ASMARA HADI (1914-1976): BUNG KARNO DAN ROSA LUXEMBURG

Bagikan artikel ini
Nama sebenarnya adalah Ipih Abdul Hadi. Lahir 8 September 1914, di Lubuk Ngantungan, Bengkulu. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ibunya bernama Khamaria, dan ayahnya Khobri bin Merah Hosen gelar “Raja Api”.
Ketika jatuh cinta kepada Ratna Juami Ningsih, putri angkat Soekarno dan Inggit Ganarsih, ia memakai nama samaran Hadi-Ratna, sebagai lambang persatuan antara Asmara Hadi dan Ratna Juami. Nama Hadi-Ratna menjadi populer dan dipendekkan menjadi HR. Saat menulis di majalah Mandala, ia memakai nama samaran lain: Ibnu Fatah. Tapi, nama pena yang kemudian melekat dengan dirinya, ya Asmara Hadi.
Setamat HIS di Bengkulu, ia melanjutkan MULO di Bandung. Di kota inilah ia masuk dunia pergerakan. Ia temasuk salah seorang kader yang digembleng langsung oleh Bung Karno dalam kursus-kursus politik. Jadi, tak heran pandangan politiknya terpengaruh kuat pemikiran Bung Karno.
Mungkin gambar 3 orang dan orang berdiri
Pengalamannya di bidang jurnalistik juga cukup panjang. Mula-mula ia menjadi staf redaksi Fikiran Rakyat, yang didirikan Bung Karno di tahun 1932. Tahun 1935 Asmara Hadi bekerja sebagai redaktur harian Bintang Timoer, yang dipimpin Parada Harahap. Lalu ia menjadi pemimpin redaksi Pelopor Gerindo, majalah yang terbit sepanjang 1937 hingga 1938. Setelah itu, ia memimpin majalah Toejoean Rakjat, yang terbit sepanjang 1938-1941.
Dia juga pernah bekerja di surat kabar Pemandangan yang tidak lama kemudian bubar, lalu berganti nama menjadi Pembangoenan, di tahun 1943. Tapi Pembangoenan dilarang terbit pemerintah pendudukan Jepang. Asmara Hadi dan sejumlah wartawannya kemudian disalurkan ke Asia Raja, majalah yang didirikan pemerintahan pendudukan Jepang. Di sini ia sebagai penulis khusus mengenai kebudayaan dan filsafat. Ia juga tercatat sebagai pembantu tetap majalah Pujangga Baru, yang dipimpin Sutan Takdir Alisyahbana.
Di antara kalangan wartawan segenerasinya, Asmara Hadi termasuk yang paling banyak membaca buku-buku karya pemikir dunia: Karl Marx, Henriette Roland Horst, Troelstra, Hendrik de Mann, Trotsky, Liebknecht, dan lain-lain. Bagi Asmara Hadi buku merupakan barang berharga. Sewaktu Yogyakarta diduduki Belanda, di tahun 1948, dan ia beserta keluarga harus meninggalkan kota itu, ia mengutamakan membawa buku, sementara pakaian hanya secukupnya.
Karangan yang ditulisnya beragam bidang kehidupan: politik, kebudayaan, prosa, puisi, dan lain-lain. Di kalangan rekan-rekannya, ia disebut memiliki beragam profesi: wartawan, sastrawan, ahli pikir, politikus, filsuf, dan juga seorang “pemimpi”.
Sebagai penyair, ia dikenal sebagai “Penyair Api Nasionalisme”. Memang puisi-puisinya kebanyakan menyuarakan tentang semangat perjuangan dan kebangsaan. Semangat perjuangan yang tak kunjung padam itulah yang, antara lain, melahirkan sajak “Kepada Diponegoro”. Asmara Hadi merasa terhina oleh ejekan orang Belanda, Vermijs, yang mengatakan bahwa Indonesia tidak akan merdeka. Hatinya terasa mendidih sehingga lahirlah sajak tersebut.
