Tantangan strategis yang harus direspons oleh para pemangku kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk Kementerian Luar Negeri RI adalah, bagaimana memperluas negara-negara mitra strategis sebanyak mungkin, utamanya dari kalangan negara-negara berkembang itu sendiri, sehingga apa yang kita sebut sebagai The Global South, punya posisi tawar yang kuat di mata negara-negara adikuasa baik Amerika Serikat, Cina, dan Rusia, maupun negara-negara middle power baik dari Asia Timur, Asia Selatan, maupun Timur-Tengah.
Dalam konteks seperti itu, sangatlah tepat waktu dan momentum bagi Indonesia, ketika Brazil yang memegang keketuaan BRICS 2025 pada 6 Januari 2025 lalu, secara resmi mengumumkan bergabungnya Indonesia dalam kerja sama BRICS. Dengan itu berarti masuknya Indonesia dalam BRICS semakin memperkuat konfigurasi dan formasi negara-negara berkembang di forum kerja sama BRICS bersama-sama dengan Republik Islam Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia dan Mesir.
Foto: BRICS dok. DW (News) Baca artikel detiknews, “Brasil Umumkan Indonesia Resmi Jadi Anggota BRICS” selengkapnya https://news.detik.com/internasional/d-7720588/brasil-umumkan-indonesia-resmi-jadi-anggota-brics. Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/Seperti kita ketahui, BRICS yang berdiri pada 2009 lalu sebagai forum kerja sama lintas kawasan di bidang ekonomi dan perdagangan, yang semula beranggotakan lima negara yaitu Brazil, Rusia, India, Cina dan belakangan, ikut bergabung Afrika Selatan pada 2010, sehingga sesuai singkatannya, bernama BRICS. Dan pada 2024 lalu BRICS bertambah anggota dengan bergabungnya Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Ethiopia dan Argentina. Kemudian pada awal 2025, Indonesia menyusul bergabung ke dalam BRICS.
Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang mana sebagian besar negara-negara di kawasan Asia dan Afrika hingga kini masih berkomitmen pada Dasa Sila Bandung 1955 dan Deklarasi Negara-Negara Nonblok di Beograd 1961, BRICS sejatinya memang merupakan forum yang cukup menjanjikan untuk menyuarakan aspirasi negara-negara berkembang. Ketika BRICS kali pertama dibentuk pada 2009 lalu atas inisiatif Rusia, dimaksudkan sebagai kekuatan penyeimbang terhadap semakin menguatnya pengaruh pengaruh AS dalam mengendalikan perekonomian global berikut lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Badan Moneteri Internasional (IMF) sejak dekade akhir 1980-an yang berlanjut sepanjang dekade 1990-an. Apalagi dengan keberadaan negara-negara Eropa Barat sekutu AS yang tergabung dalam Group-7. Adapun di bidang politik dan keamanan, AS dan Eropa Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), juga menguasai forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Mengapa BRICS merupakan forum kerja sama lintas regional yang dipandang cukup menjanjikan bagi aspirasi negara-negara berkembang termasuk Indonesia? Mari simak Pernyataan bersama negara-negara anggota BRICS dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRIC pada 2009:
“Tujuan kerja sama BRICS adalah untuk mempromosikan dialog dan kerja sama di antara empat negara pendiri awal (Brazil Rusia, India dan Cina) sehingga secara bertahap, proaktif, pragmatis, terbuka dan transparan. Kerja sama ini ditujukan tidak saja untuk mendukung kepentingan bersama ekonomi negara-negara berkembang, tetapi juga membangun dunia yang harmonis dengan kemakmuran bersama.”
Di sini ada dua frase kata penting. “Mendukung kepentingan bersama ekonomi bersama negara-negara berkembang” dan Membangun dunia yang harmonis dengan kemakmuran bersama.”
Meskipun pernyataan bersama BRIC 2009 itu untuk merespons krisis global yang berlangsung pada 2008-2009, namun dengan keikutsertaan proaktif Brazil dan India, menunjukkan kesigapan dan kepekaan kedua negara berkembang tersebut membaca konstelasi geopolitik global kala itu. Lahirnya BRIC pada 2009, membuktikan kecerdasan diplomatik Brazil dan India sebagai negara berkembang menjabarkan Gerakan Nonblok dan Semangat Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 sebagai gerakan yang proaktif dan menelorkan kebijakan luar negeri yang konstruktif dalam merespons krisis ekonomi global 2008-2009 maupun menajamnya persaingan global tiga negara adikuasa yaitu AS, Cina dan Rusia.
Ternyata, yang dirumuskan sebagai tujuan strategis BRIC pada KTT 2009 maupun sesudahnya dengan bergabungnya Afrika Selatan pada 2010 maupun dengan bergabungnya Mesir, Uni Emirat Arab, Argentina, Iran dan Ethiopia, dan Arab Saudi pada awal 20024, maupun Indonesia pada awal 2025, memang cukup nyata juga hasilnya.
