Babad Diponegoro dan Nagarakretagama diakui sebagai Ingatan Kolektif Dunia atau Memory of the World (MOW). Program Ingatan Kolektif Dunia (MOW) United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) bertujuan untuk melindungi dan melestarikan warisan sejarah dunia dan memfasilitasi akses universal terhadap warisan dokumenter dunia tersebut.
Sertifikat kedua warisan budaya RI ini diserahkan Dewatapri UNESCO Dubes Carmadi Machbub kepada Wamenlu Wardana di Kemlu Pejambon siang ini (29/11).
“Ini merupakan bagian dari upaya dan komitmen untuk terus melestarikan budaya luhur bangsa Indonesia”, ucap Dubes Carmadi Machbub kepada Wamenlu Wardana usai penyerahan sertifikat UNESCO atas Babad Diponegoro dan Nagarakretagama.
Kedua warisan budaya Indonesia tersebut telah diterima pada Sesi ke-11 International Advisory Committee for the Memory of the World Programme yang diselenggarakan di Gwangju Metropolitan City, Korea Selatan, pada 18-21 Juni 2013.
Babad Diponegoro merupakan otobiografi Pangeran Diponegoro, yang ditulis selama masa pengasingan Pangeran Diponegoro di Sulawesi Utara pada tahun 1831-1832 yang berisi antara lain pandangan Pangeran Diponegoro terhadap kepemimpinan nasional dan keagamaan.
“Cukup mengagetkan bahwasannya Babad Diponegoro yang beratus ratus halaman ditulis hanya dalam waktu 9 bulan oleh Diponegoro saat menjalani hukuman pengasingan”, ucap Dubes Machbub.
Babad Diponegoro diusulkan untuk masuk ke dalam MOW oleh Perpustakaan Nasional RI dan Perpus Nasional Belanda (KITLV).
Sedangkan Naskah Nagarakretagama adalah dokumen gubahan Empu Prapanca yang menggambarkan kejayaan dan kebesaran Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Dokumen kuno ini ditulis di atas daun lontar dengan huruf arab dalam Bahasa Jawa Kuno. Berisi tentang hukum, undang-undang serta tata pemerintahan yang menjadi warisan Majapahit.
Program Ingatan Kolektif Dunia (MOW) UNESCO bertujuan untuk melindungi dan melestarikan warisan sejarah dunia dan memfasilitasi akses universal terhadap warisan dokumenter dunia tersebut.
Sebelumnya, pada tahun 2011, Epik La Galigo, yang ditulis antara Abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, juga telah terdaftar sebagai Ingatan Kolektif Dunia UNESCO.
“Budaya kita yang begitu kaya jangan hanya sekedar masuk ke dalam museum dan tidak dikenal oleh publik”, tandas Wamenlu Wardana. Menurutnya, semua pihak harus mampu membawa budaya kita yang sudah diakui dunia untuk lebih dikenal oleh bangsa sendiri.
“Jangan sampai malah kita yang belajar budaya kita dari negara lain”, canda Wamenlu sambil menutup pertemuannya dengan Dubes Machbub. (Kemlu RI)