Semangat kebangsaan dalam puisinya terlihat melalui unsur-unsur romantik yang berpadu dengan patriotisme. Hal itu memberikan isi pada puisi-puisinya yang penuh harapan untuk masa depan bangsa Indonesia. Kejayaan tanah air selalu membayang di pelupuk matanya, kejayaan yang baru akan tercapai dalam alam kemerdekaan. Dia sadar bahwa kemerdekaan memerlukan perjuangan.
Puisi-puisinya yang menggambarkan semangat kebangsaan, antara lain adalah Bangsaku Bersatulah; Chandra Bhirawa; Sengsara Doenia; Kemenangan Pasti. Para kritikus yang membicarakan puisi-puisi Asmara Hadi, antara lain Teeuw dan J.U. Nasution. Teeuw menilai Asmara Hadi sebagai pembaharu dalam pemodernan bentuk dan isi sajak, termasuk penganjur realisme masyarakat (sosialis).
Sementara itu, J.U. Nasution menyatakan bahwa Asmara Hadi banyak menyuarakan semangat kebangsaan melalui puisi-puisinya sehingga puisi-puisinya itu disebut api nasionalisme. Selain itu, dalam puisi-puisinya juga tergambar cita-cita yang penuh harapan untuk masa depan bangsa. Bahasa puisi puisi Asmara Hadi tergolong lugas dan sederhana.
Salah satu karya awalnya di dunia kepenyairan adalah puisi berjudul “Bangsaku, Bersatulah”, yang dimuat di Fikiran Rakyat, edisi Nopember 1932:
Kalau kupikir kukenang-kenang/ Hatiku duka merasa pilu/ Lautan besar rasa kurenang/ Pekerjaan berat sukar terlalu.
Indonesia merdeka ditjita-tjita/ Menjadi kenangan setiap waktu/ Tetapi apa hendak dikata/ Bangsaku belum lagi bersatu.
Mereka mengaku ingin merdeka/ Baris persatuan lenggang dan jarang/ Bagaimana mau tampil ke muka/ Kalau kekuatan kita kurang.
Saudaraku, sebangsa dan setanah air/ Dengar apalah aku berseru/ Indonesia merdeka supaja lahir/ Hilangkan sifat tengkar tjemburu !
Wahai saudaraku, bangsa melarat/ Supaja dapat apa ditjita/ Aturlah barisan kuat dan rapat/ Sepakat semanis, seia sekata.
Puisi-puisi Asmara Hadi pernah dimuat dalam Pikiran Rakjat, Poedjangga Baroe, Tudjuan Rakjat, dan Pandji Poestaka. Oleh J.U. Nasution dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1965 dengan judul “Asmara Hadi Penjair Api Nasionalisme”. Buku ini melukiskan cahaya kemenangan yang terpancar dalam suramnya perjuangan.
Selain menulis puisi, Asmara Hadi juga menulis cerita pendek. Cerpen yang terkenal berjudul “Yang Tidak Dapat Dihilangkan”, yang ditulisnya ketika ia pindah dari Yogyakarta ke Bandung. Cerpen ini berisi riwayat seorang temannya selama perjuangan yang telah kehilangan semua harta bendanya, tapi tetap bersemangat. Cerpen lainnya adalah ” Di Belakang Kawat Berduri”, berisi kisah pengalamannya selama ditawan Belanda. Cerpen tersebut kemudian diterbitkan oleh Penerbit Pemandangan.
*****
Saat menjadi anggota redaksi Fikiran Rakyat, Asmara Hadi juga menjadi guru di Taman Siswa Bandung. Pada 1933 ia bergabung dengan Partindo dan terlibat dalam sejumlah gerakan anti-Belanda, sehingga dijebloskan ke penjara. Tatkala Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, Asmara Hadi mengikutinya selama hampir dua tahun (1934-1935). Dan sekembalinya ke Jawa, ia pun segera menceburkan diri kembali dalam dunia pergerakan. Ia masuk Gerindo, yang dipimpin Amir Sjarifuddin Harahap. Akibatnya, ia berkali-kali masuk penjara pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Salah satunya bersama Amir, ia dipenjara mendekam di penjara selama tiga bulan.
