Dina Y. Sulaeman, Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Hiruk-pikuk aksi ‘jihad’ di Suriah, serbuan Prancis dan sekutunya ke Mali untuk ‘menumpas terorisme’, atau eskalasi konflik politik di Kairo, seolah mengalihkan perhatian publik terhadap nasib warga Gaza. Apa kabar mereka sekarang? Ternyata, nasib mereka masih belum berubah. Mereka masih berada dalam penjara virtual raksasa yang diciptakan Israel. Mereka dihalangi keluar melewati laut atau daratan yang berbatasan dengan Israel.
Satu-satunya jalan adalah dengan menggali ratusan terowongan yang menghubungkan Gaza dengan Mesir. Terowongan-terowongan itu adalah lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Kemenangan Mursi dalam pilpres Mesir membawa harapan baru bagi rakyat Gaza. Mursi dikenal sebagai presiden saleh yang hafal Quran dan berasal dari gerakan Ikhwanul Muslimin, mana mungkin tega membiarkan saudara seimannya terpenjara di Gaza? Namun harapan tinggal harapan. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.
Israel mengklaim bahwa setelah membunuh tentara Mesir, para teroris itu membajak dua kendaraan militer Israel lalu melarikan diri memasuki wilayah Israel. Mereka pun kemudian ditembak oleh tentara Israel. Pernyataan ini tentu saja terasa aneh. Bila benar demikian, sudah dipastikan teroris itu bukan pejuang Palestina, lalu mengapa perbatasan Rafah yang ditutup? Apa untungnya bagi orang Palestina membunuh tentara Mesir?
Apapun jawabannya, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak sudah memberi pernyataan, “Serangan itu menandakan Pemerintah Mesir perlu mengambil tindakan untuk menegakkan keamanan dan mencegah teror di Sinai.” Dan, Mursi pun menurut: gerbang Rafah kembali ditutup. Meskipun beberapa kali ada berita Mursi membuka gerbang, namun secara umum, gerbang Rafah dinyatakan tertutup. Dan rakyat Gaza kembali menggantungkan harapan kepada terowongan galian mereka.
Sejak bulan Agustus itu pula, tentara Mesir memulai operasi penutupan terowongan-terowongan Gaza. Ratusan terowongan telah ditutup oleh rezim Mursi. Sejak sepekan lalu, operasi penutupan terowongan itu kembali terjadi. Tentara-tentara Mesir membanjiri terowongan itu dengan air, membuat orang-orang yang ada di dalamnya, pekerja yang sedang membangun terowongan, atau orang-orang yang kebetulan sedang melewatinya untuk membawa barang-barang, lari tunggang langgang berusaha menyelamatkan diri. Sebuah sumber militer Mesir menyatakan bahwa operasi penghancuran tunel-tunel antara Rafah di Jalur Gaza dan Rafah di Mesir dipercepat guna “mewujudkan keamanan di wilayah Gurun Sinai” (El Misr El Yaum, dikutip IRIB).
Bagaimana menganalisis situasi ini? Mengapa rezim Mursi sedemikian tega melakukan hal tersebut? Situasi ini hanya membawa kita pada paradoks revolusi Mesir. Setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi dan IM tampak terbelenggu. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Mesir terancam tidak bisa menjalankan roda pemerintahan dengan uang itu. Jalan keluar yang diambil Mursi adalah meminjam dari IMF. Untuk melunakkan protes dari kalangan konservatif, dalam sebuah pidatonya, Mursi menyatakan, “Ini bukanlah riba.” (AFP/6 Okt 2012)
Kalau Anda pernah membaca buku John Perkins, keputusan Mursi untuk bekerja sama dengan IMF merupakan indikasi ketundukannya pada ‘imperium’, sebuah kerajaan tak beristana, tak mengenal batas negara, yang dikuasai oleh orang-orang paling kaya sedunia. Imperium memanfaatkan perusahaan-perusahaan swasta yang memperkerjakan orang-orang yang disebut sebagai ‘economic hitman’ (bandit ekonomi). Para bandit ini akan melakukan berbagai cara agar para pemimpin negara mau tunduk pada kemauan imperium. Bila ada yang berani melawan, si pemimpin negara itu akan digulingkan atau bahkan dibunuh. Bila ada yang hingga saat ini masih mampu bertahan, (antara lain, Evo Morales, Chavez, atau Ahmadinejad) tak lain karena keberanian si pemimpin dan dukungan rakyat yang sangat besar.
Bagaimana dengan Mursi? Dari manuver-manuvernya, kita bisa mengira-ngira bahwa dia memang berada dalam tekanan imperium. Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa kerjasama dengan IMF hanya akan memperbudak sebuah negara di hadapan imperium. Negara penerima hutang tidak hanya sekedar menerima uang lalu berkewajiban membayar kembali dengan jumlah berkali lipat (riba), tetapi juga dipaksa melakukan banyak hal yang dikehendaki imperium, termasuk memiskinkan rakyatnya sendiri melalui pencabutan subsidi dan menjual sumber daya alam kepada perusahaan asing. Mursi dan Ikhwanul Muslimin pasti sudah memahami semua ini, tetapi sepertinya tetap memilih tunduk di hadapan imperium.
Terkait Ikhwanul Muslimin, disinggung dalam buku kedua John Perkins. Dia menuliskan, dalam sebuah rapat antara pejabat-pejabat dari USAID, perusahaan bandit ekonomi bernama MAIN, dan korporat-korporat yang menjadi kliennya, antara lain Bechtel, di Boston, AS, 1974, ada dialog berikut:
Dia [orang USAID]menghabiskan air minumnya. “Tuan Hall [CEO MAIN], aku setuju sekali dengan pernyataan Anda.” Dia melihat ke kertas di atas meja, di sebelah piringnya. “Piramid-piramid Mesir melambangkan peran yang harus dimainkan negara jika kita ingin merebut hati dan pikiran bangsa Arab. Mesir akan membentuk dasarnya, yang besar dan kokoh. Lalu kita akan menumpuk mereka, satu negara di atas yang lain.”
[Ini menunjukkan betapa besarnya tekanan yang diterima pemimpin Mesir karena imperium merasa harus menguasai Mesir dulu bila ingin menguasai negara-negara Timteng lainnya]
“Kau sudah diberi tahu tentang Ikhwanul Muslimin?” [tanya George Rich, petinggi MAIN]
“Ya.” [jawab Perkins]
“Well, mereka sangat berbahaya, harus dibujuk, diajak berkompromi, disuap, apa saja, karena mereka tidak bisa dihentikan. Sadat sudah membuktikan hal itu…”
(Perkins, The Secret History of American Empire, edisi terjemahan 242, 247)
Khusus untuk Mesir, sebagaimana juga tekanan yang diterima Mubarak, tekanan yang diberikan kepada Mursi sudah pasti akan berkaitan dengan ‘keselamatan Israel’. Sudah bukan rahasia lagi,para pengusaha-pengusaha raksasa itu adalah para pendukung Zionisme. Itulah sebabnya sampai kini Mursi sedemikian lemah dalam membela Palestina.
Tentu saja, butuh keberanian besar untuk mampu melawan imperium. Buat rakyat Mesir pendukung Mursi, alih-alih mencari-cari justifikasi dan secara taklid menganggap semua yang dilakukan Mursi pasti benar, agaknya lebih baik mendorong Mursi untuk tidak menyerah di hadapan imperium. Bukankah bila Mursi sampai harus mengorbankan nyawa demi membela kebenaran, dia akan menjadi syahid dan itulah kematian terindah seorang muslim, sebagaimana tercantum dalam Al Quran yang dihafalnya? Tak salah bila Mursi dan IM belajar dari Iran. Setelah mendirikan Republik Islam, para pemimpin, pejabat, dan ilmuwan Iran dibunuhi teroris tetapi mereka tetap bertahan menolak tunduk pada imperium.
Dan bagi bangsa Palestina, terutama Hamas (yang anehnya enggan mengkritik ‘kebijakan’ Mursi menutup terowongan), seharusnya fenomena ini menjadi catatan bagi mereka untuk bisa melihat siapa sesungguhnya teman sejati mereka.