Antara Sutradara Konflik dan Raksasa Tidur

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Vandalisme di Minahasa Utara

Geopolitik mengajarkan, bahwa faktor penyebab dari kerusuhan massa, dan/atau konflik horizontal maupun konflik vertikal di pelbagai belahan dunia, selain faktor utamanya adalah (geo) ekonomi, juga dominan dipicu oleh isu-isu terkait sentimen. Entah itu sentimen terhadap vigur, ini implikasi kultus individu. Entah soal ras, atau sentimen kedaerahan, dan terutama sekali ialah sentimen agama yang akan menjadi titik bahasan catatan ini.

Dengan demikian, ketika telah menyentuh di wilayah (sentimen agama) itu, situasi dan kondisi niscaya berubah drastis. Ibarat tumpakan jerami kering dipercik api, seketika menyala. Dan sudah barang tentu, jika antisipasi dari para pihak yang berkompeten kurang jitu, api konflik semakin menjalar, meluas serta berkobar. Ataupun, katakanlah — jika suatu saat dipaksa (direkayasa) harus “selesai,” misalnya, bukankah sudah ada “luka sosial” tertinggal? Ini justru laten, karena sewaktu-waktu bisa meletus lagi. Kenapa demikian, bahwa basis rasa sentimen itu adalah perasaan yang berlebihan terhadap sesuatu. Kendati hal itu bertentangan dengan pertimbangan pikiran seperti emosi berlebih, contohnya, like and dislike, dendam, iri hati, dan seterusnya tetapi ia memang ada (being), nyata (reality) dan kerap berdaya/berperan (exsistance) dalam masyarakat.

Hingga saat ini, cita rasa konflik di Timur Tengah masih bermenu sentimen agama semacam konflik antarmazhab, atau sentimen vigur, dan lain-lain. Secara realitas, ia memang hidup, tumbuh dan berkembang di ranah agama apa saja, di negara mana saja, terutama bagi kawasan dan/atau negara yang belum terpapar oleh sekulerisme. Itulah poin pokok kenapa isu sentimen disukai oleh para “sutradrara konflik” di pelbagai negara.

Pertanyaannya kini, “Kenapa di Amerika (AS) tidak ada sentimen kedaerahan?” Lho, AS itu bangsa imigran, penduduk asli (pribumi)-nya suku Indian. Jadi sentimen kedaerahan tidak bakal hidup di sana; atau, mengapa di Paman Sam hampir tidak ditemui sentimen agama? Ini juga begitu. AS itu negara sekuler. Agama hanya ada di ruang privat, ia tidak boleh masuk ke ranah publik.

Pun seandainya ada pembakaran kitab suci agama tertentu di AS, misalnya, warganya akan cenderung apatis. Masa bodoh. Ada polisi yang mengurus, katanya. Tetapi coba hal yang sama terjadi di Indonesia, tentu kondisi dan respon publik akan berbalik 180 derajat. Jadi, sentimen itu memiliki areanya sendiri dan juga orang ataupun golongan. Tidak setiap sentiman bisa berlaku dimana saja.

Nah, agaknya vandalisme di Menado (29/1/2020) yang dipicu pengrusakan simbol agama tertentu adalah bentuk eksploitasi sentimen agama. Sekali lagi, ia —sentimen— itu ada, nyata dan berada. Buktinya, ia langsung menjalar meski telah dibuat kesepakatan para tokoh pasca kejadian. Dengan demikian, penanganan oleh para pihak yang berkompeten harus tegas, adil, cepat dan tuntas. Mengapa? Karena jika cenderung lambat, tidak tegas, tidak adil serta tak tuntas, ia akan terus begulir serta menjalar kemana-mana atas nama solidaritas.

Ya sebagaimana pengalaman pada kasus penistaan agama oleh Ahok tempo lalu, akibat penangaman yang cenderung lambat pada gilirannya justru memunculkan unjuk rasa berjilid-jilid bahkan menciptakan momentum baru seperti entitas 411, misalnya, kemudian Gerakan 212, dan/atau modus Reuni 212. Retorikanya, “Seandainya Ahok dulu ditangani secara cepat dan tuntas, apakah mungkin muncul Reuni 212 yang setiap tahun berulang di monas?” Dan tampaknya kini, sepertinya ia —forum reuni— telah terpolitisir dan dieksploitir.

Membiarkan persoalan kecil tanpa solusi tuntas menjadikan persoalan semakin akumulatif dan kompetitif. Seperti butterfly effect theory, “Kepak sayap kupu-kupu di hutan Brazilia bisa menimbulkan tornado di Texas,” kata Edward Norton, sang pencetus teori.

Ya. Power sentimen itu ibarat raksasa yang sedang tidur. Jika ia terbangun, lebih sulit untuk “menidurkan”-nya kembali. Biarlah ia tidur di lubuk keyakinan manusia, karena jika ia terusik dan bergerak, sungguh kekuatannya di luar logika.

Demikian adanya, demikianlah sebaiknya.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com