Pada tahun 1983, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pernah mengusulkan gagasan yang lebih berbahaya daripada penggunaan senjata nuklir. Yaitu militerisasi ruang angkasa, dengan mengembangkan program yang kelak kita kenal dengan Strategic Defense Initiative (SDI). Gagasannya adalah, penggunaan sistem darat maupun ruang angkasa untuk melindungi AS dari senjata nuklir strategis balistik (rudal balistik antarbenua dan rudal balistik kapal selam).
Jika program pengembangan militerisasi angkasa luar tersebut berhasil diwujudkan, bisa dipastikan bahwa AS akan menjadi kekuatan militer paling superior di dunia. Oleh karena sejak SDI tersebut digunakan, praktis kekuatan senjata bermuatan nuklir seperti yang ada sekarang sama sekali tidak ada gunanya.
Untunglah, dalam Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah atau Intermediate Range Nuclear Forces (INF), program memiliterisasi angkasa luar lewat program SDI tersebut, batal dilanjutkan karena AS dan Uni Soviet pada Desember 1987 berhasil mencapai kesepakatan membatasi kepemilikan persenjataan nuklir jarak menengah pada tingkatan maksimum, dengan ditandatanganinya Perjanjian INF antara Presiden Reagan AS dan Mikhail Gorbachev.
Melalui INF Treaty tersebut, AS dan Rusia sepakat melarang seluruh rudal dan roket baik nuklir maupun non-nuklir, baik dengan jarak tempuh pendek maupun menegah. Dengan pengecualian yang tidak masuk dalam traktat ini, senjata yang diluncurkan dari laut. Bahkan pada periode 1988-1991, AS dan Rusia sepakat untuk menghancurkan sekitar 2700 roket, dan kedua negara sepakat untuk saling mengawasi terhadap instalasi rudal masing-masing negara.
Namun pada 1 Februari 2019 lalu, Presiden Donald Trump pada periode kepresidenannya yang pertama, secara sepihak telah membatalkan perjanjian tersebut. Tapi pembaca harus ingat bahwa pada 2002 Presiden George W. Bush, yang seperti halnya Trump sama-sama presiden yang dicalonkan partai republik, AS pun secara sepihak mengundurkan dari dari kesepakatan Traktat Anti-Rudal Balistik. Sehingga Presiden Rusia Vladimir Putin menganggap Traktat INF kehilangan relevansinya.
Karenanya dengan keputusan Presiden Trump secara sepihak membatalkan Perjanjian INF itu, dengan serta merta muncul kecurigaan kuat bahwa Trump punya agenda tersembunyi di balik pembatalan tersebut. Membaca jalan berpikir Trump maupun para klan politik berhaluan neo-koservatif menyusul pembatalan sepihak INF pada 2019 lalu, nampaknya semua kesepakatan yang dibuat pemerintahan sebelumnya, terutama terkait perjanjian pertahanan baik dengan sesama negara adikuasa maupun dengan negara yang dipandang sebagai ancaman seperti Iran, dinilai sebagai konsesi yang merugikan kepentingan strategis AS. Sehingga dianggap sebagai pertanda kelemahan di pihak Amerika.
Maka itu, para jenderal di Pentagon begitu Trump berkuasa, meerilis National Defense Posture, menegaskan kembalinya situasi seperti di era Perang Dingin, dan menegaskan pula bahwa Rusia dan Cina sebagai musuh utama Amerika.
Dengan tidak lagi berkomitmen pada Perjanjian INF 1987 maupun Traktat Anti-Rudal Balistik the Anti-Ballistic Missile Treaty (ABM Treaty), Wahington nampaknya kali inipun bermaksud mengembangkan persenjataan strategis yang berskala lebih agresif daripada sebelumnya.
Jika semangat Perjanjian INF Reagan-Gorbachev pada 1987 salah satu pertimbangannya adalah untuk mencegah terwujudnya SDI, apakah sekarang Trump juga bermaksud menghidupkan kembali program militerisasi ruang angkasa ala SDI?
Mungkin ada baiknya kita telisik sebuah dokumen yang dirilis pada April 2025 lalu, yang kalau kita cermati secara mendalam, serupa dengan Program SDI. Dalam kata pengantar dokumen yang berjudul: United States Space Force Space Warfighting; A Framework for Planners, sudah memberi suatu pertimbangan yang cukup mencemaskan dalam kata pengantarnya, betapa pentingnya AS menghidupkan kembali Progam Militerisasi Ruang Angkasa. Dalam kata pengantar dokumen tersebut ditegaskan oleh
“Akses dan kemampuan untuk beroperasi secara bebas di luar angkasa sangat penting bagi kepentingan nasional AS. Kerangka kerja ini menyajikan pengetahuan terkini Pasukan Luar Angkasa Amerika Serikat (USSF) yang berkaitan dengan peperangan di luar angkasa. Kerangka kerja ini memberikan perspektif panduan tentang bagaimana cara terbaik untuk menghadapi peperangan di ranah luar angkasa dalam rangkaian seluruh persaingan militer dengan negara-negara lain.”