Mungkin gambar teks
Ketika Perang Pasifik pecah, Asmara Hadi kembali ditangkap menjadi tawanan. Ia terpaksa meninggalkan istrinya, Ratna Juami, yang sedang mengandung. Ia dibawa ke Sukabumi bersama pemimpin pergerakan lainnya, dan ditawan di sana. Dari sana ia dibawa ke Garut, dan kemudian Nusakambangan.
Selain Bung Karno, dalam berjuang Asmara Hadi meneladani Rosa Luxemburg, pejuang revolusioner wanita berkebangsaan Jerman yang gigih, yang sebagian besar hidupnya untuk perjuangan. Kekagumannya terhadap tokoh pejuang wanita itu disampaikannya dalam puisi berjudul “Rosa”, yang dimuat di Pudjangga Baru, edisi Juli 1937:
Ketika ku tjabar dalam penjara/Wajahmu Rosa datang padaku/Ku jang sedih menuangkan sengsara/ Kau bawakan njala dalam dadaku.
Sunggguhpun lah hilang badanmu, Rosa/ Setelah hidup berjuang selalu/ Djiwamu masih dapat kurasa/ Mendjadi njala dalam djiwaku
Abad akan datang dan lalu/Generasi akan lahir dan hilang/ Timbul dan silam dilautan masa/ Tapi, Rosa, abadi namamu/Di pantheon histori, gilang-gumilang/ Sunar-suminar mengatasi masa!
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Asmara Hadi meneruskan perjuangannya sebagai wartawan dan politikus. Pada 1945, ia menjadi anggota KNIP, dan kemudian bergabung dengan PNI yang dibentuk kembali di tahun 1946.
Pada masa revolusi dia pun ikut hijrah ke Yogyakarta, ibukota RI selama masa perang kemerdekaan. Asmara Hadi sempat sebentar bekerja di Kantor Kementerian Pemuda, yang waktu itu dipimpin Wikana—kawan seperjuangannya sejak di Gerindo.
Di dalam PNI, Asmara Hadi termasuk dalam faksi nasionalisme-radikal. Ketika pertengahan tahun 1950-an PNI dikuasai faksi konservatif, dibawah Ketua Umum Soewirjo, ia termasuk salah seorang pengkritik yang keras. Lewat serangkaian tulisan di Suluh Indonesia, sejak Maret 1956, ia mendesak pimpinan PNI untuk menilai kembali kedudukan partai dan melakukan introspeksi.Ia mengingatkan adanya bahaya PNI merasa berpuas diri dengan kekuasaan yang baru saja diperoleh (pasca kemenangan di Pemilu 1955)—dengan jutaan anggota partai, fraksi terbesar di parlemen, dan pengaruh yang besar di pemerintahan. (Rocamora, 1991:259)
Ia mengatakan bahwa partai harus berhati-hati, karena prestasi itu bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan hanya alat untuk mencapai cita-cita Marhaenis dalam suatu masyarakat sosialis. Dia menulis tentang partai-partai seperti Kuomintang yang mulai dengan tujuan-tujuan radikal, namun sesudah memperoleh kekuasaan melepaskan tujuan-tujuan ini dan menjadi reaksioner. Asmara Hadi menyarankan agar PNI menentang oportunisme politik—menentang kompromi cita-cita partai untuk mencapai keuntungan politik yang bersifat sementara.
