Antara AUKUS dan Security Dilemma

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik
Secara geopolitik, berdirinya aliansi kapal selam nuklir antara Australia, United Kingdom dan United State (AUKUS) merupakan isyarat keras, bahwa selain muncul projeksi kekuatan militer di Asia Pasifik, eskalasinya pun mengarah pada pembangunan kekuatan terutama perlombaan senjata nuklir. Inilah ujud security dilemma dengan Asia Pasifik sebagai driving force, faktor penggerak, bahkan daya ungkit.
Mengapa?
Tak boleh dipungkiri, tatanan sistem internasional bercorak anarki. “Anarkisme global”. Setiap negara akan merasa aman bila memiliki kekuatan (militer) seimbang dengan negara-negara sekitarnya. Itu penjelasan umum security dilemma atau dilema keamanan. Faktor pendorong lain, bahwa epicentrum geopolitik di abad 21 memang bergeser (dari Atlantik) ke Asia Pasifik.
Terkait AUKUS, Korea Utara langsung bereaksi melalui kantor berita KCNA, “Ini adalah tindakan sangat tidak diinginkan dan berbahaya yang akan mengganggu keseimbangan strategis di kawasan Asia Pasifik serta memicu rantai perlombaan senjata nuklir”.
Indonesia pun tak kalah sigap, melalui Menlu Retno Marsudi dikeluarkan lima jurus atas terbentuknya AUKUS di kawasan, antara lain:
1. Indonesia mencermati dengan penuh kehati-hatian soal keputusan Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir;
2. Sangat prihatin atas berlanjutnya perlombaan senjata dan projeksi kekuatan militer di kawasan;
3. Menekankan pentingnya komitmen Australia untuk terus memenuhi kewajibannya mengenai non-proliferasi nuklir;
4. Mendorong Australia agar memenuhi kewajibannya untuk menjaga perdamaian, stabilitas dan keamanan di kawasan sesuat Treaty of Amity and Cooperation;
5. Mendorong Australia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk terus mengkedepankan dialog dalam menyelesaikan perbedaan secara damai.
Indonesia menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 dalam menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan.
Sekali lagi, bahwa sistem global cenderung bersifat anarki. Geopolitik mengajarkan, hanya bangsa unggul yang mampu bertahan hidup dan melegitimasi hukum ekspansi. Klop.
Sebelum hybrid war di Ukraina meletus, sempat beredar asumsi bahwa berdirinya AUKUS dalam rangka menghambat gerak laju Cina di satu sisi, kendati tumbuh benih keretakan di internal NATO pada sisi lain.
Kenapa demikian?
Tak lain, akibat kontrak pembelian kapal selam bertenaga diesel antara Australia dan Prancis. Pasalnya, Australia membatalkan secara sepihak terhadap Prancis, lalu beralìh memesan kapal selam bertenaga nuklir ke AS. Tentu Prancis meradang. Dan hubungan para pihak sempat meregang akibat kasus tersebut. Jalinan persekutuan yang terajut dalam NATO pun retak.
Dan seiring berjalannya waktu, isu keretakan di internal NATO kabarnya kembali pulih ketika ada common enemy alias musuh bersama baru yakni Rusia. Isu agak teralihkan. Sudah barang tentu hal itu berkenaan dengan konflik Ukraina.
Hal lainnya, Cina merasa bahwa AUKUS ditujukan untuk menghambat geliatnya di Asia Pasifik. Ia memberi peringatan kepada AS, Inggris dan Australia —anggota AUKUS— agar meninggalkan mentalitas zero sum game yang dinilai usang karena merupakan paradigma Perang Dingin. Zero sum game dianggap implementasi geopolitik yang berpikiran sempit serta seharusnya menghormati aspirasi rakyat regional dan berbuat bagi perdamaian serta stabilitas regional dan pembangunan. Begitu inti peringatan Cina kepada AS.
Dan semakin kemari, meski isu AUKUS melemah namun eskalasi konflik di Ukraina justru meningkat baik dari sisi militer secara proxy maupun nirmiliter melalui perang sanksi. Para pihak yang sebelumnya berseteru soal isu kapal selam, kini lebih fokus pada ‘mainan baru’ di Ukraina yang penuh kejutan, unpredictable, lagi sarat dengan risiko geopolitik.
Sesungguhnya isu AUKUS bukannya mati atau lenyap, hanya terjeda sejenak. Kenapa? Sebagaimana dibahas sepintas tadi —dalam geopolitik— isu tersebut dinamai security dilemma. Sesuatu yang pasti ada, nyata dan berada dalam dinamika geopolitik. Ini selaras dengan dogma global: sivis pacem para bellum. Barang siapa ingin damai, bersiaplah untuk perang. Artinya, seandainya konflik Ukraina usai, konflik baru (berbahan isu AUKUS atau isu lainnya) niscaya akan muncul dengan modus, lokasi, dan model berbeda.
Retorikanya, apakah mungkin konflik Ukraina bakal selesai dalam waktu dekat, sedangkan tabrakan (ego) kepentingan para pihak semakin meluas, kuat dan tajam. Harga diri AS sebagai ‘polisi dunia’ dan superpower di satu sisi, berhadapan dengan Rusia selaku pewaris tunggal kekhaisaran global masa lalu pada sisi lain. Sama-sama ‘keras kepala’ meski akibat konflik telah berdampak buruk pada sistem ekonomi di masing-masing negara, bahkan krisis ekonomi sudah merambah di pelbagai belahan bumi.
Pertanyaan menarik muncul, “Apakah hybrid war di Ukraina bisa memicu serta menimbulkan Perang Dunia III?”
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com