Catatan Kecil Geopolitik
Ada gegap pertanyaan di publik, “Kenapa Tony Blair duduk sebagai Dewan Penasehat dalam struktur Ibu Kota Negara (IKN)?”
Lalu, dugaan-dugaan liar pun bertabur di langit Ibu Pertiwi mengikuti aneka persepsi. Padahal, sebagian publik kadung apriori bahwa kutub kepentingan Cina sangat kental atas isu kepindahan IKN ke Kalimantan. Isu tersebut bukan sekedar kepentingan bisnis, atau cuma projek infrastruktur IKN semata, bahwa aroma (geo) politik justru menyengat menuju konstelasi geopolitik global di abad 21.
Konon. Tony Blair, PM Inggris pada masanya, (disinyalir) adalah anggota “The 48 Group Club”, yaitu jaringan pengaruh politik dan bisnis Cina yang berada di London.
Kalau di Amerika Serikat (AS), group itu disebut “Committee 100”. Ia sebangun dengan group club (The 48) di atas, namun jaringan pengaruh ini (Committee 100) ada di AS.
Tabir ini disingkap oleh Clive Hamilton dan Mareike Ohlberg dalam buku Hidden Hand: Exposing How the Chinese Communist Party is Reshaping the World (2020). Ya. Hidden Hand merupakan kelanjutan buku Silent Invasion (2018) —juga karya Hamilton— yang mengupas upaya sistematis Cina memperluas jaringan spionase di Australia.
(Mungkin) duduknya Blair di IKN karena latar belakang tadi. Ia dinilai piawai merajut kutub dan kepentingan beberapa negara, contohnya, kutub Israel via Uni Emirat Arab (UEA) pada satu sisi, dirangkai dengan kutub Cina di sisi lain. Asumsi ini mulai terkuak meski remang. Dan setidaknya, uraian sekilas ini bisa menjawab prematur atas pertanyaan publik, kenapa Blair ada di struktur IKN.
Wajar bila beredar rumor bahwa sebagian budget IKN dibiayai oleh UEA (bukan Cina). Salah satu alasan, mungkin hasil rajutan Blair terhadap beberapa negara yang terlibat di IKN.
Peran Blair (sepertinya) sebatas linking pin alias pasak penghubung. Tetapi, sebagai bagian jaringan pengaruh politik dan bisnis Cina di London (The 48 Group Club), langkah Blair layak dicermati karena diyakini membawa hidden agenda beberapa negara yang terlibat dalam IKN.
Entah kepentingan Israel melalui UEA, atau agenda tersembunyi Cina, maupun misi gelap Inggris sendiri. Ini hipotesis.
Sekali lagi, isu IKN bukan hanya bisnis oriented, tidak cuma projek semata, justru atmosfir geopolitik terasa sangat kental.
Kenapa dan faktor apa?
Sebenarnya banyak hal jika diurai semua. Pada catatan kecil ini, hanya mengulas dua faktor berurgensi tinggi karena menyangkut geopolitik dan kedaulatan Indonesia, antara lain:
Pertama, faktor geoposisi silang —ini posisi strategis— di antara dua benua dan dua samudra. Menurut Alfred T. Mahan, ahli sejarah sekaligus pakar kelautan AS, bahwa Indonesia memiliki daya tawar tinggi di panggung global karena faktor geoposisi. Tinggal bagaimana keberdayaan serta pemberdayaan geoposisi silang tersebut;
Kedua, sebagai lintasan Sea Lane of Communication (SLoC), sebuah jalur pelayaran yang tak kunjung sepi sebab hampir 50% lebih pelayaran dunia melintas di perairan Indonesia.
Secara tadabur alam, hakiki Indonesia itu epicentrum global. Titik pusat. Tetapi, banyak menganggap sepele dan abai (sejarah) geopolitik. Coba, sekali-sekali lakukan ‘cek ombak’. Tutup salah satu selatnya untuk latihan gabungan TNI-Polri guna memerangi teroris, atau latihan cegah illegal fishing, ataupun alasan lain karena Kepentingan Nasional dalam ancaman, misalnya, lalu silakan cermati respon global terutama negeri di sekitar Indonesia serta reaksi entitas yang memiliki kepentingan terhadap perairan Indonesia (akibat cek ombak).
Menurut geopolitik, ada tujuh selat strategis (ada yang bilang sembilan) di dunia, di mana empat selatnya berada di Indonesia meliputi Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar. Keempatnya adalah takdir geopolitik Indonesia, meskipun hingga kini belum diberdayakan secara optimal.
Tren terkini. Konsekuensi logis atas isu lingkungan strategis di kawasan, muncullah sebuah pra-anggapan:
“Seandainya terjadi friksi terbuka secara militer antara Cina melawan AS di Laut China Selatan (LCS)”
Maka, sudah bisa dipastikan bahwa perairan Indonesia terutama Selat Sunda dan Selat Lombok akan menerima limpahan arus pelayaran dunia yang tersumbat di LCS akibat konflik terbuka. Otomatis, kedua selat —Sunda dan Lombok— menjadi choking shiping in the world, selat tersibuk karena arus pelayaran pasti mencari jalur bebas konflik, dan pilihan pelayaran ialah selat-selat serta perairan Indonesia. Ini analisis geopolitik.
Itulah kenapa, Presiden Xi Jinping berharap kepada Presiden Jokowi agar pembangunan Indonesia diselaraskan dengan Belt and Road Initiative (BRI), khususnya di bidang energi baru, ekonomi digital dan kerja sama maritim.
Dari perspektif geopolitik, gagasan Xi Jinping soal kerja sama maritim dengan Indonesia dinilai cerdik, strategis lagi visioner karena berbasis mapping dan isu geopolitik terkini.
Mengapa?
Seandainya kelak benar-benar terjalin kerja sama maritim, Cina pun akan turut menikmati “potensi pasar” berupa limpahan arus pelayaran global yang melintas di perairan Indonesia. Inilah geopolitical chokepoints.
Bila diberdayakan, ia bisa berubah menjadi ‘senjata geopolitik’ yang super dahsyat di panggung global.
Dan sudah saatnya, kita mengelola takdir geopolitik secara mandiri, profesional serta proporsional demi Kepentingan Nasional. Jangan seperti kedaulatan udara di wilayah Riau dan Natuna yang masih didelegasikan ke Singapura sejak dulu.
Ya. Kapal-kapal luar yang melintas di perairan Indonesia, jangan cuma buang limbah atau sekadar numpang lewat saja.
Maka, untuk hari esok dan demi anak cucu, seyogianya Indonesia mulai menyiapkan secara seksama konsepsi keberdayaan dan pemberdayaan selat-selatnya di tengah gemuruh pra-anggapan friksi militer antara AS versus Cina di LCS.
Tidak ada kata terlambat. Demikian adanya.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)