Antara Radikalisme dan Stigma Bergerak

Bagikan artikel ini
Sebuah Narasi Geopolitik
Dari perspektif geopolitik, terdapat narasi lain tentang radikalisme yang kini gaduh lagi marak di publik. Entah maraknya pada isu lokal/nasional, regional maupun radikalisme sebagai isu global.
Bahwa radikalisme di tingkat lokal dan regional, misalnya, hanyalah dampak dari isu global. Kenapa demikian? Kredo geopolitik menyatakan, bahwa konflik lokal adalah bagian dari sebuah konflik global.
Rujukan akademis yang agak pas guna memotret fenomena tersebut barangkali adalah “butterfly effect theory“-nya Edward Norton, bahwa kepakan sayap kupu-kupu di rimba belantara Brasil — yang secara teoritis dapat memicu tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Intinya, peristiwa besar kerap dimulai dari peristiwa kecil; atau jangan anggap enteng kejadian kecil, ia bisa membesar dan tak terkendali; dan juga jangan abaikan isu lokal, karena jangan-jangan ia bagian dari isu global.
Adapun narasi di atas menerangkan bahwa radikalisme hanyalah: “Stigma Bergerak”.
Memang belum ada definisi dan keterangan yang bersifat text book soal stigma bergerak, cuma perlu realita kasus, sedikit pendalaman, dan contoh-cöntoh peristiwa.
Irak di zaman Saddam Hussen dahulu, contohnya, sebelum ia diserbu oleh koalisi militer Barat pimpinan Amerika (AS), dituduh menyimpan senjata pemusnah massal. “Ini stigma atau isu pertama” yang dilekatkan AS terhadap Irak. Ketika isu senjata pemusnah massal tak terbukti namun Irak terlanjur porak-poranda dikeroyok koalisi militer, stigma pun berubah menjadi isu menegakkan demokrasi. “Ini stigma kedua.” Setelah Saddam dihukum gantung lalu pemerintah Irak dalam kendali koalisi militer asing, stigma pun berubah menjadi “isu menjaga stabilitas”. Nah, gambaran perjalanan atau perubahan stigma step by step mulai isu pertama, isu kedua, hingga isu terakhir (menjaga stabilitas) disebut: “Stigma Bergerak”. Ya, (isu) bergerak menyesuaikan situasi dan kondisi terbaru di negara target.
Sekarang membahas radikalisme. Tak boleh disangkal, kini ia menjadi stigma atau isu terujung, terakhir, terkini atau terpopuler setelah isu terorisme (“ini stigma pertama”) tidak laku lagi di panggung global. Mengapa tidak laku, selain raja teroris Osama bin Laden telah “tewas” ditembak oleh pasukan elit AS Navy Seal di Pakistan dan mayatnya dibuang ke laut, juga karena faktor “kekalahan” militer koalisi pimpinan AS saat melawan Taliban di Afghanistan. Bayangkan saja, peperangan 10-an tahun yang menyedot banyak sumber daya hingga AS dan negara sekutu yang terlibat sharing saham dalam perang mengalami krisis ekonomi akibat modal perang tidak kembali. Taliban melawan mati-matian.
Dan tak boleh dipungkiri, perang Afghanistan merupakan perang terlama (2001-2011) dalam sejarah petualangan AS di panggung geopolitik. Betapa koalisi 40-an negara —NATO dan ISAF— tidak mampu menundukkan Taliban yang padanan di Indonesia hanya sekelas ormas atau laskar pesantren. Taliban bukanlah militer profesional seperti halnya Kopassus ataupun Green Baret.
Nah, usai “drama” penyerbuan Osama di Pakistan, AS dan sekutu akhirnya hengkang dari Afghanistan dengan tagar: Osama Tewas! “Onani”. Menyenangkan diri sendiri. Dan War on Terrorism (WoT) pun tutup layar.
Setelah WoT tutup layar, isu pun berubah menjadi memerangi ISIS. Pertanyaan selidik muncul, “Bukankah tabir sudah terkuak siapa pencipta, pendukung, siapa operator ISIS?” False flag operation semacam ini sudah menjadi rahasia umum.
Tatkala ISIS pun juga kalah dalam peperangan di Suriah, isu pun berubah lagi menjadi radikalisme. Ya. Inilah (radikalisme) isu terujung dari WoT yang sudah tutup layar beberapa tahun lalu. Sekali lagi, perubahan stigma dari isu pertama (terorisme), isu kedua (ISIS) hingga isu terakhir (radikalisme), dalam geopolitik disebut “Stigma Bergerak”.
Selanjutnya, antara kedua stigma bergerak di atas sebenarnya serupa tetapi tak sama. Serupa dalam hal pola, tidak sama pada modus dan aktornya. Lalu, apa target dan motif stigma bergerak tersebut? Satu kata: Minyak!
If you would understand world geopolitics today, follow the oil,” kata Deep Stoat, salah satu pakar strategi di Paman Sam. Bila ingin memahami dunia geopolitik hari ini, ikuti kemana minyak mengalir. Atau, kata Guilford: “When it comes to oil 90% about politics, 10% is about oil itself“.
Silahkan ilustrasikan, bila Irak cuma penghasil nasi kebuli atau susu onta, akankah muncul isu senjata pemusnah massal di era Saddam; atau, seandainya Suriah hanya produsen kurma, misalnya, apakah ISIS akan bermain di negerinya Bashar al Assad?
Rekan-rekan sekalian, saya dan keluarga mengucapkan selamat tahun baru 2021, semoga Tuhan Yang Mahakuasa ridha terhadap diri kita, keluarga, bangsa dan negara Indonesia!
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com