Kerja sama di bidang ekonomi, BRICS berhasil menyumbangkan hampir sepertiga total PDB dunia pada 2022 dan diramalkan bakal menyumbangkan 37,6 persen pada total PDB dunia di tahun 2027. Kalau hasil ini akan konsisten dalam tahun-tahun mendatang, dengan bersinerginya kinerja ekonom tadi dengan bergabungnya Indonesia, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia dan Mesir, rasanya cukup beralasan bagi kita untuk optimis bahwa struktur ekonomi BRICS plus ini bakal semakin kuat dan efektif.
Selain itu, ada efek domino yang saat ini mungkin dianggap sepele, namun di masa depan bisa menjadi faktor mengubah konstalasi geopolitik global. Yaitu semakin menguatnya pengaruh politik BRICS, dan tentunya juga bagi masing-masing negara-negara anggotanya, di mata pelbagai lembaga dan organisasi internasional serta regional. Brazil, misalnya, mulai diperhitungkan dalam forum regional kawasan Amerika Selatan karena Brazil merupakan satu diantara anggota Persatuan Negara-Negara Amerika Selatan (OAS) dan kerja sama ekonomi MERCUSUR. Rusia tentu saja semakin diperhitungkan sebagai anggota Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) dan juga sebagai anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) bersama Cina. India juga semakin dipandang berwibawa di dalam Asosiasi Kerja Sama Regional Asia Selatan. Adapun Afrika Selatan juga semakin diperhitungkan dalam keanggotaannya dalam Uni Afrika dan Komunitas Pembangunan Kawasan Selatan Afrika.
Kenapa para anggota BRICS kemudian dihargai dan diperhitungkan pengaruh dan wibawa politiknya? Fakta bahwa pada 2022 BRICS telah menyumbangkan hampir sepertiga total PDB dunia, berarti BRICS dengan tak ayal dipandang sebagai Pendorong Utama Pembangunan Ekonomi.
Bukan itu saja. Data Carnegie Endownment for International Peace menyebutkan BRICS Plus saat ini dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru yang terdiri dari hampir setengah populasi dunia, 40 persen perdagangan internasional, dan 40 persen produksi ekspor minyak mentah dunia.
Bagi Indonesia bergabung dalam BRICS merupakan peluang dan aset yang amat bernilai. India dan Cina saat ini merupakan konsumen energi terbesar dunia yang sudah tentu harus dimanfaatkan Indonesia sebaik-baiknya. Mengingat Indonesia sebagai anggota BRICS Plus, akan mendapatkan hak istimewa dalam aktivitas perdagangan internasional dengan India dan Cina, seperti misalnya dalam hal pengurangan pajak impor dan akses pasar yang lebih luas terutama pada produk-produk minyak dan gas.
Menteri Luar Negeri RI Sugiono tiba di Kazan untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). (ANTARA/HO-Photohost agency brics-russia2024.ru)Selain itu, bergabungnya Indonesia dalam BRICS Plus, juga membawa dampak positif dalam mengalirnya investasi asing ke Indonesia seraya membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Sebagai kekuatan ekonomi alternatif, BRICS juga cukup menjanjikan dengan adanya Bank Pembangunan BRICS (New Development Bank) yang bertujuan untuk menyediakan alternatif pembiayaan bagi negara-negara berkembang yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Sehingga tidak lagi selalu bergantung pada Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam pembiayaan proyek-proyek pembangunan nasional. Apalagi kalau semangat BRICS untuk mengurangi dominasi dolar AS dengan menggunakan mata yang lokal yang akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS. Sehingga tidak usah kuatir terhadap fluktuasi nilai tukar dolar AS.
Namun Indonesia sebagai penganut azas politik luar negeri yang bebas dan aktif, selain mampu menciptakan keseimbangan strategis dan dinamis terhadap negara-negara adikuasa seperti AS, Rusia dan Cina, namun perlu pula mewaspadai adanya persaingan dan benturan kepentingan di internal BRICS itu sendiri. Misalnya persaingan antara India dan Cina dalam bidang politik dan militer, jangan sampai menyeret Indonesia masuk dalam pusaran konflik kedua negara. Mengingat fakta bahwa Cina dan India merupakan mitra dagang besar bagi Indonesia.
Fakta bahwa Rusia dan Cina punya pengaruh begitu kuat dalam tubuh BRICS, jangan pula sampai Indonesia dipandang bermaksud memusuhi AS maupun Uni Eropa. Mengingat begitu besarnya keuntungan yang dapat Indonesia capai melalui BRICS Plus, Indonesia justru harus semakin waspada dan peka dalam menjabarkan Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif. Maka sudah seharusnya pula, semakin besar capaian Indonesia lewat BRICS Plus, pengaruh dan wibawa Indonesia di mata negara-negara perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), seharusnya juga semakin meningkat dan menguat.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)