Renungan Minggu, 211018
Siapapun tahu, bahwa Fir’aun adalah raja diraja di eranya. Kala itu, ia raja tanpa tanding bahkan menganggap dirinya sebagai tuhan sampai disembah oleh para pemujanya. Logika politik saat itu, tidak bakal ada kekuatan yang mampu menumbangkan Fir’aun. Namun siapa sangka, di ujung (hidup) karirnya —ketika sedang mempersekusi Musa— ia dan pasukan elitnya justru ditelan ombak hingga ke dasar lautan, tenggelam bersama kekuasaannya.
Nah, dari kisah di Al Qur’an tadi, saya sangat yakin, balada itu bukanlah sekedar narasi lazim layaknya dongeng untuk anak cucu, tetapi niscaya ada hikmah filosofi bagi umat manusia sesudahnya karena ditulis oleh-Nya. Inilah yang perlu digali dan dikaji lebih dalam.
Suatu ketika, di depan Ki Joko Umbaran, saya memaparkan makna pengejaran Fir’aun terhadap Musa, sesungguhnya narasi itu cuma sebuah analogi kehidupan manusia yang kelak terulang kembali. History repeat itself. Sejarah berulang kendati aktor, masa dan kemasannya berbeda.
Ya di depan Joko Umbaran kumaknai bahwa pengejaran Musa ialah analogi tentang “kesulitan hidup tingkat tinggi” bagi manusia karena menyangkut hidup dan mati. Akan tetapi, narasi itu mengandung pesan bahwa persoalan hidup sepelik apapun yang dialami manusia niscaya dapat terselesaikan karena faktor “lautan.” Disitu —masih di depan Joko Umbaran— kujelaskan bahwa lautan adalah ujud keluasan wawasan dan kemampuan olah pikir manusia. Rujukannya local wisdom leluhur yang berbasis salah satu ajaran “dua belas mata air”-nya Musa: “Wong urip iku kudu banyu segoro, jembar atine jembar pikirane, luas koyo segoro.”
Poin yang ingin dipetik, bahwa hanya dengan kemampuan pikir dan keluasan wawasan, manusia akan mampu menyelesaikan setiap problema yang muncul di antara manusia itu sendiri. Mendengar analogi tersebut, seperti biasa Ki Joko Umbaran cuma mantuk-mantuk. Beliau tidak mau menyela, tidak memotong ataupun tak menyalahkan tafsiran orang lain, apalagi itu tafsiran orang yang bersilahturahmi. Ingin ngunduh hikmah.
Lalu dengan suara rendah, Ki Umbaran berkata kepadaku, “Ngene le, bahwa hakiki lautan yang menenggelamkan Fir’aun itu maknanya adalah hukum, kalau keluasan wawasan dan kemampuan olah pikir itu baru mendekati hakiki. Tak salah, namun masih belum benar,” pungkas Joko Umbaran. Saya tercenung dengan jawaban Ki Umbaran. Antara yakin dan tidak, antara sepakat dan tidak. Kok hukum? Bukankah hukum (syariat) itu kulit luar? Tetapi kebimbangan atas jawaban tersebut kusimpan dalam hati. Memang butuh komtemplasi untuk mengurai sebuah hakikat.
Dan agaknya, setelah waktu demi waktu berlalu, pembelajaran Ki Umbaran beberapa tahun lalu terbukti nyata, bahkan melintas jelas di depan publik. Ya bahwa hukum memang mampu mengalahkan kekuasaan lalim yang besar justru di tengah-tengah pusaran adagium yang cenderung pesimistik, seperti contohnya: “Hukum itu tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas”, atau ungkapan lainnya: “Hukum ibarat jaring laba-laba, hanya menjerat yang kecil-kecil, yang besar justru merusaknya,” dan lain-lain. Akan tetapi, bukankah ada pula adagium optimistik, “Meskipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan?”
Sekali lagi, penjelasan Ki Joko Umbaran kini terbukti nyata. Bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta yang diback up kekuatan besar serta digagas semenjak Orde Baru pun, jadi bukan sekedar proyek ecek-ecek, bahkan ketika hampir separuh proyek berjalan pun ternyata dapat dihentikan serta dicabut izinnya karena menyalahi aturan, cacat hukum, dan seterusnya. Atau ketika raksasa Lippo Group yang membangun proyek (mercusuar) Meikarta pun terancam bubar karena melanggar hukum, belum ada izin dan lain-lain.
Membandingkan kisah Fir’aun atau Musa dengan cerita tentang pulau reklamasi atau Meikarta memang terkesan tidak apple to apple. Kurang senafas. Tidak sebanding. Mungkin yang pas menganalogikan dengan jatuhnya Hitler, Marcos atau lengsernya rezim Orde Baru, dan seterusnya. Sekali lagi, pesan yang ingin tersampaikan, bahwa dalam kehidupan manusia itu hukum mampu menggulung kekuatan sebesar apapun. Entah itu hukum adat, hukum (positif) negara, hukum alam, hukum agama dan lain-lain.
Karena itu, janganlah bermain-main dengan hukum karena bila tidak kuat bakal tergulung oleh hukum itu sendiri sebagaimana Fir’aun digulung ombak, ditelan oleh lautan. Learning point yang ingin diambil adalah bahwa lautan merupakan narasi hukum yang diam. Dan dua pertiga wilayah bumi ini ialah hamparan lautan tak bertepi lagi penuh misteri.
Jadi, sejatinya hidup serta kehidupan manusia itu dikelilingi oleh hukum baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Sampun