Salah satu aspek strategis dari Skema Neokolonialisme AS di Asia, utamanya Asia Tenggara, adalah berupaya untuk tetap mempertahankan hegemoninya di kawasan ini dengan melibatkan negara-negara yang tergabung dalam Global South dalam kerja sama militer. Caranya dengan menawarkan insentif berupa investasi dan kredit kepaa negara-negara Asia.
Saat melancarkan intervensi militer ke Afghanistan, Irak dan Libya, AS mengklaim akan membantu negara-negara Global South atau negara-negara berkembang tersebut untuk membangun tatanan demokrasi dan kemakmuran ekonomi. Untuk itu, Washington memberikan bantuan dana triliunan dolar AS yang dialokasikan kepada ketiga negara tersebut seturut runtuhnya pemerintahan Taliban di Afghanistan, Saddam Hussein di Irak, dan Moammad Gadaffi di Libya.
Namun demikian, negara-negara yang mana AS telah mengklaim akan menciptakan tatanan demokrasi dan kemakmuran ekonomi ala kapitalisme berbasis korporasi multinasional ala Amerika, ternyata sampai sekarang masih tetap menderita ketimpangan sosial dan keterpurukan ekonomi. Sebab dana bantuan triliunan dolar AS yang dialokasikan kepada Afghanistan, Irak dan Libya sejak berlangsungnya proses transisi menuju perubahan rejim yang didukung Washington, hanya mengalir ke tangan para elit politik binaan AS maupun negara-negara Eropa Barat.
Para elit politik negara-negara berkembang tersebut sejatinya merupakan agen-agen perpanjangan tangan/proxy agents dari AS dan Barat yang telah dibeli dengan harga murah, untuk menguasai sumberdaya alam dari negara-negara berkembang. Inilah sketsa atau gambaran umum dari Skema Neokolonialisme AS yang ditujukan terhadap negara-negara yang tergabung dalam Global South. Dengan bantuan sepenuhnya dari Dana Moneter Internasional (IMF), Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), berikut media massa yang sudah berada dalam orbit pengaruh kekuatan-kekuatan global tersebut.
Ilustrasi tentara Amerika. Foto by: pixabay.comSalah satu studi kasus adalah Filipina, yang merupakan salah satu sekutu paling solid AS di Asia Tenggara (baca: ASEAN). Filipina, yang oleh AS dan sekutu-sekutu-nya dari Barat tetap saja dipandang sebagai mitra junior/junior allies, beberapa waktu lalu, tepatnya pada Februari 2023, telah menandatangani perjanjian kerja sama militer AS-Filipina berdasarkan Skema Enhanced Defense Cooperation Arrangement (EDCA).
Dalam perjanjian berdasarkan skema EDCA tersebut, AS akan mendapatkan konsesi lahan untuk membangun pangkalan militer di Filipina yang berada di empat lokasi: Pangkalan Angkatan Laut Camilo Osias di Santa Ana, Cagayan; Kamp Melchor Dela Cruz di Gamu, Isabela; Pulau Balabac di Palawan; dan Bandara Lal-lo di Cagayan.
EDCA juga memungkinkan AS untuk mengakses dan menggunakan fasilitas militer Filipina sebagai tempat persinggahan, logistik, dan latihan militer. Setidaknya itulah yang tersurat dalam Perjanjian EDCA.
Baca: Filipina dan AS Umumkan Lokasi Empat Situs Baru EDCA
Namun pada perkembangannya, kesepakatan AS-Filipina berdasarkan skema EDCA yang menjadi pintu masuk bagi AS untuk kehadiran kembali AS di Filipina, ternyata tidak sesuai dengan janji awal yang dinyatakan oleh Gedung Putih.
