Antara Kepentingan dan Loyalitas Dalam Geopolitik

Bagikan artikel ini
Cerpen Hegemoni AS di Tubuh NATO
Kendati ada pembangunan fisik secara gegap gempita di daerah oleh (pemerintah) pusat, sering kali loyalitasnya tidak berbanding lurus dengan harapan pusat. Mungkin dianggap oleh daerah sebagai kewajiban. Tetapi, ini sebatas asumsi. Perlu diuji.
Timor Timur (Tim-Tim) misalnya, provinsi termuda dulu merupakan contoh riil atas praktik loyalitas dan kepentingan dalam geopolitik. Setelah sekian tahun (oleh pusat) digebyarkan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan bidang lainnya, namun tatkala digelar jajak pendapat —di luar intervensi asing— hasilnya toch memilih berpisah dengan NKRI. Sayonara Tim-Tim.
Tampaknya, narasi Papua pun seperti mau mengulang cerita kelam Tim-Tim. Ya. Setelah triliun rupiah digelontor pusat melalui skema otonomi khusus (otsus), isu yang mencuat hampir di setiap kerusuhan Papua justru minta referendum. Ingin pisah dari NKRI. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah dana otsus tidak dirasakan warga Papua karena faktor korupsi, atau akibat propaganda asing?
Nah, dua kasus di atas (Papua dan ex Tim-Tim) merupakan bukti nyata atas praktik geopolitik, bahwa pembangunan oleh pusat di daerah tidak berbanding lurus dengan loyalitasnya kepada negara induk/pusat.
Dengan demikian, dalam konstelasi geopolitik — nyaris tidak ada loyalitas tetapi semata-mata faktor kepentingan. Hal ini sesuai adagium di dunia politik: ‘Tidak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan’.
Simpulan awalnya, bahwa pusat harus menciptakan loyalitas daerah melalui kepentingan yang digelontor ke daerah. Kudu diciptakan (kesinambungan) ketergantungan daerah terhadap pusat. Entah apa ujudnya nanti, tergantung kreativitas perumus kebijakan di pusat.
Konflik lokal ialah bagian dari konflik global. Ya. Meski adagium dimaksud sebatas asumsi, namun kerap terbukti di panggung global. Kerap kali, konflik lokal tidak berdiri sendiri, namun terintegrasi dengan konflik global. Maka muncul istilah proxy war, yaitu perang perwalian alias konflik perpanjangan (tangan) antaradidaya namun melalui proxy agents dengan memilih medan tempur di negara lain atau pihak ketiga. Konflik Myanmar misalnya, atau Syria, dan seterusnya adalah contoh dari proxy war.
Perang hanyalah agenda. Semua jenis perang, skema (tujuan)-nya ialah meraih geoekonomi yang meliputi water, food and energy security. Jaminan pasokan atas air, pangan dan energi di sebuah negara. Inilah kepentingan yang kerap dikemas dalam terminologi: ‘Kepentingan Nasional’ oleh para pihak. Muncul pertanyaan filosofi, “Kepentingan Nasional tersebut, itu kepentingan rakyat atau kepentingan para elit dan kaum oligarki?” Simpan dulu jawabannya agar cerpen ini dapat dilanjutkan.
Melambung ke konfik Ukraina beserta perang ikutan yakni saling sanksi antara Rusia versus North Atlantic Treaty Organization (NATO) pimpinan Amerika Serikat (AS). Bila tanpa support NATO dan AS, peperangan antara Rusia versus Ukraina mungkin bisa diselesaikan dalam hitungan bulan atau bahkan minggu. Oleh karena secara profesionalitas, jumlah pasukan, dan teknologi perang — Ukraina kalah jauh dibanding Rusia. Secara (teori) perang modern pun begitu. Kalah jumlah pasukan serta kalah canggih mesin perang, identik dengan kalah perang.
Sejak Rusia meng-‘invasi Ukraina’ (operasi militer khusus) tanggal 24 Februari 2022 hingga kini, belum terlìhat tanda-tanda usai. Eskalasi konflik cenderung meningkat baik secara militer maupun nirmiliter (sanksi), bahkan mengarah pada perang nuklir.
Dampak konflik Ukraina khususnya akibat perang sanksi, loyalitas Uni Eropa (UE) dan para sekutu AS mulai ‘memudar’. Kenapa? Belanda misalnya, ia mulai ‘merapat’ ke Rusia untuk merelaksasi perang sanksi. Jepang juga. Tetapi, ia melingkar lewat ‘mak comblang’ Cina. Mungkin Jepang agak ewuh-pekewuh dengan AS jadi melalui Cina, sekutu dekat Rusia.

Mengapa?
Sekali lagi, dalam geopolitik tidak ada loyalitas abadi melainkan kepentingan (nasional) yang abadi. Kepentingan nasional ialah kepentingan keamanan dan kesejahteraan, dimana intinya adalah jaminan pasokan atas pangan dan energi. Siapa akan menjamin masyarakat UE tak kelaparan dan tidak kedinginan saat musim dingin jika tanpa supply gas serta pasokan biji-bijian dari Rusia dan Ukraina?
Barangkali, langkah creative destruction (terobosan merusak) ala Mark Rutter, PM Belanda bakal menimbulkan gelombang imitasi di tubuh NATO. Mungkin bakal ditiru oleh negara-negara lain. Jika tidak, di musim dingin nanti UE bisa berubah menjadi ‘musim undur diri’ para PM karena tak mampu mengantisipasi krisis energi dan pangan, atau UE akan menjadi kanibal?
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com