Belajar Geopolitik dari Rusia

Bagikan artikel ini
Pasca runtuhnya Uni Soviet dekade 1991-an, terjadi perubahan fundamental di Rusia —salah satu negara ex Uni Soviet— khususnya pada aspek politik dan ekonomi.
Dalam tataran formal, sistem politik dan ekonomi Rusia berbeda secara diametral dengan Uni Soviet. Soviet itu komunis tulen baik politik maupun ekonomi. Sedangkan Rusia secara politik itu demokrasi – oligarkis, namun secara ekonomi ia sosialis-kapitalis.
Kalau Cina, komunis secara politik. Kekuasaan berada di Partai Komunis Cina. Tanpa oposisi. Akan tetapi, secara ekonomi berciri ‘state chaptured capitalist‘. Negara yang mengelaborasi dua ideologi (komumis – kapitalis) hidup berdampingan. One country and two system.
Pada era Soviet doeloe, gereja dan agama dilarang. Gereja ortodoks dibungkam. Nah, di era Rusia justru kebalikannya. Gereja ortodoks memainkan peran penting dalam dinamika sosial. Bahkan secara terbuka — Putin, para petinggi negara, dan masyarakat Rusia beribadah di gereja.
Dan perubahan di era Putin dianggap lebih baik daripada sistem sebelumnya (era Uni Soviet).
Indikasinya apa?
Dukungan rakyat terhadap Putin hampir tidak pernah surut; keamanan dan kesejahteraan rakyat terjamin; Rusia disegani kawan, ditakuti lawan; dan secara geopolitik, ia merupakan negara besar lagi kuat baik secara ekonomi, politik, maupun militer. Tampaknya, ketiga power concept geopolitik berada pada titik optimal di era Putin.
Buktinya?
Tak sedikit. Selain sebagai negeri produsen pangan dan energi, misalnya, atau net oil exporter countries, atau negeri autarki. Swasembada. Punya hak veto di PBB, Rusia juga merupakan negara nuklir terbesar di dunia.
Paling aktual untuk menyaksikan (bukti) kehebatan Rusia, lihat sewaktu ia diembargo (sekitar 6000-an sanksi) oleh AS dan sekutu terkait ‘invasi’-nya ke Ukraina. Betapa ribuan sanksi tak membuatnya kolaps. Kalau cuma goyang-goyang sedikit —wajar— ibarat kapal diterpa ombak.
Namun sebaliknya, beberapa negara Eropa (si pemberi embargo) justru tergoncang ekonominya akibat ‘efek balik sanksi’. Itu senjata makan tuan. Sangat unik. Diserbu oleh ribuan sanksi, kok ekonomi si penyerang malah tergoncang? Itulah sekilas kedigdayaan Beruang Merah, sebutan lain Rusia.
Mayoritas rakyatnya cenderung apolitik alias masa bodo. Disinyalir, kondisi ini akibat pahitnya masa lalu di era Soviet, sehingga membuat rakyat apatis soal sistem politik yang diterapkan elitnya. Rakyat tidak peduli sistem (politik) apa digunakan yang penting mereka sejahtera, memiliki kebebasan (dan beribadah), boleh melancong ke luar negeri, dan Rusia dipandang dunia.
Balik ke konstitusi. Bahwa sistem baru di Rusia lebih berpihak kepada Kepentingan Nasional daripada kepentingan segelintir elit atau golongan. Lebih pro rakyat ketimbang pro oligarki, contoh utama misalnya, bahwa sistem tersebut dapat menjaring pengusaha tajir yang ketiban berkah —windfall profit— atas pecahnya Uni Soviet.
Rusia di era Putin, “Oligarki dalam genggam negara”. Bila ada pengusaha yang tidak tunduk (pada sistem) maka akan ‘disikat’ secara tegas melalui mekanisme yang ada.
Dari sisi inilah Putin mencuri poin. Ia memiliki power dan kendali terhadap kaum oligarki di mana mandatnya berasal dari konstitusi. Jadi, power kendali Putin bukan faktor otoritarian, tidak pula karena kesewenang – wenangan. Bahwa negara yang mengontrol pengusaha, bukan sebaliknya.
Sekali lagi, negara-lah yang mengendalikan pengusaha. Ini baru (sistem) yang benar. Sila bandingkan dengan operasional sistem di beberapa negeri penganut full kapitalisme, atau ‘setengah’ kapitalis, kerap kali justru oligarki yang mengatur kebijakan publik agar kepentingannya didahulukan. Geblek. Bahkan pada momentum tertentu, negara bisa kalah dengan oligarki.
Mengapa bisa begitu?
Jawabannya satu kata, yaitu: “sistem”. Ya. Kuncinya di sistem (konstitusi) negara. Mau baik, mau buruk suatu negara, tergantung pada “sistem”-nya. Kalau sistemnya riba, jangankan manusia — malaikat pun bisa bertindak riba. Istilahnya terjebak oleh sistem. Sedangkan sistem yang korup, selain membidani perilaku koruptif, juga korupsi menjadi terstruktur, sistematis, dan masif.
Bagaimana ujud sistem yang korup? Nanti dijelaskan pada tulisan berikutnya.
Sebaliknya, jika suatu negara memakai sistem yang baik, iblis pun akan bertindak baik dalam konteks ke-sistem-an, kecuali ia keluar dari sistem. Muncul watak asli si iblis.
Pertanyaan menarik muncul, “Bagaimana dengan sistem alias konstitusi di Indonesia?”
Bersambung…
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com