Berdasarkan skema awal dari perjanjian tersebut, AS siap berkomitmen membantu Filipina memberikan bantuan untuk menanggulangi bencana alam. Itulah misi utama penandatangan perjanjian kedua negara. Namun ketika beberapa waktu lalu Filipina dilanda bencana alam angin puyuh pada Juli 2024 (Typhon Carina), bantuan AS sebagaimana merujuk pada perjanjian EDCA tersebut, pemerintah Filipina belum memperoleh bantuan dari pasukan AS yang berpangkalan di Filipina.
Tidak adanya itikad dari otoritas militer AS dalam membantu pemerintah Filipina operasi penanggulangan bencana alam yang terjadi di Filipina, memperlihatkan secara terang-benderang bahwa prioritas utamanya adalah menguasai wilayah kedaulatan nasional Filipina melalui kehadiran militernya di negeri tersebut. Yang akan digunakan untuk melancarkan intervensi militer terhadap negara-negara yang berbatasan dengan Filipina, yang dipandang sebagai “musuh potensial” atau yang dipandang melawan skema kapitalisme global berbasis korporasi multinasional AS. Seraya mengabaikan kepentingan masyarakat Filipina pada umumnya seperti pembangunan ekonomi dan infrastruktur, pemberdayaan sosial masyarakat warga/civil society, dan aktualisasi kearifan lokal masyarakat pribumi Filipina di semua daerah.
Padahal, angin puyuh Typhon Carina itu jauh lebih parah dampak kerusakannya dibandingkan apa yang dialami warga Metro Manila saat terjadi angin puyuh (Typhon Ondoy) pada 2009 lalu.
Menurut keterangan Senator Imee Marcos, dalam menanggulangi operasi penanggulangan bencana Typhon Carina, pemerintah sudah mengeluarkan dana sebesar 1,4 juta pesos (mata uang Filipina) per hari. Dari fakta tersebut, warga masyarakat Filipina bertanya-tanya kemana saja AS saat masyarakat Filipina dilanda angin topan Typhon Carina?
Menariknya, beberapa pangkalan militer AS di Filipina berdasarkan skema EDCA, sebagian besar berlokasi di Luzon, sehingga wajar jika pihak berwenang Filipina sangat berharap bantuan AS dalam operasi penanggulangan bencana. Namun nyatanya, tak satupun pesawat helikopter atau perwira militer AS yang terlihat membantu para personil Angkatan Bersenjata Filipina dalam operasi tanggap bencana tersebut.
Ilustrasi helikopter di landasan pacu. Foto by: pixabay.comMengapa media massa di Filipina berdiam diri dan tidak menyorot ingkar janji pemerintah AS dalam mewujudkan misi utama perjanjian EDCA? Media malah menyorot dan memuji pemberian dana bantuan Amerika sebesar 500 juta dolar AS sebagaimana janji Presiden Joe Biden dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin ketika berkunjung ke Manila pada 30 Juli 2024 lalu.
Kunjungan Presiden Biden ke Manila pada 30 Juli 2024 itu bertaut erat dengan kerja sama militer AS-Filipina atau dikenal juga dengan 2+2 dialogue sebagai bagian integral dari dari Strategi Indo-Pasifik AS. Tapi ya itu tadi. Apakah Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro dan Menteri Luar Negeri Enrique Manalo bertanya kepaa Biden dan Austin kenapa AS ingkar janji terkait pelaksanaan perjanjian EDCA? Sebab tak ada keikusertaan personel militer AS yang berpangkalan di Filipina secara aktif membantu pemerintah Filipina dalam operasi tanggap bencana. Bahkan bantuan yang dijanjikan oleh Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken sebesar 1 miliar dolar AS, juga masih ada di awang-awang.
Militerisasi sepertinya memang tujuan utama AS melalui skema EDCA tersebut. Pada April dan Mei 2024 lalu, AS malah membawa peluru kendali jelajah ke pangkalan militer AS yang berlokasi di Ilocos Norte. Cruise missiles atau sistem peluru kendali jelajah tersebut mampu menembakkan peluru kendali Tomahawk dari kapal tempur angkatan laut (Navy Vessels) AS.
Pengerahan Peluru Kendali Jelajah Tomahawk di Ilocos Norte yang masuk dalam jarak serang (striking distance) ke wilayah Republik Rakyat Cina, malah bisa berakibat memancing permusuhan terbuka dari Cina maupun Rusia. Apakah justru ini tujuan tersembunyi di balik perjanjian militer AS-Filipina lewat Skema EDCA?
Kenyataannya, baik Cina maupun Rusia sudah memperingkatkan Manila bahwa membiarkan AS mengerahkan peluru kendali jelajahnya ke daerah jarak serang ke Cina, sama sekali tidak membantu terciptanya peredaan ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Sehingga hal itu mengirim isyarat bahwa Cina maupun Rusia pun sah-sah saja suatu saat mengerahkan peluruh kendali jelajah sejenis Tomahawk ke Filipina.
Adanya pangkalan militer AS di Filipina memang bisa makin krusial mengingat Cina memandang seluruh wilayah di Laut Cina Selatan berada dalam yuridiksi Cina. Sehingga masuk akal jika kehadiran militer AS di Filipina dapat dibaca sebagai tindakak provokatif terhadap Cina. Bahkan bukan itu saja. Bisa semakin mempertajam eskalasi ketegangan di Asia Tenggara, dan Asia Pasifik pada umumnya.
Seharusnya Filipina yang katanya merupakan negara demokratis dan elemen-elemen masyarakat sipilnya kritis dan vokal, mempertanyakan komitmen AS dalam mewujudkan misi utama perjanjian EDCA terkait adanya pangkalan militer AS di Filipina. Sebab pada kenyataannya ada yang aneh juga. Pemerintah AS sama sekali tidak dikenakan biaya sewa penggunaan lahan untuk pangkalan militernya di wilayah kedaulatan Filipina tersebut. Yang terjadi malah justru semakin krusial. Adanya pangkalan militer AS di Filipina, menempatkan Filipina dalam posisi yang berbahaya dan sasaran tembak dari negara-negara yang dipandang musuh AS.
Bantuan militer AS yang menghabiskan jutaan dolar AS tersebut, hanya digunakan untuk memperluas lingkup pengaruh dan daya jangkau pangkalan-pangkalan militer AS di Filipina seperti di Batangas, Pampanga, Fernando dan Zambales. Namun sama sekali tak peduli untuk memberi bantuan saat warga masyarakat Filipina sangat membutuhkan seperti saat terjadinya Typhon Carina.
Melalui bencana alam Typhon Carina, terungkap agenda tersembunyi AS di balik perjanjian militer EDCA. Melalui EDCA, AS hanya membutuhkan pangkalan militer di Filipina sebagai pangkalan operasi militer (operating basess) dari US Indo-Pacific Command, untuk menghadapi Cina. Bukti yang tak kalah mengkhawatirkan adalah bahwa pemerintah Filipina sudah melanggar konstitusinya sendiri, dengan mengizinkan Sistem Peluncur Rudal Typhon (Typhon Missile Battery), yang pastinya bermuatan senjata nuklir. Padahal konstitusi Filipina jelas-jelas melarang adanya persenjataan nuklir di negerinya. Namun sudah berulangkali dilanggar, termasuk dengan memasang Sistem Peluncur Rudal Typhon Tomahawk di Ilocos Norte.
Nampaknya Perjanjian Militer AS-Filipina memang merupakan tindak-lanjut dari Strategi Indo-Pasifik AS. Terbukti selain menggalang kerja sama bilateral AS-Filipina, Filipina juga atas arahan Washington menandatangani Perjanjian Militer dengan Jepang berdasarkan Skema Reciprocal Access Agreement. Yang mana melalui perjanjian tersebut pemerintah Filipina mengizinkan pasukan militer Jepang dalam latihan militer bersama maupun patroli bersama antara Angkatan Laut Filipina dan Jepang.
Dengan demikian terciptalah Persekutuan Segitiga antara AS, Jepang dan Filipina berdasarkan Skema JAPHUS.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)