Dalam bahasa lugasnya, AS bermaksud mengancam untuk tidak segan-segan sistem ruang angkasa negara musuh dengan dalih untuk mempertahankan satelit Amerika. Bukankah hal ini sangat jelas bahwa AS bermaksud memiliterisasikan kembali ruang angkasa yang sempat batal pada 1987 ketika Reagan dan Gorbachev bersepakat menandatangani Perjanjian INF?
Baca:
SPACE WARFIGHTING
A Framework for Planners
Kerangka kerja ini diinformasikan melalui Catatan Kepala Operasi Luar Angkasa, doktrin USSF, doktrin bersama, dan Strategi Luar Angkasa Komersial USSF (2024).
Keunggulan ruang angkasa merupakan prioritas pasukan gabungan. Hal ini khususnya penting setiap kali musuh mampu mengancam pasukan sekutu AS di ranah ruang angkasa atau yang dipandang bakal menghambat kemampuan Komando Pasukan Gabungan (JFC) untuk melakukan operasi.
Nampak jelas dari dokumen tersebut, Gedung Putih dan Pentagon bermaksud menghidupkan kembali konsep Star Wars (Perang Bintang) berdasarkan Skema SDI usulan Ronald Reagan pada 1983. Menggunakan dalih adanya ancaman dari negara-negara adikuasa pesaing AS seperti Uni Soviet di era Perang Dingin atau Rusia pada era Pasca-Perang Dingin di ranah ruang angkasa, sebagai alasan pembenaran untuk mengembangkan Program Militerisasi Ruang Angkasa.
Mari simak lebih lanjut alasan pembenaran yang tertulis dalam dokumen tersebut:
“Baik secara langsung di ranah ruang angkasa, atau melalui kemajuan dalam kemampuan keunggulan ruang angkasa, pesaing yang setara dan setara dekat mampu menantang atau menolak kendali ranah ruang angkasa. Kemampuan ini, yang didukung oleh kemajuan dunia maya dan ruang angkasa, menghadirkan tantangan yang semakin besar bagi kemampuan Pasukan Gabungan untuk menjalankan keunggulan ruang angkasa. Operasi ruang angkasa tidak hanya bersifat global, tetapi juga multidomain. Serangan yang berhasil terhadap segmen terestrial, tautan, atau orbit dapat menetralisasikan kemampuan ruang angkasa; oleh karena itu, akses, manuver, dan pemanfaatan ranah ruang angkasa memerlukan operasi ofensif dan defensif yang dilakukan secara terencana dan tersinkronisasi di semua segmen.”
Jelas bukan? Inilah yang jadi fondasi Pengembangan Program Militerisasi Angkasa Luar AS yang pada prakteknya tidak saja bersifat defensif melainkan juga agresif. Seperti jelas tercantum dalam frase kalimatnya, “ Oleh karena itu , akses, manuver, dan pemanfaatan ranah ruang angkasa memerlukan operasi ofensif dan defensif yang dilakukan secara terencana dan tersinkronisasi di semua segmen.”
Dokumen tersebut menggambarkan secara rinci apa tujuan strategis di balik program USSF tersebut. “Keunggulan ruang angkasa dapat beralih dari pertahanan ke penyerangan dan dilakukan di sekitar pesawat antariksa musuh, kawan, dan komersial, atau di sepanjang jalur komunikasi bersama di ruang angkasa dan dunia maya. Keunggulan ruang angkasa dapat melibatkan pencarian dan penghancuran pesawat antariksa, sistem, dan jaringan musuh melalui langkah-langkah yang dirancang untuk meminimalkan efektivitas sistem tersebut, atau melawan upaya musuh di domain peperangan lainnya (darat, laut, udara, dan dunia maya).
Lebih mengkhawatirkan lagi ketika dokumen tersebut menjelaskan:
“Keunggulan ruang angkasa memungkinkan pasukan militer di semua wilayah untuk beroperasi pada waktu dan tempat yang mereka pilih tanpa gangguan yang menghalangi dari ruang angkasa atau ancaman kontra-ruang angkasa, seraya juga mencegah hal yang sama terhadap musuh. Keunggulan ruang angkasa tidak hanya melindungi kemampuan ruang angkasa pihak sekutu dari serangan, tetapi juga mencakup perlindungan pasukan sekutu di semua wilayah dari serangan yang dimungkinkan oleh ruang angkasa. Eksploitasi wilayah ruang angkasa oleh musuh memungkinkan musuh untuk berkomunikasi dan menemukan, terlibat, dan melakukan penilaian pasca-serangan terhadap pasukan gabungan dan mitra; keunggulan ruang angkasa memungkinkan pencegahan keunggulan utama musuh ini. Kemampuan untuk membangun keunggulan ruang angkasa pada waktu dan tempat yang kita pilih memungkinkan kematian bersama di semua wilayah.
