Semakin memanasnya situasi di kawasan Timur Tengah menyusul tumbangnya Presiden Suriah Bashar al-Assad, eskalasi konflik AS versus Cina di Asia Pasifik pun, sepertinya juga semakin menajam. Dalam beberapa bulan terakhir, AS dan negara-negara sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), berupaya menggelar dialog dengan negara-negara di Asia Pasifik untuk memperluas pengaruhnya di kawasan ini. Terbukti ketika pada 17-18 Oktober 2024 lalu, NATO mengundang para kepala staf angkatan bersenjata atau panglima militer dari Korea Selatan, Australia, Jepang, dan Selandia Baru, dalam pertemuan berkala para menteri pertahanan negara-negara NATO yang diselenggarakan di Brussels, Belgia.
Dalam pertemuan para menteri NATO dengan beberapa sekutunya dari Asia seperti Korea Selatan dan Jepang, tercapai kesepakatan untuk memperluas lingkup persekutuan militer yang didukung NATO tersebut di Asia Pasifik. Dengan melibatkan beberapa negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Perhimpungan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) seperti Filipina, Singapore, Thailand dan Malaysia, untuk mengikuti latihan militer bersama.
Nampak jelas bahwa upaya memperluas lingkup persekutuan militer antara negara-negara NATO dengan beberapa negara di Asia Pasifik, sejatinya merupakan sarana untuk melayani kepentingan negara-negara blok Barat yang dimotori oleh AS dan Inggris. Terutama untuk membendung pengaruh kekuatan ekonomi dan militer Cina di Asia Pasifik.
Photo by Pexels user Pixabay
Namun pada saat yang sama ada kepentingan yang sejatinya lebih beraroma bisnis industri militer dan persenjataan sehingga pada perkembangannya akan memberikan keuntungan bisnis sangat besar kepada beberapa perusahaan-perusahaan peralatan militer seperti Boeing, Lockheed Martin, Northrop Grumman, General Dynamics, General Atomics dan Raytheon. Inilah yang kelak populer dengan istilah Kompleks Industri Militer yang mana beberapa perusahaan industri strategis pertahanan dan militer tersebut punya hubungan erat dan symbiosis mutualisme dengan para pejabat kunci di kementerian pertahanan AS (Pentagon).
(Untuk kajian lebih mendalam, silahkan baca buku karya Hendrajit dan kawan-kawan yang baru saja terbit: Neokolonialisme AS di Asia, Perspektif Indonesia. Jakarta: Indonesia Consulting Group, Desember 2024).
Untuk menggalang opini publik sehingga tercipta situasi yang kondusif sehingga muncul dukungan dari berbagai elemen masyarat, para Chief Executive beberapa perusahaan industri militer dan pertahanan tersebut telah menggalang beberapa think-thank untuk melanckarkan propaganda dan aksi pembentukan opini publik. Mereka antara lain adalah: Atlantic Council, Hudson Institute, Council of Foreign Affairs (CFR), Canadian Global Affairs Institute, dan Australian Strategic Policy Institute.
Baca juga:
Selling war: How Raytheon and Boeing fund the push for NATO’s nuclear expansion
Dengan itu, beberapa think-thank propagandis NATO tersebut mengembangkan opini yang sedemikian rupa sehingga kemudian memicu meningkatnya perlombaan senjata di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. The Atlantic Council misalnya, telah mendesak negara-negara NATO untuk melakukan penyesuain program persenjataan nuklirnya dengan mengembangkan persenjataan nuklirnya seperti pesawat tempur pembom B-61 dan rudal bermuatan nuklir Tomahaw dan SM-6 dengan dalih untuk menangkal Rusia dan negara-negara yang dipandang musuh dari Eropa Timur. Atlantic Council juga mendesak negara-negara NATO agar mengembangkan jaringan pangkalan rudal jarak menengah di kawasan-kawasan di luar Eropa.
Namun aspek yang luput dari perhatian adalah, rekomendasi dari Atlantic Council agar negara-negara NATO meningkatkan kapasitas persenjataan nuklirnya dari berbagai jenis, sebenarnya tidak bersifat independen. Melainkan atas arahan dan pemberian dana dari beberapa perusahaan industri pertahanan strategis dan militer tersebut di atas.
Baca juga:
One person’s think tank is another’s propaganda organ
Pesawat tempur pembom bermuatan nuklir seperti B-61, misalnya, sejatinya dirakit oleh Boeing. Menurut laporan keungan yang beredar baru-baru ini, Atlantic Council mendapat bantuan dana sebesar 10 ribu dolar AS. Sedangkan rudal SM-6 merupakan produksi Raytheon. Nampak jelas dari kedua kasus ini saja, misalnya, Boeing dan Raytheon mendapat keuntungan bisnis yang sangat besar.
Manuver AS dan NATO yang berkolaborasi dengan beberapa perusahaan industri pertahanan strategis tersebut, pada perkembangannya bukan saja berpotensi memicu perang nuklir di kawasan Asia Pasifik. Lebih dari itu, negara-negara di Asia Pasifik akan menurut perekonomian nasionalnya karena harus meningkatkan anggaran militernya pada skala yang cukup besar, atas desakan dari AS dan NATO.
Sehingga bukan saja di sektor ekonomi negara-negara Asia Pasifik akan semakin menurun, bahkan akan memicu timbulnya masalah sosial dan kemanusiaan.
Beberapa think-thank lainnya seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS), merupakan salah satu penganjur paling vokal agar AS dan NATO memasok senjata ke Ukraina, dalam perang menghadapi Rusia,Taiwan dan Israel. Israel mendapat dukungan kelompok pebinis militer tersebut untuk melancarkan genosida terhadap warga sipil Palestina.
Dengan begitu, think-thank yang mencitrakan dirinya sebagai lembaga kajian ilmiah dan strategis, sejatinya merupakan alat propaganda kepentingan beberapa perusahaan industri militer AS. Sehingga beberapa think-thank yang beroperasi di AS tersebut secara langsung menjadi sumber pemicu konflik di pelbagai kawasan di dunia. Lantaran peralatan-peralatan militer strategis yang dipasok dari AS kepada Israel, sebagian besar merupakan produk dari Northrop Grumman, Lockheed Martin, General Atomics, dan Raytheon. Pesawat pembom MK-84 yang digunakan Israel melancarkan pembantaian militer di Al Mawasi, Zona Perlindungan Kemanusiaan di Gaza, merupakan produk buatan General Dynamics. Dan dipasok ke Israel atas persetujuan dari Washington.
Semakin meluas medan perang di pelbagai kawasan, berarti keuntungan bisnis bagi perusahaan-perusahaan militer tersebut. Perang menjadi proyek meraup keuntungan bisn miliaran dolar AS. Beberapa perusahaan kontraktor militer swasta terungkap telah memberikan dana bantuan kepada 50 besar think-thank setidaknya sebesar 7,8 juta dolar AS pada 2023 lalu.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)