Di kawasan Timur Tengah konflik AS dan Rusia semakin berkobar, dengan mendorong Ukraina sebagai agen proxy-nya di Eropa Timur, untuk membantu kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang berada di Idlib, Suriah, melancarkan perang paramiliter terhadap Suriah dan Rusia.
Dilaporkan bahwa HTS ditawari 75 kendaraan udara tak berawak (UAV). Sebagai imbalannya, HTS bersedia ikut serta bersama AS dan Ukraina untuk melancarkan aksi militer terhadap Suriah dan Rusia.
Baca: Presiden Ukraina Minta Bantuan Pejuang Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah
Masalah jadi semakin krusial ketika 250 personil militer yang sebagian besar merupakan instruktur pelatihan militer itu, sebagian dikerahkan ke beberapa fasilitas produksi di kota Idlib, dan sebagian lagi ke daerah Jisir al-Shughur. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, para milisi yang tergabung dalaitu, sedang dilatih untuk membuat drone. Beberapa sumber mengatakan bahwa ada 75 pesawat nir-awak atau unmanned aerial vehincle (UAV) telah diberikan kepada kelompok HTS di Idlib dalam bentuk komponen-komponen yang dibawa bersama-sama dengan barang-barang lainnya untuk konsumsi warga sipil.
Pertemuan antara para agen-agen militer dan intelijen Ukraina dengan beberapa pimpinan HTS seperti Heysem Ömeri, salah satu pemimpin HTS berlangsung pada 18 Juni 2024. Melansir aydinlik, Omar al-Shishani, yang terakhir kali ingin ditinggalkan oleh pemerintahan Kiev, pernah disebut sebagai “Menteri Perang” DAESH. II. Shishani, yang berperang melawan Rusia di Ossetia selama Perang Chechnya, pergi ke Suriah pada tahun 2012 dan bersumpah setia kepada Pemimpin ISIS Baghdadi. Melalui pemetaan ini, tampak jelas bahwa ada semacam konfigurasi yang terbangun di kelompok-kelompok Islam radikal, yang bertemu dengan kepentingan strategis AS, untuk menghadapi fron pertempuran baru menghadapi Suriah dan Rusia.
Jika informasi tersebut dapat dipercaya, AS dan Ukraina sedang memindahkan fron pertempuran dari Ukaraina ke Suriah untuk menciptakan fron pertempuran baru dengan angkatan bersenjata Rusia di Suriah.
Apalagi sempat juga terbetik kabar bahwa beberapa agen intelijen Ukraina telah berkunjung ke Idlib beberapa kali untuk berkoordinasi dengan kelompok pemberontakan bersenjata Suriah, yang pada perkembangannya nanti, berencana untuk melancarkan serangan militer terhadap Rusia.
Besar kemungkinan para agen-agen intelijen militer AS dan Ukraina tahu persis bahwa beberapa pentolan HTS pernah bergabung dengan kelompok separatis Chechnya dan negara pecahan Uni Soviet, Georgia, untuk menghadapi Rusia pada 2000-an. Namun setelah Rusia berhasil menetralisir Chechnya dan Georgia, para milisi HTS tersebut pindah ke Suriah. Dan dari sinilah, kepentingan AS, Ukraina dan HTS, dapat disatukan di lapangan.
Maka ketika terbetik kabar bahwa sekitar 250 prajurit militer Ukraina tiba di propinsi Idlib, Suriah, untuk melatih milisi jihad Hay’at Tahrir al-Sham, dan mengajarkan bagaimana membuat pesawat tanpa awak drone, Situasi semakin krusial ketika para prajurit militer Ukraina tersebut sudah dikirim ke fasilitas produksi pesawat tanpa awak milisi pimpinan Abu Mohammad al-Julani, di wilayah Idlib dan Jisir al-Shugur.
Ada data terkonfirmasi bahwa jumlah instruktur Ukraina yang sudah tiba di Idlib mencapai 250 orang, demikian menurut seorang sumber rahasia yang dilansir oleh situas berita viva.
Baca: Lawan Pengaruh Rusia, Ratusan Tentara Ukraina Latih Milisi Jihad Suriah Bikin Drone
Perkembangan tersebut bisa dipastikan akan semakin meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah. Rusia saat ini merupakan sekutu utama Presidn Bashar al Assad dan telah mengerahkan pasukan militernya di wilayah kedaulatan Suriah atas permintaan Presiden Assad.
Terkait dengan adanya indikasi bantuan Ukraina kepada pasukan milisi pemberontak HTS, harian Suriah Al Watan melaporkan bahwa kepala intelijen militer Ukraina, Kyrylo Budanov, telah menjalin kontak yang cukup intensif dengan pemimpin HTS dalam rangka perekrutan anggota-anggota milisi untuk bergabung dalam komando pasukan militer Ukraina.
Indikasi perpindahan fron pertempuran yang semula antara Ukraina-Rusia ke Suriah-Rusia versus AS dan NATO, sebenarnya cukup aneh mengingat eskalasi konflik bersenjata antara Ukraina versus Rusia sejak Februari 2022 hingga kini, masih tetap berlangsung. Konflik bersenjata Ukraina-Rusia meletus bermula ketika Rusia ada indikasi kuat bahwa NATO sebagai persekutuan militer AS dan Eropa Barat, bermaksud meluaskan lingkup pengaruhnya ke wilayah perbatasan dengan Rusia, dengan mengajak Ukraina bergabung ke dalam persekutuan NATO.
Maka dengan tak ayal, ketika Rusia memutuskan melancarkan “operasi militer terbatas” mencegah kemungkinan persekutuan AS-NATO-Ukraina, negara-negara blok Barat yang sejatinya sebagai pemicu operasi militer Rusia ke Ukraina, segera memberikan bantuan militer, terutama persenjataan militer, kepada Ukraina.
Namun meskipun konflik bersenjata Rusia-Ukraina sudah berlangsung dua tahun dan tetap tidak ada penyelesaiannnya, Ukraina yang sejak 2014 merupakan perpanjangan tangan kebijakan luar negeri AS dan blok Barat, nampaknya mulai ragu dengan prospek peperangan yang sepertinya semakin tidak jelas arah dan tujuannya itu.
Maka indikasi adanya keterlibatan Ukraina ke Suriah, membantu kelompok-kelompok muslim radikal yang berada dalam payung HTS, sepertinya AS dan Ukraina sedang berupaya memindahkan fron pertempurannya yang sepertinya menemui jalan buntu di Ukraina, ke kawasan Timur Tengah. Namun menghadapi musuh yang sama, yaitu Rusia yang bersekutu dengan pemerintahan Suriah yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Bashar al Assad.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)