Tinjauan Kecil Metafisika Politik
Dalam beberapa hal, sebenarnya saya kurang sependapat dengan tesis Lord Acton: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (terjemahan bebas: kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korupsi). Kenapa tak sependapat?
Sebab, kekuasaan apapun, dimanapun, kapanpun, bila dalam genggam sosok yang amanah pasti bermanfaat dan niscaya membawa kemaslahatan, bahkan tidak hanya bagi manusia saja, tetapi juga untuk hewan, tumbuhan, lingkungan sekitar dan lainnya. Dalam Islam, konsep itu disebut Rahmatan Lil Alamin. “Rahmat untuk seluruh alam”. Atau, istilah Jawa: Memayu Hayuning Bawana. Membuat dunia menjadi indah.
Beberapa kronologi dan histori, contohnya, di era Raja Iskandar Zulkarnain tempo doeloe, atau zaman Rasullah, zaman Para Sahabat memegang tampuk kekuasaan; atau di era modern ada Pak Hoegeng Iman Santoso, legenda di Polri; ataupun Angela Merkel yang dicintai rakyat Jerman ditandai applause serentak di seluruh negeri sewaktu ia lengser sebagai Kanselir Jerman, dan masih banyak lagi yang tidak tertulis dalam sejarah.
Tak bisa dipungkiri, mayoritas publik modern condong kepada tesis Lord Acton seakan-akan kekuasaan (apapun) cenderung korupsi. Ini gebyah uyah. Dan itulah anggapan manakala persepsi terhadap kepolitikan sebatas tata cara bagaimana merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan semata, sedangkan sisi (lain) politik yang mulia justru diabaikan.
Mengapa begitu?
Bisa jadi, filsafat yang dipakai Acton ketika ia merumus tesis dimaksudkan untuk membidani fungsi manajemen lain seperti pengawasan, misalnya, atau supervisi, ataupun fungsi pengendalian, dan lain-lain.
Nah, prolog ini mencoba mem-break down teori Acton —power tends to corrupt— sebelum nanti mengurai bagaimana antitesis dan counter terhadap pemikiran Lord Acton.
Kendati berserak contoh mengenai tentang kuasa cenderung korupsi (power tends to corrupt) di atas, sesuai judul telaah ini — secara yuridis konstitusional, implementasi tesis Acton di Indonesia dapat dilihat pada operasional Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 Produk Amandemen:
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.”
Bunyi Pasal 6A Ayat (2) tersebut menyiratkan makna, bahwa partai politik (parpol) adalah satu-satunya entitas pemegang saham kekuasaan di republik ini. Dalam perspektif infrastruktur dan suprastruktur politik, entitas lain sebatas ‘menonton’. Tidak lebih. Bahkan DPD RI selaku Lembaga Tinggi Negara pun di”mandul”-kan dalam operasional Pasal 6A Ayat (2) tadi. “Menonton”. Tidak ada lagi Utusan Golongan (UG) dan Utusan Daerah (UD), sebab pada UUD Produk Amandemen (1999-2002), dua unsur tersebut —UD dan UT— dihapus alias ditiadakan. Inilah salah satu contoh absolute power seperti isyarat Acton. Silakan direnungkan, untuk memilih calon pemimpin (Presiden/Wapres) dari negara yang berpenduduk 280-an juta cuma ditentukan oleh 9 atau 10 orang (Ketua Umum Parpol). Inilah realitas absolute power. Maka tidak ada pilihan lain, selain corrupt absolutely. Korupsi adalah keniscayaan. “Semua partai politik korupsi!” kata Irma Suryani Chaniago dari Nasdem.
Gilirannya, teori Acton pun membidani aksioma the winner takes it all. “Pemenang mengambil semua”. Ini sich bukan asumsi akademis, tetapi nafsu serakah yang dilembagakan, lalu dibuat acuan seakan-akan sebuah rekomendasi akademis (tesis).
Secara realitas, kelanjutan hasil Pilpres 2024 contohnya semacam ‘Koalisi Gemuk’. KIM Plus, misalnya. Bila merujuk tesis Acton, manuver KIM Plus patut diwaspadai jika ia digenggam oleh tangan-tangan tidak amanah maka akan cenderung korup(si). Entah korupsi anggaran, korupsi kebijakan dan lain-lain.
Demikian contoh tesis Lord Acton baik secara yuridis-konstitusional, paradigmatik, maupun permisalan dalam praktik kepolitikan. Dan itulah tesis serta pemikiran kebanyakan manusia, bukan pedoman yang dianut oleh sedikit manusia.
