Belajar Geopolitik dari Rusia (2)

Bagikan artikel ini
Pasca Pak Harto lengser dan Orde Baru tidak berkuasa, secara bertahap sistem (konstitusi) Indonesia berubah total. Usai periode transisi (era Pak Habibie) berlalu, tatanan politik pasca-Orde Baru disebut dengan istilah Orde Reformasi yang ditandai empat kali amandemen —1999, 2000, 2001 dan 2002— secara radikal terhadap UUD 1945.
Kenapa radikal?
Lazimnya perubahan konstitusi itu melalui adendum, bukan dengan cara mengubah naskah/teks asli. Mengubah naskah aslinya identik dengan merobohkan negara, atau membentuk negara baru. Amerika (AS) misalnya, ia sudah mengamandemen konstitusinya sebanyak 27 kali demi menyesuaikan perkembangan zaman, dan semua bentuk perubahan diletak pada adendum, bukan mengubah, mengganti dan/atau menambahi naskah aslinya. Jadi, hingga kini teks konstitusi Paman Sam yang asli tetap orisinil. Utuh.
Berbeda dengan pola di AS, amandemen UUD 1945 melalui tata cara mengubah, mengganti naskah asli dan lain-lain. Betapa sungguh radikal. Bahkan boleh dibilang amandemen yang ‘super radikal’. Mengapa begitu, karena selain antara pembukaan UUD dan isi tidak lagi nyambung, secara format ada bab yang kosong, juga secara filosofi — konstitusi kita berubah menjadi kapitalisme.
Nah, peristiwa empat kali amandemen tersebut oleh beberapa tokoh bangsa ini disebut dengan istilah silent revolution, kudeta konstitusi, pengkhianatan terhadap UUD 1945, invasi senyap, dan lain-lain.
Gilirannya, amandemen terhadap UUD 1945 yang lahir pada 18 Agustus 1945 menyebabkan ‘tiga hal prinsip’ menjadi hilang dalam sistem konstitusi, antara lain:
Pertama, kedaulatan rakyat kini berpindah ke partai politik (parpol), sedang parpol sendiri cenderung bersandar kepada oligarki, kaum pemodal. Apa boleh buat. Kedaulatan rakyat hanya ada di bilik-bilik TPS belaka, karena usai pencoblosan — kedaulatan pun berpindah ke parpol. Dan rakyat selaku pemilik saham tak memiliki mekanisme untuk mengontrol ‘saham’-nya, bahkan tidak ada saluran untuk menitip aspirasinya.
Lagi-lagi, UU MD3 telah membajak kedaulatan rakyat beralih ke tangan ketua parpol melalui hak recall dan PAW. Anggota parlemen mirip petugas partai, mereka tidak berani vocal menyuarakan aspirasi rakyat karena takut di-recall, atau di-PAW ketika aspirasi rakyat berseberangan dengan kebijakan parpol.
MPR sebagai ujud (penjelmaan) kedaulatan rakyat tidak lagi sebagai lembaga tertinggi namun berubah menjadi lembaga tinggi sekelas DPR, DPA, BPK, MK, dan lainnya. Akibatnya, presiden tidak lagi sebagai Mandataris MPR yang menjalankan GBHN (politik rakyat), tetapi cenderung melaksanakan politiknya sendiri yang sarat dengan kepentingan oligarki.
Mekanisme pertanggungjawaban presiden setiap 5 tahun di MPR pun hilang. Tidak ada pula penggelaran Sidang Istimewa jika Mandataris melanggar konstitusi. Sekali lagi, kontrol rakyat selaku pemilik saham NKRI sudah tidak ada lagi;
Kedua, imigran kini dapat menjadi presiden, sebab kalimat ‘orang Indonesia asli’ dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 diubah menjadi ‘presiden adalah warga negara Indonesia’. Dengan demikian, kelak Indonesia bisa dipimpin oleh warga negara keturunan Jerman contohnya, atau imigran dari Ukraina, dari China, Amerika, dan seterusnya;
Ketiga, perekonomian berubah menjadi kapitalisme. Hal ini tercermin, selain ada 1% penduduk bisa menguasai 50% aset negara, juga tak sedikit komoditi yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru dikendalikan oleh swasta, bahkan dikuasai asing.
Dulu, kepemilikan saham oleh asing pada era Bung Karno hanya dibolehkan 5%; pada zaman Pak Harto naik menjadi 49%; dan era kini —Orde Reformasi— kepemilikan saham sudah di atas 51% bahkan di sektor tertentu mencapai 100%.
Bersambung ..
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com