” (awan). Itulah bangsa cloud yang mengabaikan sekat-sekat negara.

Akan tetapi, di era Trump pula — bangsa awan ini harus kembali ke daratan karena kebijakan American First yang pada kampanyenya disebut Make America Great Again. Jadi, ketika Trump mendeklarasi kebijakannya, sudah batang tentu kebijakan tersebut menghatam bangsa cloud dimana mayoritas kapitalnya ditanam di Cina. Maka beserta semua modalnya, mereka dipaksa harus balik ke AS menjadi bangsa darat dan mengikuti aturan rezim.

Siapapun penganut kapitalisme liberal, akumulasi modal adalah karir tertinggi dan puncak kesaktian. Ketika “periuk”-nya dihajar oleh Trump via American First, tentu mereka meradang karena pundi-pundinya tak lagi optimal. Marah dan dendam? Maka kuat diduga inilah para pemilik hajatan yang meremot kerusuhan sosial. Ya. Selain bertujuan mendeligitimasi pemerintahan Trump di tengah krisis akibat pandemi, kemungkinan manuver itu juga berujung pelengseran Trump dari tampuk kekuasaan.

Sampailah pada simpulan tulisan sederhana ini. Simpulan bukan ringkasan tapi ia merupakan hikmah atas hasil pembahasan serta diskusi sebelumnya,  antara lain sebagai berikut:

Pertama, brutalisme polisi di Minneapolis hanya trigger guna memasuki agenda lanjutan yakni kerusuhan sosial meluas bertujuan mendeligitimasi kepemimpinan Trump;

Kedua, dalam setiap kerusuhan berskala besar niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan;

Ketiga, kerusuhan apapun terutama konflik dalam skala luas dipastikan berujung perebutan power serta bermuara pada (geo) ekonomi;

Keempat, setiap tujuan (politik) pasti membawa korban. Dalam hal kerusuhan sosial berskala besar dimanapun termasuk  di AS, biasanya golongan awam (wayang) selalu menjadi tumbal. Itulah yang disebut dengan istilah “tumbal politik”.

Demikianlah adanya. Terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com