Dari tumpukan berita lama terbitan tahun 2021, terungkap bahwa kerja sama erat Arab Saudi dan Cina sudah dirintis beberapa tahun lalu. Pada Desember 2021 lalu, badan intelijen AS mengungkapkan bahwa Arab Saudi mengembangkan rudal balistik dengan bantuan dari Cina. Fakta paralel lainnya juga menginformasikan bahwa Tak lama setelah itu, fakta bahwa Iran menggelar latihan militer yang disebut Nabi Besar 17 (Great Prophet 17), di mana Iran juga menggunakan rudal balistik, sehingga meningkatkan eskalasi konflik internasional di Teluk Persia.
Dengan begitu, perkembangan internasional terkini yang mana Cina berhasil memediasi Arab Saudi dan Iran, maupun belakangan antara kelompok Fatah dan kelompok Hamas Palestina, ternyata berkat rintisan kerjasama erat antara Arab Saudi dan Cina sejak beberapa tahun lalu.
Pihak AS sendiri memang sudah mencium gelagat semakin eratnya hubungan Arab Saudi-Cina ketika memperoleh informasi bahwa Arab Saudi dan Iran sudah mendapat bantuan dari Cina dalam mengembangkan program persenjataan strategis. Salah satunya, adalah pengembangan rudal balistik.
Baca: Analysis-Saudi ballistic missile program: US-China Rivalry in Gulf
Perkembangan yang terungkap sejak 2021 tersebut menunjukkan bahwa Arab Saudi, seperti halnya beberapa negara sekutu AS lainnya, merasa tidak tenang dan khawatir ketika terlalu bergantung pada AS. Apalagi AS sempat menarik Sistem Pertahanan Udaranya dari sebelah Selatan Arab Saudi pada September 2021. Alhasil, Arab Saudi merasa perlu menjalin kerja sama pertahanan alternatif dengan negara adikuasa yang setara dengan AS. Maka Cina menjadi tumpuan baru untuk melindungi pertahanan nasional Arab Saudi. Adapun Iran, dengan bergabung sebagai anggota penuh Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang dimotori Cina dan Rusia, Cina dipandang sebagai pelindung Iran yang cukup handal.
Fakta memang menunjukkan Arab Saudi membeli peralatan militernya dari AS sejak negara itu didirikan pada 1932. Namun Saudi saat ini mulai mempertanyakan komitmen AS maupun sekutu-sekutunya yang tergabung dalam pakta pertahanan atlantik Utara (NATO).
Meski hingga 2010 AS merupakan negara adikuasa yang mempertaruhkan kepentingan strategisnya dalam keammanan energi, terutama minyak, di Timur-Tengah, sehingga perskutuan militer dengan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council) menjadi prioritas utama.
Menurut Merve Berker, AS nampaknya tidak lagi bergantung pada sumber energi di kawasan Timur Tengah, ketika berhasil ditemukannya teknologi baru yang dikenal dengan sebutan revolusi fracking (semacam teknik stimulasi sumur yang mana lapisan batuan dibawah diretakkan dengan fluida cair bertekanan tinggi). Dengan demikian, hal ini menggambarkan betapa seringkali perubahan konstelasi internasional terjadi lantaran terjadinya Dispruption alih-alih revolusi yang bersifat politis dan militeristik.
Temuan baru di bidang teknologi bisa berakibat terjadinya pergeseran orientasi dan prioritas kebijakan luar negeri satu negara. Apalagi ketika pergeseran orientasi dan prioritas kebijakan luar negeri tersebut dilakukan oleh satu negara adikuasa seperti AS, bisa membawa dampak perubahan yang bersifat mendasar.
Selain timbulnya Dispruption seturut temuan teknologi baru di bidang perminyakan dan sumber-sumber energi lainnya, timbulnya perubahan orientasi dan prioritas kebijakan luar negeri AS ketika Asia menjadi prioritas baru Presiden Barrack Obama pada 2010, yang kemudian kita kenal dengan strategi “Pivot Asia”, dengan dalih untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.
Dalam konstelasi seperti itu, Arab Saudi nampaknya cukup jeli untuk membaca adanya pergeseran prioritas dan orientasi kebijakan luar negeri AS. Sehingga memutuskan untuk membuat strategi perimbangan kekuatan atau balancing strategy , menjalin kerja sama pertahanan dengan Cina.
Arab Saudi sepertinya merasa tidak aman meskipun doktrin Eisenhower (1957) maupun Nixon (1969), dan Carter (1980), menegaskan bahwa kawasan Teluk sebagai wilayah vital kepentingan AS dan menyatakan bahwa setiap ancaman terhadap kepentingan AS di kawasan ini akan ditanggapi dengan segala cara. Termasuk dengan menggunakan kekuatan militernya. Namun, Arab Saudi sepertinya paham betul bahwa doktrin bisa saja berubah seiring perubahan konstelasi politik internasional.
Cina juga tak kalah jeli membaca pergeseran orientasi dan prioritas kebijakan luar negeri AS itu sebagai sebuah momentum atau peluang, saat Cina memang sedang berupaya mencari celah untuk perluasan pengaruhnya di bidang ekonomi-perdagangan, investasi, dan keamanan energi, di pelbagai kawasan. Mulai rentannya kerja sama AS-Saudi, dipandang Beijing sebagai peluang untuk menjalin kerja sama strategis dengan Arab Saudi.
Bagi kepentingan nasional Cina, keamanan energi juga sangat vital seturut pesatnya perkembangan ekonominya. Dalam perspektif geopolitik Cina, kawasan Timur-Tengah utamanya Teluk, memegang dua pertiga dari cadangan minyak dan gas alam global. Adapun dari segi lokasi geografis, kawasan Timur Tengah berdekatan dengan Cina. Kawasan ini saat ini menyumbang 55% impor minyak Cina.
Permintaan gas alam dari Cina juga kian meningkat. Menurut catatan pada 2021 saja misalnya, konsumsi minyak 15 juta barel per hari. Saat ini mungkin sudah meningkat menjadi 20 juta barel per hari. Alhasil, tak mungkin minyak sebesar itu diperoleh dari kawasan di luar Timur Tengah/teluk.
Dengan begitu, kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Yordania), menjadi sangat penting dalam perspektif kebijakan luar negeri Cina.
Maka sebagai kompensasinya,Cina yang kebijakan luar negerinya bertumpu pada skema Belt and Road Initiative (BRI), yang dicanangkan Cina sejak 2013 lalu, kawasan Teluk menjadi sangat penting dan vital. Di sinilah BRI menawarkan kerja sama yang mengaitkan ekonomi-perdagangan dengan konektivitas geografis Jalur Sutra.
Dengan demikian, Strategi Nasional Cina yang dikenal dengan Silk Road Maritime Initiative, kemudian dijabarkan dalam kebijakan luar negeri Cina yang menjadikan investasi dan perdagangan menjadi dua komponen yang paling penting.
Menariknya, ketika AS dan dua sekutu strategisnya, Inggris dan Australia, mengembangkan pakta pertahanan bersama (AUKUS) untuk mengepung Cina di Asia, utamanya di wilayah Laut Cina Selatan, justru Cina malah menggunakan momentum tersebut untuk memperluas lingkup pengaruhnya di luar kawasan Asia, yaitu Timur Tengah.
Kawasan Timur Tengah, dalam pandangan geopolitik Cina, selain memiliki sumberdaya alam yang melimpah ruah terutama minyak dan gas bumi, lokasi geografis Timur Tengah pun cukup berdekatan dengan Cina.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)