Muncul pertanyaan, rujukan semacam apa yang dianut oleh sedikit manusia?
Sesuai clue tulisan ini, kita breakdown dahulu tentang metafisika politik. Ya. Ada beberapa definisi tentang metafisika politik dari beberapa pakar baik lokal/nasional maupun pakar global semacam Al-Farabi misalnya, atau Michel Foucault, Antonio Gramsci dan lain-lain. Pada tinjauan ini, saya gunakan teori Dr Mulyadi, senior dosen politik di UI, Jakarta. Uraiannya sebagai berikut:
Metafisika Politik adalah satu bagian dari ilmu politik yang mempelajari relasi metafisika dengan politik, yakni relasi transendental antara manusia yang diberi kekuasaan oleh Tuhan yang diatur sendiri oleh Tuhan melalui hukum-hukumnya yang bersifat sakral (teologi politik). Melalui metafisika politik, ilmu politik lalu menemukan empat kosmologi politik:
(1) Raja/Ratu adalah “Titisan Tuhan” untuk kosmologi politik negara monarki;
(2) Imam/Nabi adalah “Wakil Tuhan” untuk kosmologi politik negara teokrasi;
(3) Raja bangsawan (Aristokrat) adalah “Pelayan Tuhan” untuk kosmologi politik negara aristokrat; dan
(4) Presiden/Perdana Menteri adalah “Suara Tuhan” untuk kosmologi politik negara demokrasi (Mulyadi, 2024).
Pointers yang bisa dipetik dalam metafisika politik ala Mulyadi, bahwa dinamika politik mempertimbangkan hal tersirat, ditandai oleh hal-hal tidak terukur dan tidak terlihat, namun dirasakan oleh publik. Sesuatu yang transendental. Ada campur tangan Dia, sang Mahagaib yang kerap dinilai unlogical. Seperti tidak masuk akal, meskipun logis dan tidaknya tergantung dari kemampuan. Data inilah yang kerap disembunyikan alias digelapkan oleh Dunia Barat akibat nalar mereka menolak atau kurang mampu mengelola fakta dan data politik terkait transendental, sedang hal-hal yang tidak terukur dan tak terlihat justru dapat dirasakan sebagai out come di publik, contohnya, becik ketitik ala ketara, karma, kualat, hukum sebab akibat, ngunduh wohing pakarti, dan lainnya.
Muncul pertanyaan filosofi, “Mengapa kebanyakan orang mengikuti hal yang belum tentu benar sebagaimana tesis Lord Acton di atas?”
Secara fisik, kita akan berputar-putar mencari jawaban atas pertanyaan tadi, tetapi secara metafisika terjawab di Qur’an Surat (QS) Al An’ am 116:
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan“.
Dan QS As-Sajdah Ayat 9:
“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur“
Telah jelas dalam dua QS tersebut —hal yang bersifat transendental— bahwa kebanyakan manusia cenderung: 1. menyesatkan; 2. mengikuti prasangka; 3. membuat kebohongan; dan 4. sedikit sekali yang bersyukur.
(Silakan bagi non-Muslim untuk mengkaji Kitab Suci masing-masing).
Inilah realitas metafisika politik karena selain tidak terukur, tidak terlihat, juga bersifat transendental, dimana teori Barat cenderung ‘alergi’ untuk meletakkan sebagai salah satu referensi, contoh, sudah tahu asal-usul manusia itu dari Nabi Adam, namun Charles Darwin masih ngeyel membuat teori evolusi bahwa manusia berasal dari monyet.
Lho, kalau menyibak asbabun nuzul (asal-usul turunnya ayat) di zaman Musa, bukankah monyet justru berasal dari manusia yang dikutuk karena melanggar di Hari Sabtu? Nah, dari sisi metafisika ini, asumsi Darwin sebenarnya sudah tertolak, bahkan terbalik.
Mengakhiri tinjauan ini, jika kita sepakat dalam teori Acton secara mutlak, maknanya kita tergolong kebanyakan manusia sebagaimana esensi QS Al An’am 116: “Menyesatkan, mengikuti prasangka, dan pembohong”. Dan sebaliknya, apabila kita menolak asumsi Acton maka kita tergolong orang-orang sedikit (kelompok yang bersyukur), mampu menyerap aspirasi, condong terhadap kebaikan, memilah untuk kemaslahatan umat, dan sosok amanah, sesuai substansi QS As-Sajdah 9 tersebut.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments