“Api Dalam Sekam”

Bagikan artikel ini
Indonesia hari ini, terjebak pada frase dengan apa yang disebut “Bangsa Terbelah”. Terbelah karena apa? Ya, terpecah belah karena menganut Sistem Bernegara impor yang bernafas individualis, liberal lagi kapitalistik yaitu UUD NRI 1945 Produk Amandemen (1999-2002) atau oleh para pegiat konstitusi kerap diistilahkan: “UUD 2002”. Sebutan dimaksud, hanya untuk membedakan dengan UUD Baru —UUD NRI 1945— yang diteken Presiden RI ke-5 pada 10 Agustus 2002.
Namun, uniknya kebanyakan warga justru tidak menyadari bahwa sesuatu abnormal sedang terjadi. Memang. Jika kondisi abnormal berlangsung terus menerus dalam tempo relatif lama, maka kondisi abnormal pun bisa dianggap “normal”.
Ada beberapa penyebab, mengapa kondisi abnormal yang telah dianggap normal itu merebak, contoh:
1. Timbul fenomena Stockholm Syndrome di publik karena faktor agitasi dan propaganda asing, misalnya, sehingga banyak warga justru jatuh cinta kepada kaum (penjajah) yang merampas kehidupannya. Hal ini terjadi tidak hanya di akar rumput akibat sempitnya wawasan, tetapi juga menerpa kalangan elit dan intelektual atas nama pragmatisme serta ‘pelacur intelektual’;
2. Paradigma dan kerangka kerja penjajahan supermodern berubah total, yakni: “The best way to keep a prisoner escaping is to make sure he knows he’is in prison” (Adrian P, 2024). Terjemahan bebasnya, bahwa cara terbaik untuk mencegah seorang tahanan melarikan diri ialah dengan memastikan dia tidak pernah tahu bahwa dia berada dalam penjara.
Kembali ke topik bangsa terbelah. Pertanyaan selidiknya adalah, “Mana bukti dan apa pintu masuk pembelahan bangsa ini?”
Secara kesisteman dan makro, biang keroknya ialah penggantian UUD 1945 menjadi UUD 2002. “Itu pokok masalah atau hulu persoalan bangsa.” Namun, secara mikro adalah metode one man one vote (satu orang satu suara). Itulah model pemilihan presiden (Pilpres) di era reformasi tahun 2004 kali pertama Pilpres Langsung dimulai sampai sekarang. Ya. sejak UUD 1945 Naskah Asli karya pendiri bangsa dikudeta secara nirmiliter (asimetris) oleh Amerika Serikat cq National Democratic Institute dibantu kelompok “londo ireng” sebagai operator lapangan pada 1999-2002 silam.
Tak dapat dipungkiri, semenjak Pilpres, Pilkada dan ‘pil-pil’ lainnya menganut one man ove vote, bangsa ini langsung terbelah. Minimal gaduh atas nama pro ini, pro itu — maksimal timbul polarisasi sosial yang cenderung lestari pada bangsa ini secara berkala.
Inilah yang kini terjadi. Kendati rakyat mencoblos secara langsung pemimpinnya, tetapi nasib bangsa dalam lima tahun ke depannya tetap sama, bahkan cenderung semakin susah, sedangkan hajatan tersebut menghabiskan uang (rakyat) ratusan triliun rupiah tapi justru menghasilkan bangsa terbelah. Ironis.
Ketika ada kelompok warga menginginkan kembali ke UUD Naskah Asli dengan penyempurnaan melalui teknik adendum, tidak sedikit orang mencibir. Gerakan tersebut dituduh ingin balik ke zaman Orde Baru. Padahal, selama republik ini berdiri, konstitusi rumusan pendiri bangsa (UUD 1945 Asli) belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen baik di era Orde Lama, Orde Baru, bahkan kian dicampakkan di era reformasi.
Ya. Potret bangsa terbalah hanyalah salah satu outcome dari UUD 2002 yang liberal. “Dampak liberalisasi konstitusi”. Masih banyak dampak lainnya, misalnya, terampasnya Kedaulatan Rakyat oleh partai politik (Pasal 6A Ayat 2 UUD 2002), muncul politisasi nyaris di semua lini, very high cost politics, marak korupsi dan berjamaah sebagaimana isu di DPD RI dan DPR RI, muncul dinasti politik tanpa kompetensi, state-corporate crime, “negara dalam negara”, kegaduhan tak bertepi, dan lain-lain.
Entah hingga kapan.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com