Antara BRICS, Executive Order, Dan Antisipasi Indonesia

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik
Di abad 21 ini, selain terjadi pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik, tampaknya juga berlangsung pergeseran konsep dan paradigma politik global, khususnya diksi “kiri” dan/atau “kanan”. Kalau dulu, (ekstrim) kiri itu identik dengan sosialis, komunisme dan seterusnya, dan (ekstrim) kanan ialah golongan kanan alias kelompok radikalis berbasis agama, sekte, dan lain-lain.
Namun, pada perempat abad 21 ini, terutama di level (geo) politik global, pemaknaan diksi “kiri dan kanan” tadi berubah signifikan. Artinya, kalau faham kiri tidak lagi menyoal tentang komunis, sosialis dan seterusnya; atau, kanan bukan lagi bermakna (radikalis) agama serta ideologi semata, tetapi lebih mengarah kepada konsep dan paradigma dalam peradaban, misalnya, diksi kiri sekarang identik dengan ultra liberalis atau kerap disebut dengan istilah globalis cabal, sementara diksi kanan tidak lagi menyoal agama, namun lebih condong ke nasionalis atau konsevatif tradisional, bahkan ultra nasionalis.
Make America Great Again (MAGA) ala Donald Trump contohnya, ia terbidani oleh konsep kanan versi baru. “Nasionalisme Amerika”. America First!
Maka dalam beberapa momen, justru antara Putin dan Trump terlihat seia-sekata, kendati di lapangan (Perang Ukraina) misalnya, kedua adidaya (Rusia dan Amerika) saling bertempur, kenapa? Bahwa Putin dan Trump terindikasi beraliran “kanan baru” yakni (ultra) nasionalisme. Mereka berdua memiliki kesamaan pandangan dalam menyikapi realitas geopolitik.
Pada gilirannya, warna “kanan” ala Trump mendominasi Executive Orders yang ditekennya pasca pelantikan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47. “Dunia heboh”. Terutama kelompok negara yang selama ini berseberangan dengan AS (seperti BRICS, CSO dan lain-lain). Siap-siap dikenakan kenaikan tarif 100%. Perang dagang jilid II akan dimulai dalam skala lebih luas. Ya. Kalau dulu, perang dagang hanya antara AS versus Cina saja, sekarang AS melawan anggota BRICS termasuk Indonesia di dalamnya, dimana salah satu program BRICS yang membuat Paman Sam “marah” ialah dedolarisasi. Tinggalkan mata uang US$ di setiap transaksi apapun di internal anggota BRICS.
Pertanyaan menarik muncul, “Bagaimana antisipasi Indonesia menghadapi Executive Order ala Trump khususnya poin kenaikan tarif 100% bagi anggota BRICS?”
Beberapa langkah sebagai opsi contohnya:
1. Secepatnya (sebelum 120 hari setelah Executive Orders diteken), Indonesia harus mengirim delegasi/tim (minimal) ke lima negara —semacam studi banding— yang sedang dan pernah disanksi oleh AS seperti Rusia, Cina, Iran, Korea Utara, Venezuela dan lainnya;
2. Pada lima negara di atas, diajukan tiga pertanyaan saja: 1) jenis sanksi apa yang dikenakan; 2) bagaimana cara mengatasi; 3) dalam menyiasati sanksi dimaksud, siapa saja kawan yang bisa membantu?
Nah, dari hasil “studi banding” di atas, perlu dirumuskan cara bertindak yang jitu dan bagaimana seharusnya politik luar negeri kita dijalankan guna menghadapi perang tarif dan dagang yang sudah dideklarasikan oleh AS melalui Executive Orders. Salah satu contoh misalnya, kembangkan diversifikasi target (pasar) kawasan di dalam keanggotaan BRICS itu sendiri, mengapa? Sebab, pasar ekspor selama ini belum merambah ke Timur Tengah, ke Afrika, ke Amerika Latin, ke Eropa Timur, dan lainnya. Ya, selama ini — 80-an persen ekspor Indonesia baru merambah ke Cina, ASEAN, Eropa, AS, Jepang, dan lain-lain. Dunia terlihat terlalu sempit untuk Indonesia yang berlimpah sumber daya. Perlu pemberdayaan kawan dagang di segala sektor.
Tanpa persiapan yang konseptual, kita bakal tergilas oleh imperialis gaya baru (modern) yang definisinya kini berkembang, yaitu:
The best way to keep a prisoner from escaping is to make sure he never knows he’s in prison“.
Terjemahan bebasnya ialah, “Cara terbaik untuk mencegah seorang tahanan melarikan diri adalah dengan memastikan dia tak pernah tahu bahwa dia berada dalam penjara“.
Di Bumi Petiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com