Herdiansyah Rahman dan Otjih Sewandarijatun, peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta
Selain permasalahan “tradisional” yang dapat menghambat pelaksanaan Pemilu seperti daftar pemilih tetap yang invalid, institusi penyelenggara Pemilu yang kurang cermat dan kurang professional, ataupun honorarium yang terganjal, sehingga menimbulkan “kebosanan” mereka sebagai penyelenggara Pemilu untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsional, namun masih ada “batu-batu kerikil” yang dapat mengancam Pemilu 2014 antara lain, seruan golput yang makin intens disuarakan berbagai kalangan, bentrok antar warga yang masih sering terjadi di beberapa daerah serta peredaran uang palsu yang juga masih sering terjadi.
Banyak kalangan yang sudah memprediksi bahwa potensi konflik yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan tahapan pemilu, antara lain penyelenggara dengan masyarakat, peserta pemilu dengan penyelenggara dan antara masyarakat dengan masyarakat.
Setidaknya ada “batu-batu kerikil” yang dapat mengancam pelaksanaan Pemilu 2014, sehingga perlu mendapatkan pencermatan dan pemantauan dari institusi penyelenggara negara atau pemerintah seperti ajakan golput termasuk dari kelompok yang menilai golput langkah yang tepat karena diperintah thoghut. Disamping itu, juga beredarnya uang palsu dan bentrok antar masyarakat akan menjadi ancaman yang juga serius.
Menurut Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Pemilu 2014 adalah rekayasa politik para bankir untuk menciptakan para boneka yang melindungi kepentingannya. Lembaga hasil pemilu adalah instrumen untuk menguasai rakyat agar dapat diperbudak oleh para bankir melalui utang negara dan pajak. Sebentar lagi para pemilih yang cerdas akan menyalurkan hak politiknya dengan memilih golput. Hal ini disebabkan, demokrasi adalah sistem politik busuk dan pemilu di era demokrasi adalah cara paling busuk untuk memilih pemimpin. Tidak pernah ada dalam sejarah demokrasi bahwa hasil pemilu era demokrasi lebih baik dari hasil pemilu sebelumnya.
Pemilu merupakan rekayasa politik untuk memunculkan legitimasi rakyat kepada para pemilik modal agar bias disebut sebagai wakil rakyat. Pemilu adalah proses politik rekayasa yang hanya menghasilkan konflik, perseteruan, dan perpecahan dalam masyarakat.
Permasalahan peredaran uang palsu yang juga masih terjadi di beberapa daerah dapat menjadi ancaman pada Pemilu 2014, karena selain berpotensi mengganggu perekonomian nasional, juga uang palsu tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan untuk melakukan money politics oleh oknum-oknum dalam Pemilu 2014.
Thomas Fergusson dalam Investment Theory of Party Competition (1995) menyatakan, dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money driven political system), kebijakan-kebijakan politik tidak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elit bisnis dan investor. Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan bergeser kearah plutarchy (penguasaan negara oleh oligarki kaya). Oleh karena itu, jangan sampai salah pilih.
Belum lama ini, Bank Indonesia (BI) dan Bareskrim Polri melakukan pemusnahan uang rupiah palsu sedikitnya 135.110 lembar. Pemusnahan uang rupiah palsu tersebut menggunakan Mesin Racik Uang Kertas milik BI berdasarkan Surat Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 01/Pen.Mus.Pid/2014/ PN.Jkt.Sel tanggal 7 Januari 2014 perihal penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang pemberian izin kepada penyidik untuk melakukan pemusnahan benda sitaan. Total uang palsu yang dimusnahkan meliputi sebanyak 67.278 lembar pecahan Rp100.000, 56.764 lembar pecahan Rp50.000, 5.033 lembar pecahan Rp20.000,-, 3.553 lembar pecahan Rp10.000, 2.460 lembar pecahan Rp5.000, 19 lembar pecahan Rp2.000, dan 3 lembar pecahan Rp1.000,-. Uang rupiah palsu tersebut merupakan hasil temuan dari proses penyortiran uang kertas di BI dan laporan masyarakat kepada kepolisian dan perbankan yang kemudian diserahkan kepada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri. Temuan uang rupiah palsu terkumpul sejak tahun 2008 s.d. 2013.
Sebelumnya, di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, telah dilakukan penangkapan terhadap seorang pengedar uang palsu dengan barang bukti senilai Rp 339,6 juta. Modusnya pelaku mengedarkan upal dengan membeli sapi di Desa Andoolo Utama, Kecamatan Buke. Setelah dilakukan penggeledahan rumah pelaku, dan ditemukan sejumlah uang sebesar Rp16 juta. Sedangkan, di Kecamatan Tinanggea juga terinformasi pada tanggal yang sama ditemukan sejumlah uang palsu sebesar Rp 315 juta lebih dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu.
Ancaman Konflik Sosial
Salah satu ancaman yang ditakutkan sebelum, sesaat ataupun setelah pelaksanaan Pemilu 2014 adalah konflik sosial dalam berbagai variannya mulai dari konflik dalam bentuk bentrok antar warga, perang antar suku, keonaran geng motor dll, dimana beberapa institusi keamanan dan intelijen sudah memberikan early warning sebelumnya.
Sampai minggu ketiga Februari 2014, telah terjadi bentrok atau konflik sosial di beberapa daerah antara lain, di Desa Cikeusal Lor, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, terjadi pengeroyokan oleh sekelompok pemuda Desa Cikeusal Lor terhadap 5 orang pemuda dari Desa Cikeusal Kidul, karena kelima pemuda Desa Cikeusal Kidul sedang beranjangsana ke rumah pacarnya di Desa Cikeusal Lor. Sebelumnya, di Desa Nelelamadiken, Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, NTT, terjadi ketegangan antara Suku Wung Belolo dengan Suku Ata Mukin, yang melibatkan sekitar 100 orang dari kedua belah pihak. Ketegangan dipicu oleh adanya rencana seremoni adat untuk meminta hujan, yang akan dilakukan oleh Suku Wung Belolo di Rumah Adat Suku Wung Belolo dan di Pondok Adat Bukit Balile, yang selama ini menjadi sengketa antara Suku Wung Belolo dengan Suku Ata Mukin.
Di Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, terjadi perkelahian antara warga Desa Bulud dengan Desa Otam, di perbatasan kedua desa, dengan saling menyerang menggunakan senjata tajam dan bom molotov, serta saling lempar batu yang mengakibatkan 4 rumah dan 1 unit mobil rusak, karena permasalahan yang sepele. Di Karame, Kecamatan Singkil, Kota Manado, Sulawesi Utara, terjadi tawuran antara warga Kelurahan Karame dengan warga Kelurahan Wonasa, yang melibatkan sekitar 50 orang dengan menggunakan batu dan panah, disebabkan oleh minuman keras dan adanya dendam lama di antara kedua kelurahan. Sedangkan bentrokan terjadi bentrokan antara dua desa dari dua kecamatan yang berbeda, serta beberapa desa di wilayah Sulawesi Tengah.
Menjelang 44 hari (saat artikel ini dibuat) masih banyak permasalahan yang berpotensi menganggu bahkan mengancam kelancaran Pemilu 2014. Kondisi ini harus menjadi tantangan bersama untuk secepatnya diselesaikan oleh semuanya yang masih mencintai Indonesia.