Antara Candu dan Kebodohan Berkala

Bagikan artikel ini
Sesi Belajar Sejarah
Membaca sejarah jangan cuma menghapal waktu peristiwa, siapa pelaku, bagaimana terjadi dan seterusnya. Akan tetapi, membaca sejarah — seyogianya belajar tentang kearifannya serta menarik benang kronologis agar dapat diambil poin-poin bijak di masa lalu. Menghimati latar kejadian, misalnya, atau mengambil nilai-nilai peristiwa, ataupun memprakirakan dampak jangka panjang atas peristiwa tersebut dan seterusnya. Nah, hal-hal tersebut bisa dijadikan rujukan keputusan yang efektif baik di masa kini maupun di masa depan. Jadi, ora grusa-grusu.
Kenapa demikian, ungkapan tua menyatakan: “History repeats itself.” Sejarah berulang dengan sendirinya melalui pola yang sama — hanya waktu, aktor dan kemasan yang berbeda. Poin intinya, sejarah itu pola hidup (dan peristiwa) yang niscaya berulang.
Dalam ilmu negara —geopolitik— Bung Karno (BK) pun mendudukkan sejarah sebagai aspek utama, selain dua aspek penting lain yakni budaya dan filosofi.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kearifan sejarah di atas? Memang belum ada definisi yang bersifat text book. Penulis mencoba usulkan, bahwa kearifan sejarah ialah hikmah yang dapat dipetik pada komprehesif peristiwa dan dimanfaatkan bagi masa kini dan masa depan. Itu singkat cerita. Silahkan kembangkan sesuai maqom masing-masing.
Meminjam istilah Bung Karno (BK): “jangan melupakan sejarah (Jas merah)”, agaknya nasehat tersebut menebalkan pepatah lama: ‘agar orang jangan masuk lobang yang sama (dalam sehari)’. Kenapa? Mengulangi kesalahan masa lalu ibarat kebodohan berkala. Sekali lagi, mengulang kesalahan itu identik dengan kebodohan berkala!
Diyakini bersama, bahwa sejarah Adam dan Hawa ketika ‘keluar’ dari surga akibat bujuk rayu serta tipuan iblis, akhirnya membidani apa yang sekarang disebut: “halal dan haram”. Itu sejarah tertua manusia. Ya. Seandainya dulu tetap tinggal di surga, mungkin tidak ada istilah haram bagi Bani Adam dan turunannya kecuali khuldi. Sekali lagi, inilah sejarah tertua yang mutlak dijadikan epicentrum bagi organisme apapun yang hidup, berkembang, menyusut dan mati.
Pertanyaannya: “Adakah poin kearifan yang dapat dipetik dari sejarah Adam Hawa di surga?”
Sangat banyak. Tetapi, pada tulisan ini hanya beberapa hal saja, antara lain:
1. bahwa janji di awal yang terlihat nikmat/bujuk rayu iblis, sejatinya merupakan jebakan;
2. ada tipu daya serta narasi penyesalan sebelum dan setelah peristiwa terjadi;
3. keputusan yang salah di awal akan berdampak (kesengsaraan) relatif panjang.
Itulah poin pokok yang dapat dipetik, meski masih banyak hal lain yang masih bisa dipetik, misalnya, ketika iblis menjelma jadi malaikat saat merayu Adam, di era kini, modus itu kini sejenis ‘pencitraan’ iblis di hadapan manusia; atau, Adam terlalu percaya kepada sosok yang baru dikenal, sedang ia tak paham asal – usulnya; atau, keputusan Adam hanya berdasarkan persepsi semata, bukan petunjuk-Nya dan lain-lain.
Balik ke dunia nyata. Sekarang membahas sejarah dalam koridor geopolitik kawasan.
Pertanyaannya ialah: “Adakah yang kita hikmati pada peristiwa Perang Candu di Cina, misalnya, atau sejarah terpinggirnya Aborigin di Australia, atau sejarah tersingkirnya suku Indian di Amerika?”
Ada beberapa hal yang mutlak diwaspadai:
1. ketika Cina mengizinkan perdagangan/investasi candu kepada Inggris, ini mirip bujuk rayu iblis terhadap Adam dimana maraknya candu di Cina akhirnya malah ‘membunuh’ satu generasi (lost generation);
2. maraknya candu mengakibatkan kehancuran moral, lemahnya mental, tipisnya semangat patriotisme dan jiwa juang serta rendahnya nasionalisme sebuah bangsa;
3. candu merupakan sarana termurah merusak bangsa;
4. demikian pula dengan sejarah terpinggirnya bangsa Aborigin dan suku Indian di tanah leluhurnya akibat faktor maraknya minuman keras (miras) di kedua entitas, sedang isu miras tersebut merupakan cipta kondisi (siasat) oleh kaum imigran alias pendatang agar pribumi tak memiliki daya juang dan tak punya daya lawan —teler—terhadap kolonisasi di negerinya.
Seandainya dulu tanpa miras, belum tentu Amerika dan Australia mampu sebesar seperti sekarang ini karena pasti akan ada perlawanan signifikan dari pribumi, kaum pemilik tanah.
Hal lain, bahwa investasi dan budaya adalah dua diksi yang boleh disandingkan namun tidak bisa disatukan dalam satu kebijakan. Mengapa begitu, investasi itu soal materi, profit, untung rugi dan seterusnya, sedang budaya atau kearifan lokal tentang nilai-nilai. Keduanya berbeda dimensi. Memaksakan dua unsur beda dimensi dalam satu tarikan napas maka ibarat menyatukan minyak dan air. Selain tak mungkin menyatu, juga pekerjaan sia – sia.
Terakhir, apapun narasinya — bahwa miras, narkoba dan candu adalah SARANA TERMURAH merusak bangsa.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com