Antara Politik Glamaour, Amandemen UUD 1945 dan Pemilik Pemodal

Bagikan artikel ini

Dialog Duo Sahabat tentang Isu Jilbab Bali – Padang

Apakah “Politik Glamour” itu? Politik glamour adalah praktik perpolitikan yang terlihat mewah (dan gaduh) di atas permukaan, tetapi tidak menyentuh sama sekali kepada Kepentingan Nasional RI (KENARI).

Lalu, apa KENARI itu? Ya. KENARI adalah kepentingan keamanan, ini contoh “kulit”-nya —silahkan breakdown unsur di bawah kulit— atau kepentingan pencerdasan bangsa, dan yang paling utama ialah kepentingan kesejahteraan bagi bangsa (Indonesia). Demikian poin inti tentang Politik Glamour dan KENARI.

Dalam diskusi ini, geopolitik memberi tips kecil, bahwa kepentingan nasional suatu negara di satu sisi, kerap kali menjadi ancaman bagi negara lain di sisi sebelah. Itulah ‘seni geopolitik.’ Hal yang nyata (reality) dan berada (existance).

Retorikanya begini: “Bagaimana mendesain kepentingan nasional agar ia tidak terlihat sebagai ancaman bagi negara lain?”

Sebenarnya seni (geo) politik ini sudah lama dimainkan oleh para adidaya secara senyap di Bumi Pertiwi. Buktinya mana? Ada. 1 banyak anak bangsa malah jatuh cinta kepada kaum kolonial yang hendak merampas kehidupannya; 2 praktik seni (geopolitik) ini membidani apa yang disebut dengan istilah “komprador”, pengkhinat bangsa berbaju elit politik.

Dan tampaknya, empat kali perubahan UUD 1945 (1999-2002) di republik tercinta ini, hakikatnya ialah perampasan atau pengalihan kedaulatan dari tangan rakyat secara senyap ke para pemilik modal (kuat) dalam dinamika berbangsa dan bernegara, celoteh Pak Burhan pada suatu pagi yang muram di “tahun angin api”.

Adakah epicentrum atau titik gempa atas kegaduhan sosial politik selama ini? Tanya Pak Rosyidi, sobatnya. “Ada! Tak lain,” lanjut Pak Burhan, salah satu penyebabnya ialah tarik-menarik kepentingan antara pemodal kuat; begitu poin pokoknya.

Jadi? Posisi para elit politik dan partai hanya sebagai proxi para pemodal. Ini sungguh menyedihkan. Artinya, apabila terdapat gejala, muncul energi atau semacam benih-benih kebangkitan dari rakyat untuk berupaya mengambil kembali kedaulatannya yang dirampas oleh para pemilik modal, maka dipastikan dengan/akan muncul berbagai isu, beragam dalih, bahkan trik-trik untuk melemahkan “energi” tersebut — dihancurkan, atau dibelokkan ke arah lain, contohnya, bisa diubah menjadi sebuah konflik sosial —atau minimal kegaduhan— yang bersifat horizontal. Konflik antarwarga atau nitizen.

Nah, kegaduhan hilir atau isu residu seperti halnya pro-kontra pemakaian jilbab di Padang dan Bali, ini misal. Ya, kegaduhan di dua daerah yang kental local wisdom di atas tercium sebagai by design bermenu sektarian melalui bumbu kearifan lokal. Tampaknya, itu bagian dari agenda pembelokkan “energi” tadi.

Adakah sumber lain yang dinilai sebagai epicentrum kegaduhan selain empat kali amandemen UUD 1945? Tanya Pak Rosyidi di ujung dialog. Ada, jawab Pak Burhan, yaitu kejahatan keuangan yang mengakumulasi ribuan triliun rupiah sebagai aset ilegal dalam rekening ilegal milik WNI di bank seantero dunia. Intinya, kejahatan di atas menekan pemberdayaan serta menghalangi keberdayaan rakyat secara sosial, politik dan ekonomi. Sampai hari ini? Ya hingga detik ini, ujar Pak Bur mengakhiri dialog pagi di “tahun angin api”.

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com