Asmara Hadi saat itu adalah anggota Komite Khusus DPP PNI, yang ditugaskan merancang rumusan baru ideologi partai. Karena itu, tepatlah bila ia mendesak pimpinan partai untuk kembali menilai kembali kedudukan partai dari segi ideologi partai. Kalau mau menjadi partai pelopor, katanya, “PNI harus melebur ideologi partai ke dalam organisasi partai, membuat peraturan yang lebih keras bagi anggota-anggota baru untuk mencegah masuknya orang-orang yang hanya memanfaatkan partai demi tujuan pribadi.”
Tapi, kritik Asmara Hadi dan kawan-kawannya sesama nasionalisme-radikal itu tidak diindahkan pimpinan PNI. Maka, kelompok ini kemudian mendirikan Partindo. Pendirian Partindo itu diumumkan pada 5 Agustus 1958. Sebagai Ketua Partindo ditunjuk Winarno Danuatmodjo, aktivis PNI yang pernah menjabat Residen Surabaya dan Gubernur Sumatera Selatan. Asmara Hadi menduduki posisi Wakil Ketua II.
Dalam pengumuman pendiriannya disebutkan bahwa partai ini merupakan kelanjutan Partindo sebelum perang dan berdasarkan “Marhaenisme yang sebenarnya”, yaitu yang didasarkan pada “Marxisme yang diterapkan untuk kondisi Indonesia”. Manifesto politik Partindo menelusuri perkembangan perjuangan Marhaenis dari masa sebelum perang, melalui revolusi dan “masa liberal”. Garis besar haluan manifesto mengikuti apa yang sebelumnya diambil para pemimpin pembaruan PNI, seperti Asmara Hadi dan (almarhum) Sarmidi Mangunsarkoro. Dikatakan bahwa meningkatnya “dominasi unsur-unsur borjuis dan liberal” dalam perjuangan telah menyebabkan pengkhianatan terhadap cita-cita revolusioner Marhaenis. Tugas Partindo adalah mengembalikan Marhaenis kepada tujuan-tujuan semula. (Rocamora, 1991: 273-274)
Menurut Joel Rocamora, dalam “Nasionalisme Mencari Ideologi: PNI 1945-1965” (LP3ES, 1991), meski tidak secara terbuka, Bung Karno mendukung pendirian Partindo. Garis politik nasionalisme-radikal yang ditetapkan Partindo sesuai dengan keinginan Bung Karno. Apalagi, di masa-masa itu, Bung Karno merasa kecewa dengan gerak konservatif PNI dibawah pimpinan Soewirjo.
Asmara Hadi sendiri sempat menjadi anggota parlemen mewakili Partindo. Tapi, partai ini tidak cukup berkembang sebagaimana diharapkan. Justru PNI, setelah dibawah kendali Ali Sastroamidjojo (sejak 1960) yang didukung kalangan muda nasionalisme-radikal, berhasil membawa PNI berpengaruh lagi dalam pentas perpolitikan nasional di masa Demokrasi Terpimpin. Sayang, pasca Peristiwa 30 September 1965, kekuasaan Bung Karno runtuh dan Orde Baru muncul. Kekuatan politik Sukarnois pun surut.
Di masa Orde Baru itupun, Asmara Hadi berhenti dari politik-praktis. Ia kembali menekuni dunia jurnalistik dan sastra. Profesi sebagai wartawan dan penyair adalah panggilan jiwanya, meski membuat kehidupan pribadi dan keluarganya serba tidak cukup.
Di penghujung hidupnya, hidup Asmara Hadi dan keluarganya terbilang kekurangan. Meski begitu, tak sekalipun ia menyesali jalan hidup yang telah dipilihnya tersebut. Hingga ajal menjemputnya. Asmara Hadi wafat di rumahnya, di Jalan Cilantah No. 24 Bandung, hari Jumat, 3 September 1976 dalam usia 62 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslimin Sirnaraga, Jawa Barat.
Penulis: Imran Hasibuan, wartawan senior dan penulis biografi tokoh-tokoh nasional
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com