Menyimak kalimat terakhir paragraph ini, “Kemampuan untuk membangun keunggulan ruang angkasa pada waktu dan tempat yang kita pilih memungkinkan kematian bersama di semua wilayah.”
Bukankah kalimat tersebut sesuai dengan doktrin yang cukup terkenal di era Perang Dingin yaitu doktrin Mutually Assured Destruction (MAD)?, yang mana ketika salah satu negara adikuasa tersebut dibenarkan untuk membalas serangan pertama yang dilancarkan oleh negara adikuasa pesaingnya. Artinya, mari kita sama-sama hancur.
Dalam gambar 1 berikut Ini, menyoroti pilihan keunggulan ruang angkasa bagi Amerika Serikat terhadap musuh potensial. Kondisi di mana keduanya memiliki kemampuan penuh tidak diinginkan dan mengakibatkan gangguan yang menghalangi bagi Pasukan Gabungan selama konflik. Kondisi di mana keduanya tidak memiliki kemampuan penuh tidak diinginkan karena Pasukan Gabungan sangat bergantung pada ruang angkasa untuk mencapai efek gabungan. Kondisi yang diinginkan adalah memaksimalkan keunggulan AS sambil meminimalkan keunggulan musuh potensial. Yang penting, tindakan yang diambil untuk mencapai keunggulan ruang angkasa tidak boleh sepenuhnya membahayakan keselamatan, keamanan, stabilitas, atau keberlanjutan jangka panjang dari domain ruang angkasa.
Singkat cerita, cetak biru ‘Perang Luar Angkasa’ untuk masa depan telaj dirilis oleh AS pada April 2025 lalu, sebagai proyeksi kekuatan global untuk menghadapi apa yang diklaim Washington sebagai negara musuh. Baik terhadap negara sesame adikuasa seperti Cina dan Rusia, melainkan juga negara-negara lainnya yang merupakan potensi ancaman dalam persepsi subyektif AS.
USSF menguraikan rencananya untuk mempertahankan kemampuan luar angkasa AS dan mempertahankan “rantai pembunuhan dari jarak jauh sekaligus sebagai proyeksi kekuatan global AS di masa depan.” Sebagai Pasukan Gabungan untuk mencapai “superioritas luar angkasa” jangka pendek, menengah, dan panjang.
Dokumen tersebut lebih lanjut memaparkan: “Keunggulan luar angkasa” didefinisikan oleh cabang militer yang bergerak di bidang luar angkasa sebagai memiliki “tingkat kendali yang memungkinkan pasukan untuk beroperasi di waktu dan tempat yang mereka pilih tanpa gangguan yang menghalangi dari luar angkasa atau ancaman kontra-ruang angkasa, sementara juga mencegah hal yang sama terjadi pada musuh.”
Dokumen yang berfungsi sebagai panduan bagi para ahli di kalangan komunitas militer itu berkesimpulan:
“Keunggulan luar angkasa dapat melibatkan pencarian dan penghancuran pesawat ruang angkasa, sistem, dan jaringan musuh melalui tindakan yang dirancang untuk meminimalkan efektivitas sistem tersebut, atau melawan upaya musuh di domain peperangan lainnya (darat, laut, udara, dan dunia maya).”
Untuk mencapai tujuan dominasi domain langsung ini, cabang militer menyusun rencana taktik dan strategi ofensif dan defensif dalam tiga area misi — Perang Orbital, Perang Elektromagnetik, dan Perang Dunia Maya.
Operasi kontra-ruang angkasa yang bersifat ofensif meliputi serangan orbital, serangan terestrial, dan interdiksi hubungan ruang angkasa — yang meliputi serangan elektromagnetik dan jaringan siber yang dilakukan untuk “mengganggu, menolak, atau melemahkan hubungan ruang angkasa penting musuh.
Tampak jelas, AS sedang menyulut Perang Dingin Jilid 2, jika program militerisasi ruang angkasa tersebut benar-benar dilaksanakan. Berarti pula, AS lah yang memulai babak pertama menghidupkan kembali Perang Bintang (Star Wars) ala SDI seperti yang diusulkan Ronald Reagan pada 1983 lalu. Bahkan bisa jadi lebih berbahaya dan lebih parah daya hancurnya dibandingkan Program.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute