BertanggungJawab Pada Masa Depan

Bagikan artikel ini

Wildan Pramudya

(Sejenak mengenal etika Hans Jonas tentang Responsibility)

Meski teknologi kedokteran telah begitu canggih, namun sering kali kita mendengar kasus terjadinya malapratik yang dilakukan seorang dokter terhadap beberapa pasiennya. Malapraktik bisa terjadi karena kelalaian dokter, masalah teknis atau kapabilitas yang rendah. Fakta lain yang masih menyolok mata kita adalah kasus Lumpur Lapindo yang telah merenggut kehidupan psiko-sosial-ekonomi banyak orang, sehingga mereka harus memikul derita yang semestinya tidak boleh mereka terima. Pro dan kontra tentang penyebab luberan lumpur petaka ini sempat menyeruak. Di satu pihak berpendapat Lapindo terjadi karena human error, dalam hal ini adanya kelalaian dalam penggunaan teknologi. Sementara pihak lain bersikukuh bahwa itu fenomena alam yang berada diluar jangkauan kendali manusia.

Tulisan ini tidak dimaksudkan membahas mengenai dua fenomana tersebut. Ilustrasi di atas hanyalah sebagai pengantar untuk memasuki pemikiran etika Hans Jonas terutama kaitannya dengan teknologi dan kehidupan di masa depan.

Manusia dan Teknologi.

Teknologi sebagai bentuk kreasi manusia yang fenomenal memiliki implikasi luas serta signifikan pada kehidupan manusia khususnya, dan lingkungan pada umumnya. Semula teknologi diletakkan sebagai kepanjangan tangan manusia untuk memahami hukum alam serta menguasainya guna memenuhi kebutuhan hidup manusia sendiri. Dengan teknologi manusia dapat memperkirakan gejala alam. Maka dengan teknologi pula manusia dapat memprediksi hasil apa yang dapat diperoleh. Pada tingkat ini, teknologi nampak masih sebagai instrument di mana kendali masih berada dalam genggaman manusia. Akan tetapi, seiring dengan penciptaan dan perkembangan teknolgi yang makin kompleks, titik balik menyeruak kepermukaan.

Teknologi tidak lagi menjadi kepanjangan tangan manusia yang sepenuhnya bisa dikendalikan manusia, melainkan teknologi menjelma sesuatu yang otonom dari manusia. Teknologi seolah memiliki logika sendiri sehingga cara beroperasinya bisa berada di luar kontrol manusia sebagai penciptanya. Ketika manusia tidak lagi sepenuhnya mampu mengendalikan cara kerja teknologi, yang terjadi adalah manusia tidak mampu lagi menyadari dan memprediksi akibat apa yang akan ditimbulkan dari penggunaan teknologi tertentu. Jika demikian akibat yang akan diterima manusia belum tentu merupakan hasil (out put) yang telah direncanakan sebelumnya, melainkan suatu effek samping yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Efek samping dari penggunnaan teknologi ini terbuka kemungkinan terjadinya akibat-akibat yang buruk bagi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan.

Adagium Man behind the gun menjadi kehilangan dasar pijakan, karena manusia sudah bukan lagi menjadi determinan dalam kerangka kerja teknologi. Niat baik dan panggilan suara hati ala Kant untuk bertindak adil, misalnya, menjadi kehilangan resonansinya. Di hadapan teknologi, bekal niat baik tidak mamadai. Apakah dengan demikian teknologi menjadi sangat imun terhadap persoalan etis? Jika tidak. Etika macam apa yang harus dikembangkan dalam rangka aplikasi teknologi yang makin kompleks?

Tanggung jawab terhadap masa depan

Menyadari perkembangan teknologi dapat memiliki efek yang lebih bagi keberlanjutan kehidupan manusia dan lingkungan, maka Jonas menawarkan suatu etika yang relevan dengan perkembangan teknologi yang terus meningkat itu. Yang ditawarkan Jonas adalah pandangan etika yang cukup unik namun cemerlang. Unik karena etika ini tidak bertolak dari pertanyaan apa yang harus kita lakukan, akan tetapi dengan membayangkan mengenai kemungkinan terjadinya petaka besar yang menghancurkan kehidupan manusia. Bayang-bayang tentang petaka ini, kata Jonas, harus menjadi sesuatu yang wajib disadari manusia. Dan setelah bayangan petaka ini menjadi bagian dari kesadaran kita, maka barulah pertanyaan apa yang harus kita lakukan menjadi relevan untuk diberikan jawaban.

Apa yang harus kita lakukan tentu saja harus disesuaikan dengan kengerian yang kita bayangkan. Kita bisa mengambil langkah-langkah tertentu untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kebahayaan yang mengancam kehidupan manusia. Taruhlah contoh bayangan petaka mengenai kerusakan lingkungan yang pada gilirannya akan mengancam kehidupan banyak orang seperti bencana tanah longsor dan banjir bandang yang kerap merenggut banyak korban jiwa. Dengan bayangan semacam ini, maka jenis dan system perkebunan dengan mengandalkan jenis tanaman monokultur dan berakar serabut semacam kelapa sawit, misalnya, harus dihindari dan dijauhkan sebagai pilihan model. Maka pilihan suatu teknologi perkebunan yang dianggap mampu mencegah terjadinya bencana tersebut menjadi suatu tanggung jawab yang harus disadari pula oleh semua orang. Jonas merumuskan prinsip tanggung jawab ini sebagai berikut:

* Act in such way that effect of your action are compatible with permanency of an authentically human life on the earth (Levi, 2002)
* Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusia sejati di bumi (Suseno 1997)
* Prinsip di atas lalu oleh Jonas dijadikan semacam imperatif kategoris (keharusan tanpa syarat)

Mengingat masa depan selalu dalam probabilitas, maka menurut Jonas sebuah prediksi yang negatif menjadi prioritas. Meski masa depan sebuah probabilitas, tidak berarti kita menatap masa depan dengan kacamata pertaruhan, melainkan dengan mendahulukan peristiwa negatif sebagai yang lebih mungkin terjadi. Mengapa? Sebab harapan atas kemajuan yang diraih manusia dengan teknologi tidak sebanding dengan risiko yang menghancurkan peradaban dari dampak suatu teknologi. Dengan lugas Jonas mengatakan bahwa manusia masih bisa hidup meski dengan tanpa keuntungan tertinggi, tapi yang pasti manusia tidak mampu hidup dalam kebuntungan (baca: keburukan) tertinggi.

Tanggung jawab terhadap masa depan adalah tanggung jawab yang tidak bersifat timbal-balik. Yang dimaksudkan Jonas, tanggung jawab terhadap masa depan bukan tanggung jawab atas dasar pertimbangan bahwa yang dilakukan sekarang demi hak hidup generasi mendatang. Sebab, secara logis pendapat ini tidak bisa diterima, karena orang yang belum ada tidak bisa memiliki hak apa pun. Kalau demikian, atas dasar apa kita harus bertanggung jawab kepada masa depan? Menurut Jonas, kita bertanggung jawab karena masa depan – sebagai objek tanggung jawab – mamanggil kita yang hidup di masa kini. Masa depan yang serba tidak pasti, dalam probabilitas adalah sebuah bayangan yang rentan dan rapuh. Kerentanan dan kerapuhan masa depan inilah yang memanggil dan menggerakkan setiap kita untuk bertanggung jawab terhadapnya. Jika kita membiarkan masa depan yang rentan itu terjadi suatu saat, itu berarti kita membiarkan kehancuran eksistensi manusia terjadi. Sementara menjaga eksistensi manusia adalah ide dan keharusan moral yang tertinggi. Selanjutnya keharusan menjaga eksistensi manusia oleh Jonas diperluas untuk menjaga eksistesi alam. Sebab, menurutnya manusia dan alam merupakan kesatuan ekosistem. Artinya, kehancuran yang diderita salah satunya (alam) akan membawa dampak buruk bagi eksistensi lainnya (manusia).

Tanggung jawab etis manusia terhadap masa depan — tidak hanya menyangkut eksistensi manusia lain namun juga alam – didasari asumsi bahwa dalam setiap eksistensi melekat tujuan-tujuan (telos). Telos tidak hanya disandang oleh manusia yang sadar, melainkan juga oleh alam yang hidup. Katakanlah bunga yang bermekaran. Mekarnya bunga bisa dilihat sebagai gerak telos yang ada pada sebuah pohon. Hanya saja saja pergerakan telos bunga (alam) dan manusia berbeda.

Pendek kata, dalam Jonas, tanggung jawab dilihat sebagai tugas luhur untuk menghindari tragedi kemanusiaan. Tragedi dalam pandangan Jonas adalah terjadinya kehancuran manusia, terutama, akibat efek samping teknologi yang tidak dapat dikendalikan manusia.

Tanggung jawab masa depan dari Jonas merupakan konsep yang dapat memberi bobot pada etika sehingga lebih antisipatif. Sebuah model etika yang peka terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan (buruk). Etika Jonas adalah etika yang menyediakan dasar etis untuk mengantisipasi terjadinya tragedi kemanusiaan yang dahsyat karena aplikasi teknologi kompleks dan berisiko. Sebut saja, misalnya. teknologi nuklir. pada tataran praktis, etika antisipatif ala Jonas sangat tepat dijadikan acuan etika dalam perspektif korban. Seandainya kita memiliki tanggung jawab terhadap kemungkinan petaka yang terburuk, mungkin tragedi kemanusian Lumpur Lapindo tidak perlu terjadi, misalnya.

Kiranya juga tidak berlebihan jika pandangan Jonas ini dijadikan sandaran etis dalam mengembangkan teknologi mitigasi bencana alam di negeri yang berada dalam belitan Sabuk Api Pasifik ini. Konon tindakan gegabah BMKG – yang sudah tentu dalam membuat keputusan berdasarkan dukungan teknologi canggih — mencabut peringatan terjadinya tsunami satu jam setelah gempa Mentawai (Kompas, 29/10), sedikit banyak punya andil dalam jatuhnya korban. Klarifikasi BMKG bahwa pencabutan tersebut dilakukan karena sudah melebihi dari perhitungan semestinya, yaitu 15 menit setelah terjadinya gempa – dalam konteks Jonas – sungguh tidak bisa diterima. Sebab di luar perkiraan ternyata tsunami datang 41 menit setelah gempa. Mestinya peringatan tersebut tidak buru-buru dicabut, sehingga potensi jatuhnya korban jiwa bisa diminimalisir. Bagaimana? *****

Sumber Bacaan
Levi , David J., Hans Jonas: Integrity of Thinking, (Colombia, Missouri: University of Missouri Press, 2002)
Lindberg , Susanna, Hans Jonas’ Theory of Life in the face of Responsibility, 2005.
Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika. Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta:Kanisius,1997)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com