Antara Penjahat dan Proxy Agent di Level Strategis

Bagikan artikel ini

Kontemplasi Kecil Geopolitik di Tengah Terpaan Covid-19

Geopolitik mengajarkan, apabila sebuah negara sudah memiliki ketergantungan (sektor apapun) terhadap negara lain, maka hal itu akan berbanding lurus dengan pelemahan kedaulatan negara tersebut. Istilahnya, “Geopolitiknya sudah tergerus!” Terutama sekali ketergantungan dalam hal pangan, air dan energi. Food, water and energy security.

Jadi, mapping (postur) geopolitik suatu negara seyogianya dimulai dari anatomi dan breakdown atas tiga aspek (pangan, air dan energi) tadi. Sejauh mana negara mampu mencukupi kebutuhan warganya, dan berapa persen ketergantungan terhadap negara lain?

Itulah cara sederhana guna mengukur Ketahanan Nasional sebuah bangsa dan/atau negara, meski di Lemhannas RI memiliki alat canggih untuk mengukur Ketahanan Nasional.

Amerika misalnya, tatkala produksi minyak dalam negeri hanya mampu memenuhi 40% bagi rakyatnya sedang 60% berasal dari impor, itu bermakna bahwa kedaulatan Amerika agak lemah karena sudah tergantung dengan negara lain serta geopolitiknya telah tergerus. Kenapa? Karena impor itu sendiri sudah menggerus devisa negara.

Di sini muncul apa yang disebut dengan istilah (geo) strategi. Apa itu? Tak lain ialah cara dan upaya dari negara cq pemerintahan dalam rangka memenuhi kekurangan sektor/aspek dari negara dimaksud. Entah melalui impor —ini yang lazim— atau melalui peperangan, ekspansi militer atau secara nonmiliter untuk meraih sumber daya yang diinginkan; ataupun melalui kerjasama dan investasi.

Nah, tujuan dan pencapain kekurangan kebutuhan negara melalui geostrategi tersebut, istilahnya (geo) ekonomi. Dan kerap, geoekonomi selalu dikaitkan dengan food, water and energi meski di bawah abad ke-20 istilahnya untuk geoekonomi adalah rempah-rempah.

Jadi urutan atau tahapan langkah strategis adalah geopolitik – geostrategi dan geoekonomi. Jangan terbolak-balik.

Ketika berkembang istilah “realitas kembar” pada kajian atau telaah geopolitik, maksudnya adalah, bahwa geopolitik itu identik dengan geoekonomi. “Realitas kembar.” Itu hanya penjelasan singkat, bahwa langkah geopolitik sebuah negara manapun seharusnya/niscaya akan berujung geoekonomi. Tak bukan.

Jadi, dari perspektif geopolitik — sesungguhnya tidak ada perang agama, atau tak ada konflik antarmazab dalam agama, ataupun konflik antarsuku, ras dan golongan melainkan semua karena faktor geoekonomi. Peperangan atau konflik apapun sifatnya hanya geostrategi. Atau dalam pola perang asimetris/nirmiliter disebut: TEMA atau AGENDA yaitu suatu tahapan setelah ISU ditebar ke publik, tetapi sebelum SKEMA ditancapkan oleh pemilik hajatan.

Untuk sekedar ilustrasi, jangankan konflik di level global, bahkan konflik lokal di Ambon dan Sampit yang digebyarkan sebagai konflik antaragama dan perang suku, ternyata semua karena faktor geoekonomi.

Kembali ke prolog tulisan bahwa ketergantungan akan berbanding lurus dengan kedaulatan, pertanyaan yang muncul adalah: “Bagaimana dengan negara yang berlimpah pangan tetapi malah impor pangan; lebìh aneh lagi justru impor dilakukan disaat petani lagi panen raya?” Ini contoh dalam hal pangan. Belum sektor lain seperti minyak, ikan, garam dan seterusnya yang berlimpah ruah.

Jawaban pertanyaan di atas berputar-putar di antara tiga hal, antara lain:

Pertama, pejabat tersebut kurang memahami geopolitik; atau

Kedua, itu penjahat yang mengangkat diri menjadi pejabat karena motifnya cuma ingin mengutip fee impor dengan menghancurkan petani; dan/atau

Ketiga, mereka bagian dari proxy agent yang ditanam oleh asing guna melemahkan kedaulatan negara justru di negeri tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Bagaimana menurut Anda?

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com